Kebiasaan yang Kampungan

"Implementasi syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara akan menjamin lahirnya pribadi-pribadi luhur dan terpuji, sehingga dunia menjadi bersih dari orang-orang yang berbuat maksiat, zalim terhadap diri sendiri dan orang lain."

Oleh. Yana Sofia
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Pada awalnya, penulis berpikir berbagai problem yang mendera manusia itu selalu dipengaruhi oleh faktor pendidikan, lingkungan, dan keluarga tempat seseorang tumbuh dan dibesarkan. Ternyata masalah di mana-mana sama saja. Tak peduli itu kota atau desa, jenjang pendidikan, bahkan status sosial.

Pada awalnya, penulis berpikir hanya orang kampung yang bisa bertindak kampungan, tanpa menyadari orang yang hidup di kota juga bisa bersikap lebih dari itu. Tak peduli hidup di tengah kota metropolitan, di tengah pusat pendidikan, dan luasnya pergaulan. Semua orang sama saja. Hidup tanpa agama bisa menjerumuskan siapa pun ke lubang maksiat. Bahkan maksiat yang paling kampungan sekalipun.

Pada saat SMA penulis punya teman dekat yang sering penulis kunjungi jika liburan sekolah tiba. Namanya, Re (samaran). Kadang Re menginap di rumah penulis, kadang juga penulis menginap di rumahnya. Keluarga kami pun sudah menjadi akrab.

Penulis suka mengunjungi rumah Re, karena pemandangan alam di desanya yang asri. Sementara halaman rumah penulis dipenuhi debu asap jalanan, suara bising pedagang kaki lima yang berteriak menggoda pelanggan, juga nyaringnya suara kernet metromini. Keriuhan ini tidak pernah putus, dan tentu saja tidak nyaman untuk istirahat dan tidur siang.

Karena itulah penulis sering pergi ke rumah nenek jika hari libur tiba. Jika bosan, penulis akan berkunjung ke rumah Re. Ya, selain karena lingkungannya yang adem dan nyaman untuk liburan, di depan rumah Re ada spot yang membuat betah tinggal berlama-lama di sana. Tidak lain keberadaan sungai yang jernih, yang mengalir dari mata air yang diimpit oleh dua gunung di depan rumah Re. Sungai itu adalah sumber kehidupan bagi seluruh penduduk di kampung Re, sebagai sumber air minum, memasak, mandi, juga mencuci pakaian.

Bisa dibayangkan setiap hari sungai itu ramai oleh ibu-ibu yang bergosip sambil mencuci piring, mandi, bahkan ada yang sengaja nongkrong tanpa ada keperluan sama sekali. Begitulah, selain menjadi sumber kehidupan, sungai itu telah menjelma menjadi sumber berbagai informasi, bahkan "pengadilan" untuk mendakwa seseorang.

Saat itu, penulis masih begitu muda untuk memahami bahwa tidak semua informasi alias gosip yang tidak jelas halal didengarkan. Apalagi itu berkenaan dengan gibah, prasangka, dan mencela orang di belakang. Sebenarnya, apa yang dilakukan ibu-ibu itu seperti memakan bangkai saudara yang telah mati. Sesuatu yang Allah tak suka dan Rasul-Nya pun benci.

Hal ini sebagaimana tertuang dalam surah Al-Hujurat ayat 12,

"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik."

Ternyata selain perilaku gibah menjijikkan, Rasulullah juga mengatakan dosa gibah amatlah besar dan lebih berat dari dosa berzina. Sebagaimana sabda beliau,

"Gibah itu lebih berat dari zina. Seorang sahabat bertanya, 'Bagaimana bisa?' Rasulullah saw. menjelaskan, 'Seorang laki-laki yang berzina lalu bertobat, maka Allah bisa langsung menerima tobatnya. Namun pelaku gibah tidak akan diampuni sampai dimaafkan oleh orang yang digibahnya'." (HR. At-Thabrani)

Namun sayangnya, saat itu tak ada seorang pun yang terusik dan tergerak untuk menasihati ibu-ibu berhenti bergosip. Adapun prasangka yang menjadi topik pembahasan terus bergulir tak terkendali. Tak peduli berita itu palsu, ataupun isu yang sudah pasti. Semua bergulir begitu saja menjadi perbincangan yang menarik. Semua akan berakhir jika ada topik-topik lain yang menggantikannya. Begitu terus-menerus, berita mengalir seperti aliran sungai yang tak pernah putus dari mata airnya.

Sebelum hijrah penulis berpikir, apa yang ibu-ibu bincangkan adalah hal yang lumrah. Dari sanalah penulis tahu siapa yang berselingkuh, bercerai, dan menikah kembali. Siapa yang mengkhianati dan dikhianati. Gosip-gosip seputar bertukar pasangan antarteman, atau kisah poligami dengan cara dimadu dengan sahabat sendiri telah diadili habis-habisan tanpa terdakwa dan pendakwanya.

Gosip-gosip ini terlalu "tua" untuk anak SMA mendengarnya, tapi terlanjur sayang jika diabaikan. Apa manfaatnya bagi penulis? Tak ada manfaatnya sama sekali! Tak ada yang penting dari obrolan itu bagi penulis yang lebih mengejar potret alam dan menyimak riak-riak air di alam bebas. Itu hanya gosip orang dewasa yang tak sengaja dinikmati anak usia belasan tahun. Gosip itu hanya akan menjadi kenangan dari pengalaman berlibur di kampung. Secara harfiah penulis menyebut kebiasaan itu sebagai "kampungan".

Hingga bergulir waktu, tahun demi tahun. Penulis menyadari bahwa kata kampungan tidak selamanya identik dengan kampung halaman, tempat yang asri jauh dari kebisingan. Di kota ada banyak sekali perilaku-perilaku yang lebih kampungan.

