Jalan hidup kita memang berbeda, namun justru dengan jalan hidup yang berbeda, seharusnya kita dapat menunjukkan hasil yang berbeda, menjadi yang terbaik dari yang baik. Bukan menjadi buruk dari yang terburuk. Enggak peduli seberapa banyak ujian hidup yang Allah beri ke kita, kita harus selalu berusaha untuk jadi yang terbaik. Sebab, ujian hidup itu untuk menguatkan kita, bukan melemahkan kita.
Oleh: Cicih Yuningsih Irawan (Hijrah Consultant)
NarasiPost.com - Nabi Sam’un Al-Ghazy. Namanya enggak terkenal di bumi, namun ia tenar di langit. Dikisahkan dalam kitab Muqasyafatul Qulub karangan Al Ghazali pada suatu malam di bulan Ramadan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tersenyum sendiri?” tanya salah seorang sahabatnya saat mereka berkumpul.
“Wahai para sahabatku, kelak di Padang Mahsyar ketika semua nabi dan rasul dikumpulkan beserta pengikutnya, ada seorang Nabi yang tidak mempunyai pengikut, sebab seluruh pengikutnya kafir. Ia membawa pedang dari tulang rahang unta,” jawab Rasulullah saw.
“Siapa nama nabi tersebut wahai Rasulullah?” Sahabat semakin penasaran.
“Ialah Sam’un Al-Ghazy 'alaihissalam,” kemudian Rasulullah saw menceritakan kisah Nabi Sam’un Al-Ghazy.
Sam’un Al-Ghazy 'alaihissalam, nabi yang diutus untuk membimbing Bani Israil yang kembali jahiliyyah sepeninggal Nabi Musa 'alaihissalam. Sam’un dilahirkan di lingkungan kaum Yahudi, yang terbiasa minum arak, membunuh, perbudakan, berjudi, dan lain-lain. Namun Sam’un selalu mengikuti perintah orang tuanya untuk enggak melakukan hal-hal tersebut dan dikisahkan Nabi tersebut mampu berazam kepada Allah Swt. untuk beribadah seribu bulan.
“Kami pun ingin dapat beribadah seribu bulan, wahai Rasulullah,” respon Sahabat Rasul setelah mendengar cerita Sam’un Al-Ghazy. Maka bermula dari cerita tersebut, turunlah Surat Al-Qadr. Tinggal di lingkungan yang sama, sistem kenegaraan yang sama, namun Sam’un memilih untuk berbeda dalam hal ketaatan kepada Allah. MasyaaAllah.
Sobat, tentu kita kenal dengan Nabi Musa 'alaihissalam, bukan? Seorang laki-laki yang sedari kecil dibuang oleh orang tuanya. Tak ada pilihan, dibuang atau dibunuh? Maka orang tua kandung Musa memilih untuk membuangnya ke sungai. Masa kanak-kanak Musa dibesarkan di keluarga Firaun.
Raja Mesir dengan infrastruktur tebaik pada masanya. Musa yang dibuang oleh orang tuanya, namun ditemukan oleh Asiyah ra istri Firaun di pinggir sungai. Dibesarkan di keluarga kerajaan yang megah, dijanjikan sebagai Pangeran Mesir sepeninggal Firaun.
Namun, kesuksesan itu bukan melulu soal takhta. Sukses itu soal kebahagiaan. Hati Musa tidak tenteram saat para budak disiksa oleh prajurit Firaun yang mempekerjakan budak secara enggak manusiawi. Hati Musa berperang dengan logikanya. Hatinya merasa iba terhadap budak yang disiksa, logikanya berpikir bahwa Musa bagian dari Kerajaan Mesir, sehingga Musa harus berperan sebagai orang yang pro terhadap peraturan Kerajaan Mesir. Tanpa pikir panjang, Musa membunuh prajurit tersebut, kemudian melarikan diri dari Mesir.
Musa berjalan kaki melewati gurun dengan berdarah-darah, ia merasa bersalah telah membunuh prajurit demi membela sang budak. Rasa bersalahnya yang membuat langkah kakinya enggak terasa menginjak di bumi gembala Nabi Syuaib 'alaihissalam. Menggembala di bawah terik lebih membahagiakan dibanding duduk manis di istana Kerajaan Mesir. Kebahagiaan Musa bertambah saat ia mempersunting putri kesayangan Nabi Syuaib 'alaihissalam. Musa dan Firaun Muda sama-sama dibesarkan di Kerajaan Mesir, namun Musa memilih jalan hidup yang berbeda.
“Kita beda jalan, enggak usah memaksa!”
Di antara jalan hidup yang Allah Swt. beri untuk kita, di dalamnya ada jalan hidup yang dapat kita pilih pula.
Jangan sesekali berpikir ketika Allah takdirkan kita hidup di tengah keluarga kyai, maka kita akan menjadi anak yang salih, saliha. Pun sebaliknya, ketika Allah takdirkan kita lahir dari rahim seorang ayah yang pemabuk dan ibu pezina, maka kita akan menjadi pemabuk dan pezina juga, na’udzubillahi mindzaalik.
Jangan pula sesekali berpikir ketika Allah beri takdir kita dilahirkan dari orang tua yang kaya raya, maka akan bisa fokus taat kepada Allah, sedangkan ketika ditakdirkan lahir dari orang tua yang miskin, maka fokus taatnya berkurang karena sibuk mencari kebutuhan hidup. No, enggak seperti itu.
Jalan hidup kita memang berbeda, namun justru dengan jalan hidup yang berbeda, seharusnya kita dapat menunjukkan hasil yang berbeda, menjadi yang terbaik dari yang baik. Bukan menjadi buruk dari yang terburuk. Enggak peduli seberapa banyak ujian hidup yang Allah beri ke kita, kita harus selalu berusaha untuk jadi yang terbaik. Sebab, ujian hidup itu untuk menguatkan kita, bukan melemahkan kita.
Kuy, kita ubah kalimat yang tadinya “Kita beda jalan, enggak usah memaksa!” Menjadi “Kita beda jalan, enggak usah memaksa! Enggak usah memaksa gue jadi taat kayak lu. Karena gue ingin lebih taat daripada lu!”
MasyaaAllah, semoga kita bisa menjadi teman sehidup sesurga. Aamiin Allahumma Aamiin.[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email narasipostmedia@gmail.com