Punya “Anak Introver”, Bun? Ini Solusinya

Punya anak introver, BundIni solusinya

Bingung menghadapi anak yang lebih suka menyendiri? Artikel ini akan membantu Anda memahami karakteristik  “anak introver” dan memberikan panduan praktis untuk mendampinginya tumbuh.

Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Ada sebuah ilustrasi. Bu Amel punya anak bujang beranjak remaja. Si anak  enggan diajak dalam acara-acara keluarga. Kejadiannya bukan sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali hingga paman dan bibinya menanyakan alasan absennya. Sebagai orang tua, Bu Amel mendadak menjadi juru bicara untuk anaknya yang lebih menyukai kesunyian. Satu-satunya acara keluarga yang mau dihadirinya adalah halalbihalal yang berlangsung setahun sekali.

Lain Bu Amel, lain pula Bu Muji. Anak gadis Bu Muji masih mau diajak ke pertemuan keluarga. Namun, begitu tiba di tempat acara, dia lebih banyak mengamati dan menyimak obrolan. Apabila diajak bicara, jawabannya cuma iya dan tidak, padahal sebenarnya ada banyak yang bisa diceritakannya. Selama acara, dia tampak tidak nyaman dan keburu ingin pulang, apalagi jika dikelilingi oleh orang-orang yang berbeda tipikal secara diametral dengan dirinya. Oh, energinya serasa terkuras habis.

Pada mereka ini, jangankan menghadiri acara keluarga yang biasanya dipenuhi para sesepuh, hadir di kegiatan sekolah atau pesta-pesta pun mereka tidak suka. Ada saja alasannya untuk absen. Mereka lebih menyukai kesunyian untuk meredakan kebisingan yang berkecamuk di benaknya. Mendengarkan pemikiran mereka sendiri sekaligus berefleksi, semua itu lebih berharga baginya.

Tantangan Memiliki “Anak Introver”

Anak Bu Amel dan Bu Muji hanya dua contoh dari anak-anak yang lebih suka berteman dengan kesunyian. Mereka ini bukan pemalu atau pendiam. Mereka bisa menjadi orator ulung, pembicara andal dalam sebuah diskusi, bisa menyampaikan opininya secara mendalam, si lucu yang pandai melawak dalam lingkup kecil pertemanannya, dan dia normal seperti orang kebanyakan dalam segala hal. Hanya saja, mereka “memiliki keunikan” dalam merespons percakapan dan berinteraksi dalam keramaian dengan orang-orang yang tidak seberapa dikenalnya. Jadi, jangan pernah terpikir mereka ini antisosial.

Memiliki anak-anak semacam mereka, adakalanya lega, tetapi sekaligus khawatir. Lega sebab buah hatinya tidak terjerumus dalam pergaulan bebas dan aktivitasnya terpantau. Namun, ada rasa khawatir dia akan terkucil dari pertemanan dan lingkungannya. Anaknya akan diberi cap sombong, pemalu, tidak percaya diri, dan berbagai stigma negatif lainnya dari masyarakat. Dampaknya, bisa-bisa si anak betul-betul seperti label yang diberikan masyarakat padanya. Ini sungguh tidak diharapkan terjadi.

Kini, sikap mereka yang “unik” dalam bersosialisasi lebih dipopuler dengan sebutan introver. Saking populernya, banyak remaja mengidentifikasi dirinya sebagai introver walaupun aslinya bukan. Lebih dari itu, label ini, bahkan menjadi “pembenaran” atas perilakunya yang senang menyendiri, abai pada sekitar,  tidak mau terlibat dalam acara-acara keluarga, dan paling ekstrem, misalnya ogah menjadi pemateri dalam kegiatan dakwah. Mereka bilang, “Saya tidak bisa. Saya ‘kan introver.”

Nah, menjadikan introver sebagai “tameng” untuk menghindar dari segenap aktivitas wajib atau melepas tanggung jawab, inilah yang salah. Mari kita cari tahu lebih intens tentang introver ini.

Apa Itu Introver?

Istilah introver ini dipopulerkan oleh Carl Jung, seorang ahli jiwa asal Swiss. Jung membedakan kepribadian manusia menjadi tiga, yakni ekstrover, introver, dan ambiver. Bila ekstrover adalah si paling terbuka maka introver merupakan antonimnya, sedangkan ambiver adalah mereka yang sikapnya ada di antara ekstrover dan introver. Jika ekstrover mendapatkan energi setelah berinteraksi dengan banyak orang, introver justru sebaliknya. Mereka “mengisi baterai” semangatnya dalam keheningan.

7 Ciri Utama Introver ala Jung

Dikutip dari introvertdear.com (24-1-2024), berikut ini 7 ciri introver yang paling menonjol.

  1. Butuh ruang sendiri. Dalam dunianya yang hening, mereka bisa melahap ratusan halaman buku, menghasilkan crafting, menerbitkan tulisannya, atau sekadar menyapa dan mengobrol dengan teman-teman di dunia mayanya. Biasanya dengan alasan-alasan ini, mereka menarik diri dari basa-basi kehidupan.
  1. Rasa penasarannya tinggi. Karena lebih banyak memiliki waktu sendirian dan meminimalkan gangguan, mereka sering bertanya tentang berbagai hal yang membuatnya penasaran, memiliki banyak ide kreatif, dan suka berpikir mendalam. Oleh karena itu, banyak peneliti, ilmuwan, dan penulis yang introver.
  2. Butuh waktu lebih lama untuk merasa nyaman. Ibaratnya mesin, si introver ini masa pemanasannya lebih lama. Sebelum bergabung dalam obrolan atau aktivitas, mereka akan mengamati dulu sebelum mengambil tindakan.
  3. Berani berbeda pendapat dan kukuh dengan pendapatnya. Mereka juga berani mempertahankan pendapatnya berbekal prinsip-prinsip yang diyakini kebenarannya.
  4. Butuh waktu untuk dekat. Mereka butuh waktu untuk merasa nyaman dengan orang baru. Setelah nyaman, mereka akan lebih terbuka dan banyak bicara, apalagi jika topiknya menarik baginya.
  5. Lebih menyukai keheningan. Dalam suasana sunyi, mereka bisa melakukan banyak hal dan mengisi lagi “tangki” energinya.
  6. Lebih nyaman dengan sedikit teman, tetapi berkualitas. Obrolannya pun lebih suka yang mendalam.

Dari ketujuh sifat yang menonjol pada introver, anak Bu Muji dan Bu Amel memiliki semuanya. Persoalannya adalah apakah Bu Muji dan Bu Amel akan terus menoleransi sikap anaknya?

Kritik atas Konsep Kepribadian Introver dan Ekstrover

Sebagai sebuah hasil pengamatan atas perilaku individu-individu di Barat, konsep kepribadian ala Jung memiliki beberapa kritik.

Pertama, dari sisi budaya, konsep ini tidak bersifat universal dan mutlak. Introver dan ekstrover lahir di Barat. Dalam masyarakat Barat, manusia “dituntut” untuk menjadi ekstrover. Sebagai masyarakat yang individualis, mereka diminta untuk lebih terbuka, mandiri, ekspresif, dan kompetitif. Dalam budaya individualistis, kemandirian, dan pencapaian pribadi sangat dihargai. Akibatnya, ekstrover sering kali dianggap lebih baik dari introver.

Akan tetapi, konsep ekstrover tidak cocok bagi banyak negara Asia yang memiliki budaya kolektivitas. Di banyak negara Asia, warganya mempunyai kecenderungan mengutamakan harmoni kelompok dan bekerja sama dalam tim. Menjadi seorang introver bukanlah sebuah kekurangan, tetapi kelebihan karena biasanya mereka penuh pertimbangan dan lebih bijaksana.

Konsep ini makin tidak bisa diaplikasikan pada muslim yang memiliki definisi berbeda tentang kepribadian. Sejatinya, kepribadian (syakhshiyyah) manusia terbentuk dari akliah dan nafsiyah.  Adapun perawakan, pembawaan dalam bergaul, dan lain-lain yang diklaim sebagai pembentuk kepribadian, tidaklah tepat. Akliah yang berlandaskan pada ajaran Islam akan membentuk cara pandang seseorang atas dunia dan menjadi dasar saat mengambil keputusan. Sementara itu, pola sikap atau nafsiyah yang juga berakar pada Islam akan menentukan bagaimana seseorang berinteraksi dengan lingkungannya dan memenuhi kebutuhannya.

Dengan batasan seperti ini, seseorang harus mampu menembus “batas-batas kenyamanannya” demi menyelaraskan akliah dan nafsiyahnya dengan Islam. Bila pembawaannya senang menyendiri, dia harus berusaha keras untuk bisa keluar dari zona nyamannya. Demikian sebaliknya, jika seseorang cheerful di mana pun berada, dia harus membatasi diri bila ada di tengah-tengah komunitas yang ada laki-lakinya. Ada adab yang harus diutamakan dibanding memenuhi egonya.

