Sia-Siakah Bekalku?

Orang yang tulus dan ikhlas adalah orang yang tidak menginginkan setiap amalnya dilihat dan diketahui orang lain. Seperti pohon, ia akan lebih bahagia menjadi akar yang tertanam dalam tanah namun dapat menopang kehidupan sang pohon.


Oleh: Aya Ummu Najwa

NarasiPost.com - Jika ditanya apakah ada manusia yang ingin rugi? Tentu jawabnya tidak ada. Setiap orang pasti menginginkan keuntungan, atau setiap orang pasti ingin untung. Untuk menjadi untung, maka manusia akan melakukan berbagai investasi dan inovasi. Ia akan mempersiapkan modal untuk mendapatkan keuntungan yang dia inginkan dan tentu ia tak akan menginginkan modal yang telah ia siapkan terbuang sia-sia.

Dalam rangka menjalani kehidupan dunia agar berjalan dengan lancar dan sukses, manusia membutuhkan bekal atau modal. Dan ia pun harus menggunakan bekalnya dengan maksimal dan total. Baik materi maupun pengetahuan dan keahlian tentang kehidupan dunia. Maka jika untuk kehidupan dunia yang sebentar saja manusia begitu totalitas karena tak mau rugi, apalagi dalam perjalanan manusia menuju akhirat?

Apa yang harus ia lakukan agar bekalnya menuju akhirat tidak sia-sia dan bahkan malah memperoleh keuntungan yang berlipat dan tidak merugi? Ibnul Qayyim rahimahullah, telah memberikan nasihat kepada kita.

العَمَلُ بِغَيْرِ اِخْلاَصٍ وَلاَ اِقْتِدَاءٍ كَالمُسَافِرِ يَمْلَأُ جِرَابُهُ رَمْلاً يُثْقِلُهُ وَلَا يَنْفَعُهُ

"Amalan yang dilakukan tanpa disertai ikhlas dan tanpa mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaikan seorang musafir yang membawa ransel berisi pasir. Bekal pada ransel tersebut hanya memberatkan, namun tidak membawa manfaat apa-apa." (Al-Fawa’id, hlm. 81)

Bekal yang sia-sia ternyata adalah bekal yang berat namun tidak manfaat. Tentu kita tidak menginginkan hal yang demikian. Membuang-buang waktu dan tenaga hanya demi sesuatu yang tak ada gunanya bahkan akan membuat kita rugi.

Dalam nasihat di atas disebutkan, bahwa bekal kita menuju akhirat adalah amalan kita. Namun amalan kita akan menjadi bekal yang sia-sia jika tidak disertai dengan niat yang benar, yaitu niat yang ikhlas karena Allah dengan memurnikan peribadahan hanya kepada-Nya, dan dilakukan sesuai dengan apa yang Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam ajarkan. Serta menyingkirkan semua kemungkinan yang akan mencemarinya dan merusaknya. Bisa jadi kemungkinan itu berupa pujian dari manusia, ingin diakui, mengharapkan imbalan materi, dan lain sebagainya.

Sungguh akan sangat berbahaya, jika tujuan awal melaksanakan aktivitas karena mengharapkan perhatian dari selain Allah, maka masuk dalam perbuatan syirik, yaitu menyekutukan Allah. Sedangkan Allah sangat benci dipersandingkan dengan apapun. Harus dipahami bahwa masalah niat bukanlah masalah yang remeh dan kecil. Betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil dan tak berarti hanya karena salah niat. Begitu pula sebaliknya, betapa banyak amalan yang dianggap kecil menjadi besar dan mulia hanya karena niat yang benar.

Bahkan dalam sebuah hadist Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam disebutkan, bahwa kelak di Padang Mahsyar akan ada seorang syuhada, penghapal Al-Qur'an, juga orang-orang yang gemar bersedekah, namun mereka dilempar ke dalam neraka hanya karena salahnya niat. Seorang yang syahid, yang ia berperang karena ingin dianggap sebagai orang yang pemberani, penghafal Al-Qur'an yang mengharapkan pujian dan sebutan Qari', atau orang yang menginfakkan hartanya hanya karena ia ingin disebut seorang dermawan dan baik hati. Allah memerintahkan agar mereka semua dilemparkan ke dalam jurang neraka. Na’udzubillah.

Ikhlasnya hati apakah telah tertanam atau belum, bisa dilihat dari beberapa tanda;

Pertama, Keikhlasan hati akan hadir jika kita menghadirkan ketakutan ketenaran dalam diri kita.
Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata: "Sangat sedikit sekali kita melihat orang yang tidak suka akan jabatan dan kedudukan. Banyak orang sanggup menahan lapar dan haus, atau keinginan akan harta, namun banyak yang tak sanggup bertahan dari iming-iming kedudukan dan jabatan. Bahkan, ia tidak segan untuk merebutnya meskipun harus menjegal kawan atau lawan.” Oleh karena itu, tak begitu mengherankan bahwa para ulama salaf banyak uang menulis kitab terkait larangan terlalu mencintai popularitas, jabatan, kedudukan, juga riya.

Fudhail bin Iyadh berkata, “Bila anda sanggup untuk tidak dikenal orang lain, maka lakukanlah. Anda tidak akan rugi jika anda tidak terkenal. Anda juga tidak akan rugi jika anda tidak disanjung orang lain. Demikian pula, janganlah anda marah jika anda menjadi orang yang tercela dalam pandangan manusia, tetapi menjadi manusia mulia dan terhormat di sisi Allah.”

Kedua, ikhlas hadir saat diri berani mengakui bahwa ia memiliki banyak kekurangan.

Orang yang ikhlas akan selalu merasa dirinya mempunyai banyak kelemahan dan kekurangan. Ia selalu merasa belum menjalankan segala kewajiban kepada Allah dengan maksimal dan total. Sebab itulah ia akan terus berusaha untuk tidak ujub atas setiap amal kebaikan yang ia lakukan. Dan sebaliknya, ia selalu akan merasa gelisah apakah semua yang dilakukannya diterima oleh Allah ataukah tidak. 

Ketiga, keikhlasan hadir jika diri lebih condong untuk menyembunyikan amal kebaikannya.

Orang yang tulus dan ikhlas adalah orang yang tidak menginginkan setiap amalnya dilihat dan diketahui orang lain. Seperti pohon, ia akan lebih bahagia menjadi akar yang tertanam dalam tanah namun dapat menopang kehidupan sang pohon.

Suatu ketika khalifa Umar bin Khaththab pergi ke Masjid Nabawi. Beliau mendapati sahabat Mu’adz bin Jabal menangis di dekat makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian Umar menegurnya, “Mengapa engkau menangis?” Mu’adz menjawab, “Sungguh aku telah mendengar hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Riya walaupun hanya sedikit, ia termasuk syirik. Dan barangsiapa memusuhi kekasih Allah maka ia telah menyatakan perang terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang baik, takwa, serta tidak dikenal. Sekalipun mereka tidak ada, mereka tidak hilang dan sekalipun mereka ada, mereka tidak dikenal. Hati mereka bagaikan pelita yang menerangi petunjuk. Mereka keluar dari segala tempat yang gelap gulita.” (Ibnu Majah dan Baihaqi).

Keempat, keikhlasan ada saat diri lebih mengutamakan keridaan Allah dibanding keridaan manusia. Ia yang tak gelisah dengan celaan orang yang mencela, ia yang tidak goyah dengan cibiran dan hinaan, ia mengemban dan memperjuangkan Islam semata-mata hanya mengharapkan rida Allah, dan menjadikan-Nya satu-satunya tujuannya.

Kelima, keikhlasan akan hadir ketika diri mencintai dan membenci sesuatu hanya karena Allah.

Ikhlas adalah ketika ia mencintai dan membenci, memberi dan menolak, rida dan marah, kepada manusia atau sesuatu yang didasarkan karena kecintaannya kepada Allah dan keinginannya dalam membela agama Allah, bukan atas kepentingan dan keinginan pribadi. Dan celaan Allah Subhanahu Wa Ta'aala atas orang-orang yang berbuat sebaliknya.

Maka dari sini, keikhlasan akan dapat dilihat dan selalu dicek kadar dan porsinya. Sehingga bisa segera diperbaiki lagi jika terjadi penurunanan pengurangan, sehingga dapat tetap terjaga dengan baik. Karena sesungguhnya ikhlas merupakan proses yang panjang dan lama, yang senantiasa membutuhkan perawatan, butuh dipupuk agar tetap tumbuh. Sebab, setiap amalan yang dikerjakan tanpa didasari dengan keikhlasan akan mengakibatkan terjadinya riya’ dan sum’ah. Begitu pula setiap amalan yang dilakukan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah ia yang akan menjadi bekal yang sia-sia, bekal yang hanya berat namun tidak bermanfaat, hanya menambah beban. Dan pastinya, tidak ada satupun kita yang menginginkan hal demikian, sedangkan perjalanan kita menuju akhirat begitu berat dan berliku.

Wallahu a'lam

Picture Source by Google


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Tantangan pada Penuduh Al-Qur'an
Next
Ngabuburit Anti Maksiat
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram