Ada rahasia menarik yang menjelaskan mengapa ulama Islam tempo dulu begitu produktif dalam kepenulisan. Salah satunya adalah mereka memanfaatkan waktunya untuk membaca buku.
Oleh: Sherly Agustina, M.Ag
(Pegiat literasi dan pemerhati kebijakan publik)
NarasiPost.com - Abu Ad Darda berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan serang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [Diriwayatkan Abu Daud no. 3641]
Karya Ulama Motivasi dan Inspirasi
Sering mendengar kata ulama, apa sebenarnya makna ulama. Secara bahasa, kata ulama adalah bentuk jamak dari kata 'aalim. 'Aalim adalah isim fail dari kata dasar 'ilmu. Jadi 'aalim adalah orang yang berilmu, maksudnya ilmu syariah dan ulama adalah orang-orang yang punya ilmu ke dalam dibidang ilmu-ilmu syariah. Secara istilah, kata ulama mengacu kepada orang dengan spesifikasi penguasaan ilmu-ilmu syariah, dengan semua rinciannya, mulai dari hulu hingga hilir (Umma.id)
Alquran memberikan gambaran tentang ketinggian derajat para ulama, "Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat." (QS. Al-Mujadalah: 11)
Selain masalah ketinggian derajat para ulama, Alquran juga menyebutkan dari sisi mentalitas dan karakteristik, bahwa para ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah. Sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Fathir: 28)
"Ulama adalah orang yang ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah” (Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin) (AtTijaniyahZawiyah.wordpres.com).
Jadi, ulama adalah orang yang memiliki ilmu syariah yang luas dan mendalam. Bayangkan, jika ulama tidak menuliskan ilmu yang begitu luas. Akankah ilmu mereka sampai pada kita saat ini? Akankah kita reguk ilmu yang luar biasa bagai pelita di malam hari, bagai air samudera dikala dahaga. Misalnya, Imam Syafi'i yang mengarang kitab kitab Ar-risalah dalam edisi terjemah sebanyak 616 halaman.
Sebagaimana dikutip dari wikipedia, Ar Risalah adalah buku pertama tentang ushul fiqh. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i, ”Dia adalah orang yang paling faqih dalam Alquran dan As Sunnah,”
“Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah, ”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Selain kitab Ar Risalah, Imam Syafi'i mengarang kitab “Al Umm”. Kitab Al Umm sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka buanglah perkataanku di belakang tembok,”
“Kebaikan ada pada lima hal. Yaitu kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rezeki halal, taqwa dan tsiqah kepada Allah. Rida manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (ucapan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”. “Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.” (nusadily.com)
Imam Syafi'i menjadi salah satu sumber rujukan dibidang Ushul Fiqh bagi ulama yang lain, ulama pada masa dahulu bukan hanya ahli ilmu agama atau syariah pada satu bidang ilmu saja. Imam Syafi'i yang dikenal sebagai ahli fiqh atau madzhab fiqh, beliau pun memiliki kitab hadis. Salah satu kitab hadis yang masyhur pada abad kedua hijriyah adalah kitab Musnad as-Syafi’i. Kitab ini tidak disusun oleh Imam Syafi’i sendiri, melainkan oleh pengikutnya yaitu al-A’sham yang menerima riwayat dari Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi dari as-Syafi’i. Hadis-hadis yang terdapat dalam Musnad as-Syafi’i merupakan kumpulan dari hadis-hadis yang terdapat dalam kitabnya yang lain yaitu al-Umm.
Kendati demikian, Kitab Musnad as-Syafi’i tidaklah termasuk dalam sembilan kitab (kutub al-tis’ah) sumber hadis standar. Kutub al-tis’ah ini terdiri atas lima kitab yang disepakati para ulama sebagai kitab sumber pokok yang dikenal dengan Kutub al-Khamsah, yaitu Shahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan an-Nasa’i dan Sunan at-Tirmidzi (bincangsyariah.com).
Menulis dan Membaca Bagai Dua Sisi Mata Uang
Lalu, bayangkan jika ulama tidak menulis? Mungkin umat akan terus berada di dalam kegelapan tanpa cahaya, tanpa ilmu yang memberi arah di dalam kehidupan. Hendaknya ini menjadi renungan bagi umat Islam. Menulis menjadi salah satu cara menyampaikam ilmu, agar ilmu tetap hidup sepanjang masa walau sang penulis tak ada lagi di dunia. Menulis menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir dan menulis adalah bagian dari dakwah sebuah amalan yang pahalanya luar biasa.
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian". (Pramoedya Ananta Toer)
"Semua orang alan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak". (Ali bin Abi Thalib)
Sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam: "Apabila seorang manusia meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga, yakni sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak saleh yang mendoakannya”. (HR Muslim)
Ada rahasia menarik yang menjelaskan mengapa ulama Islam tempo dulu begitu produktif dalam kepenulisan. Salah satunya adalah mereka memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Hal itu dilakukan bukan saja saat luang, bahkan ketika dalam menghadiri undangan, saat sedang berjalan bahkan sakit pun disempatkan untuk membaca buku.
Kisah-kisah inspiratif itu bisa dibaca dalam buku Abdul Fattah Abu Ghaddah yang berjudul “Qīmah al-Zamān ‘Inda al-Ulamā” (1988). Sosok kenamaan seperti Tsa’lab, Imam Nawawi, Syeikh Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Malik, Adz-Dzahabi dan lain sebagainya, disebutkan sebagai ulama yang ‘gila baca’ buku. Di antara mereka ada yang tidak pernah lepas dari buku. Ahmad bin Yahya asy-Syaibani yang lebih dikenal dengan Tsa’lab (200-291 H) tidak pernah terpisah dari buku ajarnya. Ulama yang dikenal ahli dalam bahasa Arab ini ketika diundang untuk menghadiri acara, beliau memberi syarat agar di depan tempat duduknya disediakan semacam meja untuk membaca buku karena beliau tidak mau waktunya terbuang sia-sia.
Kabar yang cukup mengharukan, sebab wafatnya beliau adalah saat membaca buku di jalan. Waktu itu, pendengarannya agak terganggu. Ketika ada kendaraan kuda lewat, ia sama sekali tak mendengarnya hingga tertabrak dan terpental jatuh ke suatu lubang. Ketika diangkat kondisinya tak sadar, beliau sempat mengeluhkan sakit kepala. Kemudian, hari kedua pasca kecelakaan beliau meninggal dunia.
Imam al-Khathīb al-Baghdady pun demikian. Saat sedang berjalan dia tak lupa memanfaatkan waktunya untuk membaca buku. Ulama pakar Nahwu seperti Abu Yusuf Ya’qub bin Kharzad al-Nujayrimy juga melakukan hal yang sama. Dikisahkan bahwa beliau saat berjalan menuju Qarafah, ia memegang buku. Perjalanannya diisi dengan membaca buku.
Ketika para ulama tak mampu atau berkesempatan membaca secara langsung, maka mereka meminta untuk dibacakan buku. Imam Adz-Dzabi dalam buku “Tadzkirah al-Huffādz” menceritakan kisah menarik terkait Hafidz Abu Nu’aim al-Ashfahāny. Ulama pakar hadits dan sejarah itu sangat hobi membaca buku (aksi.id)
Maka jika tak ada ide untuk menulis atau tak bisa menulis, mari bertanya pada diri masing-masing "sudahkah membaca dan belajar?" Karena jika aktivitas belajar dan membaca tidak dilakukan maka otomatis tak ada ide untuk dituangkan dalam sebuah tulisan. Sesungguhnya aktivitas menulis dan membaca saling berkaitan bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Hendaknya meniru dan meneladani para ulama karena jika tak meneladani mereka lalu meneladani siapa? Bukankah mereka pewaris para Nabi?
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. bersabda, “Muliakanlah ulama’ (orang-orang yang memiliki ilmu syariat/agama dan mengamalkannya, mereka baik ucapan dan perbuatannya) karena sungguh mereka menurut Allah adalah orang-orang yang mulia dan dimuliakan (di kalangan malaikat).” (Kitab Lubabul Hadis Imam Suyuthi).
Allahu A'lam Bi Ash Shawab.
Pictrue Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]