Kedua, dari sisi ideologi, konsep ini lahir dari rahim sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Tanpa panduan agama dalam menjalani kehidupannya, masyarakat Barat sah-sah saja menjadi ekstrover dan introver. Akan tetapi, menjadi ekstrover jelas lebih bisa diterima karena selaras dengan ide sekularisme yang serba terbuka dan kompetitif. Ada pun para introver diupayakan bisa lebih terbuka agar senapas dengan ide sekularisme yang melingkupinya.

Namun, tidak demikian dalam Islam yang memiliki seperangkat hukum dari Allah Swt. Setiap manusia, sebelum bertindak harus mengikuti kaidah berpikir Islam. Apakah perbuatannya itu dibenarkan ataukah tidak? Begitu pula dengan cara bersikapnya. Dia tidak bisa semau gue, apalagi sengaja melanggar aturan-aturan ini. Standar perbuatannya hanyalah Islam. Allah telah berfirman di dalam surah An-Nur ayat ke-51.


اِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذَا دُعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اَنْ يَّقُوْلُوْا سَمِعْنَا وَاَطَعْنَاۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ۝٥١

“Sesungguhnya yang merupakan ucapan orang-orang mukmin, apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar ia memutuskan (perkara) di antara mereka, hanyalah, “Kami mendengar dan kami taat.” Mereka itulah orang-orang beruntung.”

Pandangan Islam tentang Introver

Berdasarkan paparan di atas, sangat jelas bahwa di dalam Islam tidak dikenal klasifikasi kepribadian introver, ekstrover, dan ambiver. Tidak dibenarkan pula mengidentifikasi diri sebagai salah satu dari ketiganya. Setiap muslim dituntut berkepribadian Islam. Seseorang dikatakan berkepribadian  Islam bila pola pikir dan sikapnya berdasarkan syariat Islam.

Tentang bersosialisasi, Islam menganjurkan manusia untuk saling mengenal dan berinteraksi sebagaimana diabadikan di dalam surah Al-Hujurat ayat 13. Saling mengenal, berinteraksi, dan tolong-menolong merupakan hikmah penciptaan manusia dalam berbagai bangsa dan suku. Ketika bersosialisasi, Islam memberikan batasan-batasan, yaitu berinteraksi sesuai kebutuhannya dan harus sesuai syariat. Salah satu contohnya, apa pun yang diucapkan tidak boleh berupa perkataan yang sia-sia, apalagi gibah. Rasulullah saw. pernah berpesan untuk selalu berkata baik atau diam.  

Para sahabat juga meneladankan demikian. Muadz bin Jabal dan Utsman bin Affan merupakan dua contoh sahabat yang menyukai keheningan dan tidak banyak bicara. Akan tetapi, keduanya terbukti dapat memimpin umat dan menjadi panutan.

Kembali pada sikap anak-anak Bu Muji dan Bu Amel pada ilustrasi di atas, sikap mereka tidak bisa terus dibiarkan, tetapi harus ada upaya pendampingan agar sifat tertutup dan menyukai keheningan tidak mendominasi dirinya. Dia pun tidak bisa dengan seenaknya mengeklaim dirinya sebagai introver untuk membenarkan perbuatannya bila terbukti melanggar syariat.

Kiat Menyeimbangkan Hidup “si Tertutup”

Mengasuh anak yang menyukai kesunyian memang suatu tantangan. Dibutuhkan pendekatan khusus agar kelak keputusan-keputusan yang diambil dalam hidupnya sesuai syariat.

Berikut ini beberapa kiat yang bisa dipraktikkan.

Pertama, bangun kedekatan lebih intens dengan menciptakan momen-momen berdua. Momen ini bisa dengan menjalani hobi berdua, misalnya berburu buku, mendiskusikan isi buku, merajut bersama, dan banyak kegiatan menarik lainnya. Bila putranya laki-laki, bisa bekerja sama dengan ayah untuk melakukan man time, seperti ngopi di kafe, joging bersama, atau melakukan hobi lainnya.

Ketika kedekatan terbangun, anak merasa nyaman, tidak merasa dituntut, dan dipaksa, saat itulah ayah dan bunda bisa memasukkan konsep-konsep islami secara natural, terutama akidah. Akidah inilah unsur pembeda antara muslim dan nonmuslim baik tampak dari pemikiran dan perbuatannya. Bila akidahnya kukuh, dia akan menanggalkan apa pun yang disukainya agar Allah rida.

Kedua, hadirkan sosok-sosok teladan yang terbukti mampu mengejawantahkan konsep-konsep Islami, seperti Rasulullah saw., para sahabat, dan ulama. Ceritakan sosok mereka lengkap dengan tantangan yang dihadapi agar kehadiran mereka terasa dekat. Harapannya, mereka pun tergerak untuk meneladaninya.

Tekadkan bahwa kisah yang kita ceritakan pada mereka mampu menggantikan sosok tokoh-tokoh fiksi ciptaan Barat. Sadarkah kita bahwa sosok asli Bruce Wayne sebelum berubah jadi Batman, Clark Kent (Superman), Peter Parker (Spiderman), Hulk, dan Tony Stark di Avengers adalah para introver. Azamkan pada diri bahwa anak-anak tidak lagi mengidentifikasi mereka sebagai “Oppenheimer”, si introver pembuat bom atom yang hidupnya lebih banyak dihabiskan di laboratorium.

Ketiga, jadilah teladan bagi anak-anak untuk setiap konsep yang kita tanamkan pada mereka. Adukan kepada Allah apa saja yang terjadi pada anak kita berikut tantangannya, lalu bubungkan doa dan harapan agar pola pikir dan pola sikapnya selaras dengan Islam. Menepi sejenak dari kebisingan memang dibutuhkan, tetapi hadir di tengah-tengah sanak saudara dengan wajah semringah dan obrolan gayeng tentu lebih disukai Allah. Menyaksikan mereka aktif berdakwah dan melakukan kontak-kontak terarah pada teman sebaya tentu hati kita merekah seperti tabebuya di musim kemarau.

Keempat, apresiasi setiap perubahan kecil yang dilakukannya meski hanya berupa tepukan ringan dan seulas senyuman. Keluar dari zona nyaman sungguh tidak mudah, tetapi usaha kerasnya pasti akan membuahkan hasil manis. Oleh karena itu, apresiasi setiap perubahan kecil yang dilakukannya. Ingatlah, setiap langkah kecil adalah kemenangan besar.

Khatimah

Menjadi orang tua bagi Gen Z yang berbeda zaman dengan kita merupakan tantangan. Kita harus jeli mengamati dan cepat-cepat meluruskan dengan ahsan bila ditemui ada hal-hal yang keluar dari konsep Islam, termasuk definisi-definisi  yang menjauhkan anak dari syariat. Sebagai orang tua, kita tidak dituntut memiliki anak berkepribadian ekstrover, introver, atau ambiver, tetapi memastikan anak-anak mempunyai pola pikir dan pola sikap Islam.

Wallahu a'lam bish-shawaab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Haifa Eimaan Salah satu Tim Penulis Inti NarasiPost.Com. pernah memenangkan Challenge bergengsi NarasiPost.Com dalam rubrik cerpen. beliau mahir dalam menulis Opini, medical,Food dan sastra
Previous
Kersen, si Ceri Lokal yang Melegenda
Next
Yahya Sinwar Syahid, Bagaimana Perjuangan Hamas?
5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

8 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Ummutriaz
Ummutriaz
1 hour ago

MasyaaAllah, penjelasannya mudah banget dipahami. Jazaakillahu khair, mba Haifa.

Wd Mila
Wd Mila
9 hours ago

MasyaaAllah.. kebanyakan Gen z, kalau disuruh dakwah dan ngontak selalu alasannya "sy introver"... semoga dengan baca artikel ini mereka jadi paham..

Arum Indah
Arum Indah
9 hours ago

Barakallah mbak.. naskahnya bagus bgt...

Irma sari rahayu Rahayu Irma
Irma sari rahayu Rahayu Irma
9 hours ago

Keren mbak. Andai ortu saya dulu memahami ini, saya gak akan berlama-lama jadi introver. Alhamdulillah.sejak mengenal dakwah, sedikit demi sedikit mulai sembuh

Deena
Deena
10 hours ago

Seperti apa pun anak, orang tua harus berupaya menerima dan membentuknya sesuai dengan akidah Islam.

Barakallah Mbak Haifa.. naskahnya keren..

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
10 hours ago

MasyaAllah, artikel yang mantab. Saya bisa mengambil ilmunya, Anak saya yang nomor 2 mirip dgn anaknya b. Amel. Ia sangat senang sendirian, tidak suka rame2, hobinya di kamar sendirian, mengerjakan sesuatu tak suga diganggu. Di kampus hampir tidak ikut kegiatan kecuali kuliah, selesai kuliah pulang. Punya teman beberapa, sealiran, cocok banget, kalau ngumpul hanya diam2an,.

Firda Umayah
Firda Umayah
10 hours ago

Setuju. Dalam pandangan Islam, kepribadian itu terbentuk dari pola pikir dan pola sikap. Barakallah untuk penulis

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
10 hours ago

Masya Allah, tulisan yang sangat bermanfaat.
Jazaakillaah khayran katsiiran atas ilmunya, Mbak.
Baarakallaah fiik

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram