Terbelenggu Cinta

Terbelenggu Cinta

Semoga kita mendapatkan kebahagiaan hingga ke jannah-Nya kelak. Janganlah kita terbelenggu cinta yang tak mampu lagi untuk menggenggamnya.

Oleh. Desi Wulan Sari
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Cinta itu fitrah. Allah memberikan rasa, akal, dan hawa nafsu kepada makhluk-Nya. Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, yang telah diciptakan. Bagaimana manusia menjalani hidupnya, sejak berada dalam alam rahim, lahir di alam dunia, dan mati di alam akhirat. Namun, satu hal yang mulia Allah berikan kepada manusia adalah rasa cinta.

Cinta tumbuh di saat benih-benih rasa mulai berkembang. Tidak dapat dimungkiri, cinta suci hanya mampu dijalani dengan jalan yang benar dan diridai Allah. Dan, inilah jalan hidupku, di saat cinta itu menepi dalam hatiku, bahagia, tawa, dan air mata, tak akan pernah terpisah dalam kehidupanku.

Pernikahan Impian

Siapa yang tidak bahagia, di saat seorang laki-laki pujaan hati ada di hadapanku dan berniat untuk menemui kedua orang tuaku. Dag dig dug, terdengar debar jantungku, rasanya mau pingsan seakan tak percaya sosok yang selama ini aku impikan hendak melamarku.

Waktu berjalan tanpa mampu kita tunda, hentikan atau ulang kembali. Di saat ingin berumah tangga, aku masih hidup dalam kebodohan. Sejak kecil aku tidak pernah dipaksa atau diwajibkan untuk menutup aurat secara utuh. Biasanya saat mengaji ke mesjid, atau menghadiri acara keagamaan, barulah kerudung membalut rambutku.

Kini, seorang laki-laki tampan, berjanggut tipis, rambut rapi, bicara santun ada di dalam rumahku. Dialah yang selama ini mengisi hatiku dengan bunga-bunga cinta impian. Wahyu, adalah nama yang telah tersemat dalam hatiku. Kami tidak pernah mengucapkan cinta sejak SMA hingga kuliah, tetapi perhatiannya sangat romantis menurutku pada saat itu. Berkirim surat penuh nasihat, traktir jajan walau pun hemat, ingatkan salat saat waktunya tiba.

Kaget, dan tidak percaya saat Wahyu memintaku untuk menjadi istrinya. Rasanya agak timpang dengan aku yang masih belum berhijab dengan dia yang lebih agamis menurutku. Aku berdoa dan selalu istikharah pada pilihan ini, bahwa dialah orang yang tepat sebagai pendamping hidupku.

Alhamdulillah, ijab kabul telah dilaksanakan. Sungguh bahagia aku, pernikahan impian bukan lagi khayalan, inilah hidupku, yang dimulai bersamanya sejak ia menghalalkan aku dan mengambil tanggung jawabnya sebagai pelindungku, kepala rumah tanggaku, dan imamku. Wahyu telah resmi menjadi suamiku.

Belenggu Cinta

“Izah!” tiba-tiba teriakan suara terdengar. Aku menoleh dan melambaikan tangan padanya. “Hai, masyaallah sudah lama kita gak ketemu ya non”. sapaku sambil berpelukan. Ternyata aku bertemu sahabat lamaku yang entah sudah berapa belas tahun terpisah saat lulus SMA. “Izah, kamu ke mana aja? Masyaallah kamu sudah berhijab sekarang, tambah cantik”. Akhirnya obrolan sapaan berlalu begitu saja, bicara tentang kabar dan keluarga melepas rindu bersama.

Azizah adalah namaku, biasa dipanggil Izah. Aku menikah dengan Wahyu, dan kami memiliki dua putri yang cantik dan lucu. Tanda syukur selama hidup berumah tangga yang aku jalani tak pernah lepas dari mulutku. Anak-anakku sekolah di sekolah Islam yang sangat baik lingkungannya dan membentuk karakter kedua putriku menjadi seorang calon hafizah. Insyaallah.

Sejak awal pernikahanku, aku langsung berniat untuk menutup aurat, aku berhijab dan selalu patuh kepada suami. Inginnya aku hijrah dan menjalani rumah tangga dengan membentuk keluarga sakinah mawadah warahmah bersamanya.