Sebut saja, seseorang yang berzina padahal memiliki istri sah secara agama dan hukum. Ada pula pejabat yang menjadi "sugar daddy" bagi anak kuliah dengan jasa seks di luar nikah. Tak jarang pula om-om yang yang "jajan" daun muda, berselingkuh dari istri sahnya dengan gadis belia yang seusia anaknya. Perilaku kampungan ini bisa dengan mudah kita temukan di kota, tempat berkumpulnya orang-orang pintar, pusat pendidikan, dan pemerintahan.

Setidaknya, kini penulis menyadari bahwa seluruh masalah terletak pada gaya hidup bebas yang lahir dari paham sekularisme. Paham yang menganggap agama tak layak dijadikan sebagai aturan dalam kehidupan, telah mendorong manusia untuk menciptakan hukum tandingan dengan akalnya yang terbatas. Hal ini mendorong manusia berpikir dan berbuat sesuka hati, mengikuti hawa nafsu sebagai pengendali, tak peduli apakah itu halal atau haram.

Jelas, kebiasaan buruk dan berbagai kemaksiatan ini lahir dari paham rusak sekularisme. Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan latar belakang seseorang, anak desa atau kota, status sosial dan jabatan. Siapa pun bisa berselingkuh dari pasangan, berzina dengan sahabat istri, bahkan ada suami yang menato wajah wanita lain di tubuhnya dengan alasan cinta mati. Tindakan seperti ini, bukankah lebih kampungan dari orang kampung sekalipun?

Menyadari hal ini, penulis semakin yakin bahwa sekularisme ini memang musuh kita bersama, baik kaya atau miskin, penduduk kota atau desa, rakyat jelata atau anak konglomerat. Karena itu, saat pertama sekali menyadari hal ini, orang pertama yang penulis hubungi untuk membagi informasi berharga ini tentunya Re, sahabat dekat penulis. Namun sayang, sampai saat ini Re belum juga mengerti, dan dia tidak mau peduli. Seperti halnya ibu-ibu yang hobi bergosip saat itu, kendati rambut mereka telah memutih, namun budaya kampungan itu masih terus berlangsung, bahkan setelah air sungai mengering.

Karena hal ini adalah masalah sistemis, dan kita butuh solusi yang sistematis untuk menyolusinya dari akar. Satu-satunya cara adalah menghapus sistem rusak sekularisme dalam kehidupan, lalu menggantinya dengan sistem Islam. Hukum Islam wajib diterapkan secara kaffah dalam seluruh lini kehidupan, baik pendidikan, sosial, hingga pemerintahan. Implementasi syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara akan menjamin lahirnya pribadi-pribadi luhur dan terpuji, sehingga dunia menjadi bersih dari orang-orang yang berbuat maksiat, zalim terhadap diri sendiri dan orang lain.

Percayalah, hanya Islam yang mampu melahirkan manusia-manusia berakhlak mulia. Karena Rasulullah saw. memang diutus untuk mengubah manusia yang durhaka menjadi manusia yang bermartabat dan terpuji akhlaknya. Sebagai sabda Rasul saw. yang artinya,

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kesalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi)

Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim penulis Inti NarasiPost.Com
Yana Sofia Tim Penulis Inti NarasiPost.Com. Sangat piawai dalam menulis naskah-naskah bergenre teenager dan motivasi. Berasal dari Aceh dan senantiasa bergerak dalam dakwah bersama kaum remaja.
Previous
Membangkitkan Optimisme dalam Keluarga
Next
Challenge NarasiPost.Com ke-7
1 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

7 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
R. Bilhaq
R. Bilhaq
9 months ago

Semoga dilindungi dari berbuat demikian..

Hanimatul Umah
Hanimatul Umah
9 months ago

Lindungilah kami dari dosa yang melenakan yakni ghibah dan bahayanya.

Firda Umayah
Firda Umayah
9 months ago

Suatu maksiat kerap membawa nikmat bagi pelakunya, padahal itu bisa membawa laknat saat diakhirat. Semoga Allah menjauhkan kita dari segala maksiat dan perbuatan sia-sia. Aamiin

Nining Sarimanah
Nining Sarimanah
9 months ago

Ngeri yaa dosa orang yang suka ngegibah. Ngegosip memang benar tak hanya di desa juga di kota. Dan ini menjadi gaya hidup bahkan menjadi acara di tv. Sungguh sekularisme telah menjauhkan umat Islam dari rasa takut kepada Allah.

Dewi Kusuma
Dewi Kusuma
9 months ago

Astaghfirullah betapa dosa ghibah mengerikan. Alihkan kebiasaan ghibah dengan mengkaji Islam kaffah, inilah yang akan mendatangkan pahala pilihan bijak bagi setiap manusia.
So tak perlu ragu yakinlah bahwa Islam aturan Allah Swt yang akan menetramkan jiwa.

Mimy muthmainnah
Mimy muthmainnah
9 months ago

Sekularisme telah membuat orang di Desa atau Kota bertabiat kampungan. Mereka sudah tak peduli dengan apa yang mereka kerjakan. Apakah berdosa atau tidak.

Sayangnya, di antara org2 itu ada keluarga kita, teman, atau mungkin kita sendiri. Yah, sistem buatan manusia merusak secara sistemastis. Sebaiknya enyahkan sistem itu hingga ke akar2nya.

Sartinah
Sartinah
9 months ago

Ngeri ya, kebiasaan tersebut memang sudah mendarah daging di kota dan di desa. Tanpa keimanan individu, masyarakat, negara, dan sistem yang baik, maka kebiasaan kampungan itu akan terus beranak pinak dan menggurita di setiap sudut negeri ini.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram