Tengkleng: Makanan Limbah Menjadi Mewah

"Daging-daging yang berada di daerah tulang rusuk, kaki, dan kepala dibuang sia-sia. Melihat hal tersebut, masyarakat yang dituntut kreatif mengolahnya menjadi makanan yang tak kalah lezat, yakni tengkleng"

Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Guys, jika pergi ke Solo, jangan lupa cicipi tengkleng. Yups, makanan yang terbuat dari kambing yang memiliki rasa khas Timur Tengah. Cita rasanya yang pekat disebut-sebut mirip dengan gulai, namun tetap memiliki perbedaan tersendiri, lho.
Tengkleng menjadi salah satu masakan yang tak asing di lidah masyarakat Indonesia. Makanan khas Solo ini dikenal sejak abad 18-an saat masa penjajahan. Tengkleng terbuat dari bagian tulang rusuk, kaki, kepala, dan bagian lain yang didominasi oleh tulang dan sedikit daging.

Dibalik rasanya, tahukah kalian, tengkleng memiliki kisah pilu? Tepat pada penjajahan Jepang, rakyat hidup sengsara. Kesulitan dan tekanan hidup yang mengimpit di bawah kekuasaan para penjajah, membuat rakyat kesulitan bertahan hidup, termasuk memenuhi kebutuhan pangan. Hal ini membuat rakyat yang kelaparan mencari segala cara dan upaya untuk bertahan hidup. Menggunakan stok bahan makanan yang menipis dan mengolah apa pun untuk mengganjal perut yang lapar. Kemudian, tengkleng lahir dari kreativitas masyarakat Solo dalam situasi tersebut.

Simak lebih lanjut fakta unik mengenai tengkleng yang belum banyak diketahui:

Limbah Menjadi Mewah

Para penjajah masa itu, hanya mengonsumsi daging tanpa tulang. Seperti hari ini kita banyak melihat daging-daging steak tanpa tulang yang sangat lezat. Kebiasaan tersebut mengakibatkan banyaknya limbah tulang yang terbuang. Saat belum dimasak, tulang belulang itu tampak tak menarik. Karena hanya sedikit saja daging-daging yang menempel di sana. Namun, kondisi yang tak memungkinkan untuk memilih membuat masyarakat harus memanfaatkan yang ada dan yang tersisa. Tulang belulang itulah salah satu jawabannya.

Dalam satu ekor kambing atau sapi, para penjajah hanya mengonsumsi bagian-bagian tertentu yang memiliki banyak daging. Sehingga, daging-daging yang berada di daerah tulang rusuk, kaki, dan kepala dibuang sia-sia. Melihat hal tersebut, masyarakat yang dituntut kreatif mengolahnya menjadi makanan yang tak kalah lezat, yakni tengkleng. Dari tulang belulang dengan sedikit daging inilah kaldu yang tercipta memiliki rasa yang sangat enak, gurih, dan lezat. Bahkan, jeroan yang berkaitan langsung dengan kotoran hewan tersebut itu pun menghasilkan cita rasa yang hingga saat ini digandrungi banyak kalangan.

Asal Nama Tengkleng

Tengkleng yang erat kaitannya dengan penderitaan masyarakat saat itu, sangat berbanding terbalik dengan tengkleng yang diketahui orang saat ini. Kita hari ini mengenal tengkleng sebagai makanan yang tak mampu ditolak sebab kelezatannya. Bayang-bayang sruputan kala melepaskan daging atau sumsum dari tulang mampu membuat kita menelan ludah.

Berbeda dengan zaman dahulu, penamaannya pun erat dengan kemiskinan masyarakat pribumi kala itu. Nama tersebut diambil karena saat tengkleng dihidangkan di piring, membuat bunyi "kleng-kleng-kleng". Sebab, piring masyarakat ke bawah hanya terbuat dari gembreng, yakni sejenis seng. Sehingga bunyi nyaring terdengar saat hidangan disajikan.

Cita Rasa Timur Tengah

Meskipun tengkleng hadir saat penjajahan Jepang, namun rasa tengkleng tak ada kaitannya dengan bangsa Jepang. Sebaliknya, tengkleng dengan cita rasa mendekati gulai dikarenakan pengaruh perdagangan dengan Timur Tengah. Oleh sebab itu, rasa tengkleng hampir mendekati dengan cita rasa gulai kambing khas Timur Tengah.

Nah, Sob. Itulah fakta-fakta unik mengenai masakan khas Solo ini. Dibalik kelezatannya, tengkleng menjadi saksi bisu masyarakat yang kelaparan kala itu. Bersyukurnya, Allah Swt. dengan sifat Maha Besar-Nya, menjadikan tulang belulang menjadi bahan dasar yang menghasilkan nikmat kelezatan. Bahan sederhana yang disulap menjadi makanan kaya dengan kaldu yang enak.

Selain itu, Sob, banyak hikmah yang bisa kita dapatkan dari sejarah tengkleng, yakni :

1. Dibalik kesulitan, pasti ada kemudahan

Allah memberikan masyarakat kala itu ujian dengan berbagai kekurangan, kelaparan, dan kemiskinan. Namun, Allah pula lah yang memberikan jalan kepada manusia. Dalam sejarah tengkleng ini, dalam keadaan yang sulit, Allah jadikan tulang belulang itu sesuatu yang berharga untuk manusia. Hingga kita bisa bersyukur saat ini, dapat menikmati hidangan selezat itu.

2. Dalam sabar, ada syukur

Dibalik kesabaran masyarakat Indonesia kala itu, yang serba kekurangan, ada rasa syukur yang tiada henti tercipta kala lahirnya masakan ini. Pemanfaatan tulang belulang yang dianggap limbah, menjadi makanan yang berkah dan menambah tenaga. Tak hanya itu, kelezatan dibalik kesederhanaan tak bisa digantikan dengan daging sekalipun hingga kini. Sebab, bahan tengkleng seperti iga, rusuk, kaki dan kepala tetap memiliki cita rasa tersendiri yang membuat rindu para penikmatnya dan tak bisa digantikan dengan kelezatan daging biasa pada umumnya.

3. Tidak mudah putus asa

Kegigihan masyarakat untuk tetap bertahan hidup meski kehidupan begitu menyesakkan, menjadi cerminan untuk kita. Walau mungkin ujian terus mendera, namun upaya, asa, dan doa tak boleh terhenti begitu saja. Hingga Allah yang membuka jalan kemudahan untuk kita. Allah Swt. berfirman:

ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ

Artinya : "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar Rad : 11)

Maha Suci Allah dengan segala ciptaan-Nya. Meskipun dunia hanyalah tempat sementara, dan tak lebih berharga dari sayap nyamuk, namun Allah berikan manusia berjuta-juta nikmat yang bisa kita rasakan dalam hidup ini. Segala ciptaan Allah yang tak ada satu pun di antaranya sia-sia, menjadikan satu sama lain berkesinambungan. Terlebih untuk manusia, Allah amanahkan untuk mengelola segala sumber daya yang ada, dengan akal yang dititipkan oleh-Nya. Tengkleng, salah satu bukti bahwa manusia memiliki aset yang berharga dibanding makhluk lainnya, yakni akal yang dipergunakan dengan semestinya. Karena tanpanya, tulang belulang hanyalah benda keras tak berarti. Namun dengan akal manusia, limbah ini menjadi sambungan hidup masyarakat dari dulu hingga terasa kini.

Allahua'lam bish shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Nurjanah Triani Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kuku dalam Tinjauan Medis dan Agama
Next
Ratu Sehari
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram