"Sejatinya permasalahan perempuan berakar dari penerapan sistem sekuler-liberal di negeri ini, bukan karena ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan"
Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)
NarasiPost.Com-Perempuan adalah tiang negara. Ungkapan tersebut mengisyaratkan bahwa perempuan berfungsi sebagai penopang sebuah negara. Artinya, perempuan memiliki peranan yang sangat penting. Namun sayangnya, dalam sistem kapitalisme, perempuan sebagai tiang negara diterjemahkan sebagai komoditas penggenjot perekonomian. Sehingga dalam sistem kapitalisme ini, lewat berbagai regulasi yang ada, perempuan ditarik ke dunia kerja. Ya. perempuan dieksploitasi sedemikian rupa agar mampu berdaya guna menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Narasi pemberdayaan perempuan telah berhasil menciptakan ilusi bagi kaum perempuan, sehingga dirinya tak merasa sedang dieksploitasi, sebaliknya mereka malah merasa terhormat dan berharga manakala mampu menghasilkan rupiah dan menempati jabatan tinggi dalam kariernya. Begitulah hakikatnya narasi yang tercipta dari ide kesetaraan gender ala feminisme. Mereka menganggap bahwa akar dari segala permasalahan yang menimpa perempuan adalah karena adanya ketidaksetaraan peran antara laki-laki dan perempuan. Mereka menggugat sistem partriarki yang diklaim menjadi penyebab perempuan terpuruk dan senantiasa menjadi objek kekerasan, pelecehan, dan ketidakadilan. Akhirnya mereka menyerukan bahwa solusinya adalah menyetarakan kedudukan perempuan dengan laki-laki di segala bidang kehidupan. Itulah yang pada akhirnya melatari disusunnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).
Setelah sempat tertunda selama 8 tahun, akhirnya RUU P-KS masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas di tahun 2021 ini. Tidak ada pihak yang lebih berbahagia daripada Komnas Perempuan atas ditetapkannya RUU P-KS ke dalam Prolegnas 2021. Komnas Perempuan sangat mengapresiasi hal tersebut sebab dalam catatan Komnas Perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan dalam rentang tahun 2015 hingga 2019 mencapai 431.471 kasus. Luar biasa!
Namun demikian, kita perlu memahami akar permasalahan yang sesungguhnya dari segala permasalahan perempuan. Karena jika salah mengindentifikasi akar masalahnya, penetapan solusinya pun akan salah. Sejatinya permasalahan perempuan berakar dari penerapan sistem sekuler-liberal di negeri ini, bukan karena ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Lihat saja, bagaimana sistem sekuler- liberal telah memberikan peluang yang seluas-luasnya atas kezaliman, ketidakadilan dan pelecehan terhadap perempuan. Bagaimana tidak, di dalam sistem liberal, perempuan dijadikan budak syahwat. Perempuan dibebaskan mengumbar kecantikan wajah dan tubuhnya atas nama HAM. Bahkan dalam sistem liberal ini, kecantikan dan kemolekan tubuh perempuan dapat menjadi komoditas bisnis. Tak hanya itu, sistem sekuler liberal juga meniscayakan merajalelanya pornografi. Akhirnya dari sanalah pintu-pintu pelecehan seksual terhadap perempuan terbuka lebar.
Atas nama pahlawan devisa, perempuan pun banyak yang pergi meninggalkan keluarga mereka demi mencari nafkah ke luar negeri. Dan tak sedikit yang pada akhirnya mengalami tindak kekerasan di luar negeri. Belum lagi keluarganya rentan disharmoni, betapa tidak, ibu yang semestinya menjadi madrasatul 'ula bagi anak-anaknya malah meninggalkan rumah demi menopang perekonomian keluarga.
Itulah sekelumit bukti tentang nasib perempuan dalam genggaman sekulerisme-liberal. Sangat nyata bahwa segala permasalahan perempuan bersumber darinya.
Sebagai Muslim tentu kita akan menyandarkan segala permasalahan kepada Islam. Apalagi Islam merupakan ideologi yang di dalamnya terdapat aturan paripurna bagi manusia. Islam mengatur bagaimana cara memuliakan perempuan, baik skala individu maupun negara.
Dalam skala individu, Islam memuliakan perempuan lewat perintah menutup aurat dan larangan bertabaruj (menonjolkan kecantikan) bagi perempuan, dan menundukkan pandangan (ghadlul bashar)bagi laki-laki. Hal tersebut adalah upaya preventif dari terjadinya kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di ranah publik.
Sementara itu, di ranah privat, Islam mewajibkan bagi seorang suami menggauli istrinya secara ma'ruf, tidak boleh menyakitinya baik secara fisik maupun verbal. Karena perempuan adalah tulang rusuk, yang apabila diluruskan dengan paksa, dia akan patah. Maka, Islam memerintahkan untuk bersikap lemah lembut terhadap perempuan. Dengan begitu, tak akan terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Suami memperlakukan istrinya sesuai syariat Islam.
Adapun dalam skala negara, Islam mewajibkan negara untuk membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya untuk kaum laki-laki. Hal ini demi memfasilitasi mereka menjalankan kewajiban yang dibebankan syariat, yakni pencari nafkah untuk keluarga. Islam tidak akan mengeksploitasi tenaga perempuan demi mencari keuntungan, sebab hakikatnya tugas utama perempuan adalah di ranah domestik, yakni melayani suaminya, mengurus anak-anaknya, menjadi sekolah pertama untuk mereka dan mengelola rumah tangganya. Dalam pandangan Islam, bekerja bagi perempuan adalah mubah (boleh), maka hal tersebut adalah pilihan, bukan sebuah kewajiban yang dibebankan kepadanya. Kalaupun perempuan bekerja semata-mata untuk menyalurkan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki, bukan sebagai tulang punggung. Sangat berbeda dengan potret perempuan dalam sistem kapitalis hari ini, bukan?
Islam juga memerintahkan negara untuk menutup semua akses pornografi/pornoaksi. Negara tidak akan membiarkannya diproduksi apalagi beredar luas tanpa batas. Inilah cara negara untuk memproteksi masyarakatnya dari bangkitnya syahwat liar.
Begitulah hakikatnya Islam mampu memberi solusi yang efektif, efisien, dan mendasar. Tidak seperti sistem kehidupan hari ini, solusi yang ditawarkan hanya tambal sulam belaka. Akhirnya tidak mampu menyelesaikan permasalahan hingga ke akar-akarnya.
Sungguh, segala permasalahan perempuan akan selesai manakala Islam diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, yakni dalam naungan Khilafah Islamiyah.[]