Seiring berjalannya waktu, ada perasaan yang mengganggu dalam hatiku. Rasanya aku melihat perubahan pada suamiku. Aku yang haus akan ilmu agama Islam, sepenuhnya aku serahkan pada Wahyu, suamiku agar mendidikku menjadi istri yang baik dan salihah. Satu hari Wahyu mengatakan bahwa aku tidak perlu bergaul dengan teman-temanku lagi. Padahal, aku memang tidak lagi banyak teman semenjak menikah atas permintaannya. Dia mulai mengecek setiap pesan di HP-ku, padahal selama ini tidak ada satu teman laki-laki pun yang berhubungan kontak denganku. Selama ini aku berusaha membantu perekonomian keluarga dengan berjualan kue, masakan katering sederhana, dan apa pun yang aku bisa buat untuk dijual. Ibu-ibu tempat anakku sekolah adalah pelanggan-pelanggan setia yang membeli daganganku. Aku tetap patuh padanya dan aku mulai menarik diri dari lingkungan sosial dan pertemananku.

Wahyu pernah mengatakan, “Izah, kita itu tidak perlu, juga tidak butuh keluarga lain, yang perlu kita jaga itu adalah keluarga kita sendiri, kamu, aku, dan anak-anak. Akulah yang kamu butuhkan bukan yang lain”. Saat itu aku hanya bisa diam seribu bahasa, berusaha memahami apa yang dia maksud. Aku pun patuh padanya. Hingga rasa kesepian diisolasi tanpa teman, tanpa bisa mengunjungi kajian taklim, dan tanpa mengetahui pasti alasan tepat yang datang darinya.

Selama 10 tahun pernikahan, air mata ini selalu kutumpahkan di sajadahku. Dalam sujudku, aku mengadukan kepada Allah atas ujian rumah tangga yang aku hadapi dengan kesabaran. Hingga pada batas yang aku rasa tidak lagi dapat kutoleransi, suamiku memberikan ultimatum kalau aku sudah tidak perlu datang lagi ke rumah orang tuaku. Aku tidak perlu lagi bertemu orang tuaku. Menurutnya, campur tangan orang lain selain keluarga intinya (aku, dia, dan anak-anak) akan mengganggu keharmonisan rumah tangganya. Astagfirullah, shock aku mendengar apa yang dikatakannya.

Selama 10 tahun ini aku patuh pada setiap yang dia katakan. Hingga aku benar-benar kesepian tanpa teman, tanpa ilmu, tanpa keluarga, dan orang tua di sisiku. “Ya Allah, sanggupkah aku menghadapi tekanan ini?”
Aku bersabar, aku jalani, tapi kenyataannya aku pun mengalami depresi dan hilang arah. Tidak tahu harus ke mana dan bagaimana menghadapi masalah rumah tangga yang tidak normal ini. Aku tidak berani membantah setiap perkataan dan dalil-dalil pembenaran atas perbuatannya. Aku mengalami bulliying fisik dan verbal, dan dampak psikologis berat yang aku rasakan.

“Ya Allah, berikan aku kekuatan…”.

Kekuatan Cinta

Selama satu tahun terakhir, aku dan anak-anak, benar-benar tidak diizinkan untuk bertemu dengan ayah dan ibuku, kakek dan nenek anak-anakku. Karena prinsip yang tidak masuk akal bagiku, walaupun dalil agama dia katakan sebagai pembenaran untuknya. Tangisan dan kesedihanku pun tidak juga membuat suamiku iba, aku memohon padanya untuk dibolehkan bertemu dan mengunjungi orang tuaku. Jawabannya sungguh di luar dugaan, “Izah, kalau kamu melangkahkan kaki dari pintu rumah ini untuk bertemu mereka, silakan, kamu tidak perlu kembali lagi ke rumah ini”. Astagfirullah…

Kutahan perasaan ini, meminta kepada Allah jalan terbaik apa yang harus aku lakukan. Apakah aku tidak berhak bahagia? Mengapa aku begitu lemah? Bagaimana nasib anak-anakku nanti?

Suatu hari, tanpa sengaja aku mendengarkan kajian sebuah stasiun radio yang membahas tentang kekuatan, cinta, dan dakwah. Kata-kata ustaz tersebut terus terngiang-ngiang dalam telingaku. Beliau mengantarkan ceramahnya dengan kalimat ini:

“Ketika kita menghadapi masalah, pasti kita ingin persoalan itu bisa terselesaikan. Dari mana pertanyaannya persoalan itu bisa terselesaikan? Ada datang dari kita berkat ikhtiar kita, ada juga yang datang dari bantuan pihak lain yang memiliki kemampuan, kekuatan, bahkan kekuasaan. Bila kita berbicara tentang pihak lain yang memiliki kekuatan yang kekuatan kemampuannya paling, paling… besar adalah siapa? Allah…, Maka, jika kita sedang menghadapi masalah kesehatan, pekerjaan, rumah tangga, keluarga, ekonomi dan macam lainnya, jangan menjauh dari Allah. Justru mendekatlah kepada Allah, karena Allah zat yang alla kulli sya’in qadir, yang sudah berjanji akan menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya. Kalau Allah sudah kasih tolong, tidak akan ada di muka bumi ini yang tidak mungkin, tidak ada yang berat kecuali menjadi ringan, tidak ada yang gelap kecuali menjadi terang, tidak ada yang bulat kecuali terurai…”.

Dalam QS. Muhammad ayat 7, Allah Swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Artinya:
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.

Masyaallah, tanpa terasa air mata deras membasahi pipi, kata-kata yang menohok telah menyadarkanku apa yang telah hilang dalam diri ini. Bahwa Aku masih punya Allah, aku masih punya hak untuk bahagia, aku masih punya solusi atas masalah-masalah yang aku hadapi. Nyatanya, aku telah kehilangan ilmu agama yang mendekatkanku kepada-Nya, aku telah menjadi lemah karena tidak memahami bagaimana Allah menyayangi hamba-Nya. Bahwasanya, aku punya kekuatan di atas segalanya, aku punya Allah yang Maha Kuat, yang memberiku kekuatan untuk bisa tegak berdiri.

Enam bulan berlalu, aku makin yakin akan keputusan yang akan aku ambil. Aku katakan pada Wahyu suamiku, bahwa beban yang aku tak sanggup pikul lagi adalah di saat engkau memutuskan tali silaturahim kepada orang yang paling aku cintai karena Allah. Ayah dan ibuku. Kedua putri kita pun tak mampu membuat engkau berubah untuk bisa membawa kami kepada kebahagiaan lahir dan batin. Kebahagiaan versi dirimu telah membutakan hatimu. Engkau telah berubah dari sosok pria yang aku pernah kenal dulu.

Pilihan berpisah darimu adalah pilihan akhir yang aku buat, dan kata-katamu untuk jangan pernah kembali lagi ke rumah kita, engkau ucapkan, dan engkau tidak lagi ingin kami ada di sisimu. Doaku, semoga kita sama-sama mendapatkan kebahagiaan hingga ke jannah-Nya kelak. Dan janganlah lagi kita terbelenggu cinta yang tak mampu kita menggenggamnya karena Allah.

Rasulullah saw. bersabda:
“Dari Mu’awwiyah Al-Qusrayiri, ia berkata: “Saya pernah datang kepada Rasulullah saw. kemudian “Saya lalu bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan (untuk kami perbuat) terhadap istri-istri kami?. Beliau bersabda: “…janganlah kalian memukul dan janganlah kalian menjelek-jelekkan mereka”. (HR. Abu Dawud)

Wallahu a’lam bishawaab.

Bogor, 4 Mei 2024
Dedicated for LH, my lovely best friend. “You are stronger and better now”

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Desi Wulan Sari Seorang penggiat dakwah dan Kontributor NarasiPost.Com
Previous
DPR Terjerat Korupsi, Apa Kabar Nasib Negeri?
Next
Menjaga Pola yang Telah Terajut
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

6 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
4 months ago

Banyak suami model seperti ini. Mereka melarang istrinya ikut kajian, tapi mereka juga tidak mengajari istrinya. Banyak suami yang hanya paham bahwa kewajibannya hanya mencari nafkah.

Netty al Kayyisa
Netty al Kayyisa
5 months ago

Ya Allah...ikut mewek bacanya. Semoga banyak suami2 di luar sana yang semakin paham akan kewajibannya. Tak hanya memenuhi nafkh lahir batin, tapi banyak kewajiban yang lain

Nirwana Sadili
Nirwana Sadili
5 months ago

Banyak suami yang merasa kalau istri itu harus manut total, tanpa filter. Semua serta tidak boleh, padahal syariat membolehkan

novianti
novianti
5 months ago

Atau suami melarang kajian dan dakwah. Padahal justru para suami harus bersyukur jika istrinya rajin ke kajian dan dakwah. InsyaaAllah akan meringankan hisab suami di akhirat. Semoga dengan jalan itu, istrinya bisa mempermudah mereka bertemu di jannahNya. Dinamika rumah tangga memang nano nano.

Siti Komariah
Siti Komariah
5 months ago

Bener sih taat sama suami adalah sebuah kewajiban yang pasti, bahkan di atas orang tua. Namun, kalau sebagaimana yang dilakukanWahyu tidak bisa dibenarkan. Memutus silaturahmi kepada kedua orang tua.

Semoga kita semua diberikan kekuatan cinta karena Allah.

Aniyatul Ain
Aniyatul Ain
5 months ago

Endingnya bikin sedih. Apa Mas Wahyu lupa ada kewajiban juga birrulwalidayn baik pada orangtua kandung maupun mertuanya...

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram