Suka Kamu, Tanpa Kalau

Suka kamu tanpa kalau

"Cause, cinta bisa bikin seseorang mampu berkembang, sukses, dan maju. Tapi cinta juga bisa bikin seseorang hancur, sakit mental, dan melakukan kejahatan. Mirisnya, banyak teman dan saudara kita yang gak tau cara menyikapi ghorizah nau ini dengan baik dan benar sesuai syariat."

Oleh: Hafida N.
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-"Kalau aku suka kamu, gimana?"

Senyap. Bahkan embusan angin yang sedari tadi bernyanyi telah lenyap. Waktu seakan berhenti sejenak, ternyata semesta juga sedang memproses pertanyaan yang terlontar barusan. Tanggapan semesta sama seperti gadis remaja dengan novel di dekapan.

"Itu ‘kan kalau." ujar remaja itu kemudian. "Permisi, Senior." Pamitnya sembari menunduk sopan. Meski telah melangkah pergi, indra pendengarannya masih mampu menangkap kata maaf dari Senior.

"Gharizah Nau ini, belum waktunya." gumamnya sembari menatap novel di dekapannya. Novel berjudul Nau yang Istimewa.

Gadis itu tersenyum pada dua sahabatnya yang sedari tadi mengawasi. Keduanya bertanya yang hanya dibalas gelengan kepala. Rahasia, dia akan mengatakannya nanti.

****

Kejadian itu sudah berlalu. Bertahun-tahun lamanya, dirinya masih teringat. Bukan teringat oleh seseorang yang bertanya itu, melainkan dengan kata-katanya. Apa istilahnya? Cinta monyet, ya? Atau suka monyet?

"Jadi flashback lagi ‘kan," gerutu gadis dengan pashmina biru navy itu. Gerutuannya ditanggapi gelengan kepala oleh dua gadis lain.

Gadis pashmina hijau emerald bertanya iseng, "Dalila, kamu belum move on?"

Mendengarnya, gadis pashmina merah maroon memasang raut kaget. "Move on? Ya Allah, jadi kamu masih crush-in dia diam-diam?" katanya lalu tertawa kecil. "Loyal sekali kamu, Nak." ledeknya kemudian.

Dalila, nama gadis biru memasang bombastic side eyes-nya. "Ngapain move on? Aku ‘kan gak suka." tanggapnya sedikit ketus. "Ziara dan Intari, dua sahabatku yang baik, tolong jangan pasang ekspresi ngeselin gitu. Aku jadi pengin nampol kepala kalian berdua. Boleh?"

Ziara, gadis merah memasang raut herannya, "Pakai izin segala. Itu ‘kan cara kita meluapkan rasa sayang."

Gadis lainnya, Intari mengangguk setuju. "Bener tuh kata Ziara. Aku jadi inget belum nampol kalian. Sini kepalanya. Bismillah, headshot!"

Intari yang pertama meluapkan rasa, dilanjut Ziara lalu Dalila.

Dalila mengelus kepalanya, "Bismillah jadi jenius."

"Btw, apa yang kalian pikirkan tentang suka dan cinta?" tanya Intari tiba-tiba. "Di saat teman sebaya kita masih banyak yang terikat hubungan haram bahkan anak sekolah dasar aja punya mantan, kita bertiga masih punya benteng pertahanan diri dengan moto 'Keep Halal, Bestie'. Benteng biar kita gak ikut arus pergaulan yang bikin istigfar."

Keep Halal, Bestie adalah moto atau bisa dikatakan pengingat diri bagi ketiganya. Jika ada yang confess alias 'menembak', mereka akan saling lapor. Ending-nya pun selalu sama yaitu penolakan atas ajakan pacaran.

"Cinta, ya?" Ziara menyeruput jus mangganya. "Cinta itu sesuatu yang tak bisa digambarkan lewat kata-kata. Pembahasan tentang cinta gak ada habisnya. Semenarik itu menurutku. Kalau kata Imam Al-Ghazali, cinta itu universal dan gak bisa dipaksa."

Dalila menyetujui ucapan Ziara. "Betul. Kalau dari sudut pandang Islam, cinta itu suci. Cinta harus didasari kasih sayang dan dibuktikan oleh perbuatan. Berarti, love language dalam Islam itu act of service ya."

Intari tertawa kecil, "Tentu bukan cuma words of affirmation. Omong doang gak ada aksi nyata."

"Sebagai pengingat nih." kata Ziara sembari mengambil brownis potong. "Sebelum mencintai makhluk hidup, kita harus cintai dulu penciptanya, ‘kan? Jadi cintai dulu Allah biar kalau kita cinta itu karena-Nya. Bahaya banget kalau cinta cuma karena hawa nafsu."

Intari mengutarakan pendapatnya. "Cause, cinta bisa bikin seseorang mampu berkembang, sukses, dan maju. Tapi cinta juga bisa bikin seseorang hancur, sakit mental, dan melakukan kejahatan. Mirisnya, banyak teman dan saudara kita yang gak tau cara menyikapi ghorizah nau ini dengan baik dan benar sesuai syariat."

Ting! Baru saja Dalila berniat bersua, suara notifikasi menghentikan niatnya.

Mas J:
[Dek, pulang sekarang. Mas punya kejutan buat kamu.]

Selama beberapa detik, Dalila hanya bengong sembari menatap layar ponsel. Gadis itu tersadar setelah mendengar seruan dari Ziara.

"Apa ini, Bestie?! Anda disuruh pulang?" tanya Ziara kaget. "Jangan-jangan …" Ziara menggantungkan kalimat, netranya menatap dua sahabatnya bergantian.

Intari tersenyum jahil, "Apa kejutannya itu berupa kamu mau dikenalin sama teman Abangmu, Bestie?"

Dalila terdiam. Feeling-nya berkata, ada sesuatu yang mendebarkan yang menunggunya kepulangannya. Tapi apa?

***

"Saya sedikit suka film dokumenter, Bang"

"Tapi kalau ke adik saya, sukanya seberapa?"

"Tak terhingga."

Deg! Jantung Dalila berdebar mendengar suara seseorang yang sedang berbicara dengan kakaknya. Gadis itu berdoa, semoga sang kakak tidak menginterogasi secara berlebihan. Kasihan mentalnya, hati Dalila berkata.

Setelah mengusir pikirannya yang berkeliaran, Dalila segera melanjutkan langkah. Dirinya diminta oleh sang mama untuk masuk lewat pintu samping rumah. "Assalamu'alaikum, Ma."

"Wa'alaikumussalam. Kak, ada seseorang yang mau ketemu." kata wanita paruh baya dengan gamis cokelat itu.

Dalila menatap ibunya, "Ma, aku gak dijodohin, ‘kan?" tanyanya cemas. Bukannya tidak suka, tapi Dalila merasa bersalah sebab dirinya masih menyimpan rasa untuk seseorang yang kini entah di mana.

Bukannya menjawab, sang mama hanya menepuk bahu putrinya. "Bersih-bersih diri dulu, gih. Habis main, ‘kan? Nanti anterin minuman ke depan, ya." titahnya kemudian.

Dalila mengangguk lesu. Dalam pikirannya tebersit, siapa pun dia semoga tidak merasa ilfeel sebab dirinya yang biasa-biasa saja.

****

"Sebenarnya sudah ada gambaran rumah yang mau dibangun, tapi klien saya ini susah dihubungi jadi mau saya cancel aja. Ribet, Bang."

Kakak Dalila mengangguk, alis kanannya terangkat. Mengode agar adiknya tetap melanjutkan langkah. "Saya jadi ingat ada teman yang mau bangun rumah dan butuh rekomendasi tepercaya. Coba nanti saya beritahu dia soal kamu, ya."

"Wah boleh tuh, Bang. Terima kasih."

Tangan Dalila gemetar. Huh, penyakit gugupnya kembali datang. Bismillah, tarik napas, embuskan. Stay calm, Dalila. Dan apa tadi? Bang? Apa mereka berdua memang seakrab ini?

"Duduk, La." Sang kakak berdiri, menyambut adiknya lalu mengambil alih nampan. Lelaki itu tau pasti bahwa adiknya sedang terserang rasa takut dan gugup. "Kamu ngapain pakai cadar?" tanya sang kakak heran.

"Malu," jawab Dalila jujur yang dibalas dengusan tidak percaya.

Sang kakak menaruh gelas berisi teh hangat di depan sang tamu. "Jadi, kalian sudah saling tau atau belum?" tanyanya santai. Berbeda dengan Dalila yang tidak bisa tenang.

"Adik Abang ini, adik kelas saya waktu SMK. Selisih 2 tahun." jawab sang tamu. "Dalila, gimana kuliahnya?" tanyanya kemudian.

"Alhamdulillah, lancar." jawaban Dalila apa adanya.

"Maaf, apa kamu punya seseorang yang kamu sukai?"

Eh? Dalila refleks menoleh ke arah sang tamu. "Itu, eng …" Netra Dalila menatap kakaknya. Tangannya meremas kuat kaos yang dipakai lelaki dengan jaket denim itu. "Mas, bantuin," katanya lirih.

Dalila ingin menangis dan meminta maaf. Karena ya, dia memiliki seseorang yang bukan hanya disukai, tapi juga dicintai. Aku harus gimana?

Sang tamu tersenyum seakan menyadari sesuatu. "Dalila, saya mau bilang sesuatu untuk kedua kalinya. Saya suka kamu." Tegasnya dengan menatap intens Dalila.

Apa ini? Dalila baru menyadari bahwa suara seseorang di hadapan kakaknya itu mirip dengan suara seseorang 6 tahun lalu. Apa dia ini senior? Dewasa mengubah segalanya, ya.

"Senior?" Panggil Dalila ragu-ragu.

"Ya?" jawab sang tamu. "Long time no see, little girl with banana keychain."

Netra Dalila melebar. Ternyata memang dia, seseorang 6 tahun lalu. Seseorang yang bertanya sesuatu yang sampai kini masih teringat jelas dalam ingatan Dalila.

Sang kakak mengernyit heran, "Wait. Kedua kali? Dalila, dia pernah bilang suka sama kamu?" Selidik kakak dengan nada interogasi.

Dalila tidak tahu harus menjawab apa. Tapi, dia dikejutkan dengan jawaban dari Senior. "Ya, saya dulu pernah bilang padanya. 6 tahun lalu tapi hanya ditanggapi Dalila dengan 3 kata." Sungguh jawaban yang jujur.

"3 kata?"

"Itu ‘kan kalau." jawab Senior. "Kata Dalila dulu."

Sang kakak menatap adiknya lekat. Seolah berkata, jangan bilang kamu nyembunyiin ini dari semua orang? Di balik cadarnya, Dalila tersenyum. Mengetahui jawabannya, sang kakak mendengus lirih. "Dik, kamu mau diseriusin, gak?"

Dalila baru ingin menjawab namun keduluan dengan sang kakak yang kembali berucap. "Oke. Bawa orang tua kamu ke sini, secepatnya. Paling lambat 3 hari ke depan. Lebih dari itu, coba lagi tahun depan. Itu juga kalau Dalila belum dinikahin sama orang lain."

"Mas," Dalila melayangkan tatapan peringatan. Dikira ini sidang skripsi?

"Bercanda." kata sang kakak. Dalila mendengus diam-diam, bercanda tapi muka datar begitu.

"Jika kamu pemberani, coba confess sekali lagi. Di hadapan kami." Lanjut sang kakak.
Tak lama, dari balik pintu muncul orang tua Dalila. Ketiga orang itu menunggu aksi nyata pemuda dengan kemeja hitam putih itu. Dalila beranjak dari duduknya, ingin menjitak kepala sang kakak karena berani memerintah. Dia merasa tidak enak pada Senior.

