Dalam Islam, pernikahan bukanlah semata-mata karena cinta dan kasih, tetapi berdasarkan prinsip-prinsip ketaatan kepada syariat Allah Swt.
Oleh. Yusnianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pernikahan beda agama masih menjadi perbincangan publik. Pasalnya, artis papan atas dikabarkan akan melangsungkan pernikahan beda agama. Kita tidak mengkritisi bagaimana kelanjutannya, tetapi bagaimana hukum Islam memandangnya jika hal itu terjadi.
Pernikahan beda agama yang fenomenal saat ini merupakan kemungkaran yang jelas-jelas terpampang nyata. Pernikahan beda agama menjadi topik trending di negeri mayoritas muslim ini, padahal sebelumnya hal ini dianggap sesuatu yang tabu. Namun, nyatanya pernikahan beda agama makin meningkat dari tahun ke tahun. Sebelumnya, nikah beda agama hanya dilakukan secara diam-diam atau menikah di luar negeri. Namun, belakangan ini pelaku berani terang-terangan menunjukkannya ke publik. Bahkan, mereka tidak segan mengunggah dokumentasi pernikahannya di sosial media. Tidak sampai di situ, mereka juga berani melakukan permohonan izin ke pengadilan negeri agar permohonan tersebut bisa dikabulkan.
Pernikahan dalam Balutan Ide Kebebasan
Negeri yang mengemban ide kebebasan menjadi masalah utama praktik pernikahan beda agama. Hal itu membuat manusia merasa tidak memerlukan agama untuk menjalani kesehariannya. Mereka juga beranggapan bahwa pernikahan hanya sebatas memenuhi kebutuhan naluri, sedangkan aturan agama bukanlah sesuatu yang perlu diperhatikan. Hal ini terjadi karena konsep kebebasan yang berlandaskan sekularisme sehingga wajar jika ideologi ini melahirkan kebebasan bertingkah laku. Sejatinya, nikah beda agama merupakan bentuk perilaku manusia yang sangat berbahaya. Apabila terus dibiarkan lama-kelamaan akan menjadi peristiwa lumrah di tengah masyarakat. Akibatnya, beberapa tahun mendatang agama akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting.
Lahirnya moderasi beragama merupakan jalan untuk mendukung pernikahan beda agama. Dengan mengangkat permasalahan intoleransi, konsep moderasi makin diakui di masyarakat secara perlahan. Terutama ketika intoleransi dipertentangkan dengan persatuan dan kesatuan bangsa, konsep ini seakan-akan sempurna tanpa cela. Namun, sebenarnya ide moderasi dalam agama dapat menjadi sumber permasalahan. Karena alasan moderasi, prinsip-prinsip syariat Islam bisa diubah serta-merta. Dengan menggunakan moderasi agama sebagai dalih, keyakinan umat dapat tergerus dengan mudah.
Moderasi makin diagung-agungkan dan selalu dihubungkan dengan persepsi negatif terhadap Islam kaffah. Di tengah kurangnya pemahaman masyarakat terkait hukum-hukum syariat, kini ide ini seolah menjadi gagasan yang universal. Moderasi dalam beragama seakan menjadi jembatan antarumat beragama untuk mencapai kesepakatan dalam menghadapi berbagai perbedaan ajaran agama. Padahal, tiap-tiap agama memiliki ajaran dan identitasnya sendiri.
Berlandaskan Hak Asasi Manusia
Para pemuja moderasi beragama menggunakan dalih hak asasi manusia untuk melancarkan aksinya. Naluri ketertarikan yang hadir pada lawan jenis dipandang sebagai faktor utama dalam melangsungkan pernikahan. Perasaan yang tidak bisa dibendung oleh kedua belah pihak mengharuskan mereka untuk melangsungkan pernikahan, sekalipun hal itu melanggar norma agama. Tidak sedikit masyarakat juga ikut menyetujui, pasalnya mereka belum memahami syariat Islam. Selain itu, kepopuleran kedua belah pihak menjadi landasan untuk melegalkan pernikahan beda agama.
Gagasan berupa hak asasi manusia menjadi penopang bagi asas kebebasan. Dengan pola argumentatif terkait hak asasi manusia, masyarakat dapat berperilaku bebas sehingga memaksa umat untuk mengadopsi pemahaman kebebasan termasuk kebebasan beragama. Menurut mereka, agama hanya dijadikan sebagai bagian ibadah spiritual semata tanpa harus terlibat dalam mengatur kehidupan sehari-hari.
Hidup dalam balutan konsep sekuler memang membuat sulit bagi umat Islam untuk menerapkan syariat secara menyeluruh. Secara pemahaman, pernikahan beda agama menuai polemik. Sebagian umat sangat memahami bahwa pernikahan beda agama merupakan sesuatu yang jelas keharamannya. Hanya saja, problemnya hari ini masyarakat tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah. Usung demi usung ide kebebasan beragama telah memengaruhi pola pikir umat, sehingga mereka yang belum memahami hal tersebut menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Hal ini menimbulkan sikap individualis yang mengarah pada ketidakpedulian terhadap orang-orang yang seagama.
Pernikahan dalam Perspektif Islam
Allah Swt. telah mewahyukan Islam dengan hukum yang ditegakkan atasnya. Islam mengatur secara menyeluruh termasuk masalah perkawinan. Islam tidak menafikan keberagaman, melainkan sebagai pijakan umat dalam berperilaku. Keberagaman agama bukanlah sumber masalah dalam ajaran Islam. Namun, bila terjadi campur aduk ajaran Islam dengan agama lain atas dalih moderasi, hal itu dianggap sebagai pengkhianatan terhadap syariat Islam. Allah Swt. telah menetapkan bahwa syariat Islam menjadi pedoman bagi seluruh umat Islam, termasuk dalam menghadapi keberagaman agama. Menghormati agama lain tidak sama dengan mengharmoniskan agama-agama.
Islam telah mengatur masalah pernikahan beda agama.
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221)
Dalam Islam, pernikahan bukanlah semata-mata karena cinta dan kasih, tetapi berdasarkan prinsip-prinsip ketaatan kepada syariat Allah Swt. Juga bersama-sama memenuhi hak dan kewajiban sebagai suami dan istri. Itulah pernikahan yang akan mendapat berkah dan mewujudkan kehidupan harmonis, penuh cinta, dan kasih sayang dalam keluarga.
Wallahu a'lam bishawab.[]