"Senior, gak perlu–"

"Gapapa. Dalila, saya suka kamu, tanpa kalau. Tentu karena Allah. Ayo ta'aruf lalu menikah."

Dalila melongo mendengarnya. Tenang dan santai sekali seakan bukan mengajak anak orang menjalin kehidupan baru.

"Jadi kami sudah punya calon putri, ya?" Celetukan seseorang membuat semua pasang mata mengarah ke sumber suara.

"Halo, calon anakku. Nanti panggil saya Bunda." kata seorang wanita dengan senyum keibuannya. "Dan panggil suami saya Ayah." Tunjuknya pada seorang pria dengan wajah yang mirip dengan Senior. Versi dewasa dengan wajah lebih tegas dan beraura dingin.

"Welcome to our family, my future daughter." kata calon ayah Dalila dengan nada suara yang terdengar tegas.

Dalila melongo lagi, apa ini? Kenapa tiba-tiba kedua orang tua Senior datang tanpa aba-aba? Apa semua ini sudah direncanakan? Gadis itu menatap kedua orang tuanya yang kini sibuk bercakap dengan orang tua Senior.

"Kalian kenal?" tanyanya yang dibalas senyum miring oleh para pria dan senyum lembut oleh para wanita.

Oke, ini sih namanya juga perjodohan. Tapi tidak apa-apa, Dalila rela lahir batin jiwa raga karena Seniorlah orangnya.

Tapi sepertinya Dalila melupakan sesuatu yang penting, apa ya?

Ting! Suara notifikasi ponselnya membuat Dalila tersadar dari lamunan. Gadis itu membaca pesan yang tertera di layar ponsel.

TCCG

Ziara:
[Gimana, Da? Lo beneran dijodohin]

[Jawab, Bestie! Gue kepo!]

Intari:
[Kayanya iya deh. Perasaan gue bilang gitu. Spill calonmu, Nak.]

Dalila:
[Iya, kayanya aku dijodohin.]

Send a picture.

Dalila tersenyum geli, melihat kebrutalan sahabatnya di grup chat. Dia mengirim foto Senior dengan hanya lengan lelaki itu yang kelihatan. Sekali lihat pula. Dalila yakin, sahabatnya sedang mencak-mencak di sana.

Ziara:
[Kaya pernah liat. Tangannya familier.]

Intari:
[Iya weh. Siapa ya? Gue mau nebak tapi takut salah.]

Dalila:
[Coba tebak.]

Intari:
[Senior bukan sih? Itu loh si itu.]

Ziara:
[Yang waktu kita habis US, dia ngajak Dalila ketemuan di taman belakang sekolah? Yang Dalila senyum-senyum sampai 3 hari? Iya bukan?]

Dalila:
[Saya gak senyum selama itu, ya! Tapi selamat, tebakan kalian benar.]

Lalu bom! Ramailah grup TCCG dengan spam chat dari Intari dan Ziara. Dalila membiarkan keduanya dipenuhi rasa penasaran. Dia akan menceritakan kejadian 6 tahun lalu nanti saja.

Gadis itu lalu mematikan data ponsel. Dia menoleh sejenak ke arah Senior. Hanya 2 detik lalu kembali menundukkan pandangan.

Dalila tidak tahu bahwa kini Senior yang menatapnya dengan senyum terulas dengan netra yang meneduhkan.

Sungguh kisah yang romantis, bukan?

Tamat!

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Hafida N. Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Influencer Kebaikan, Siapa Takut?
Next
Bersabar dan Bersyukur
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

7 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
1 year ago

Barakallahu fiik untuk penulis. Semoga istikamah dalam menebarkan dakwah ke kalangan muda dengan tulisan dan lisan. Aamiin.

Maya Rohmah
Maya Rohmah
1 year ago

MasyaAllah, semoga putra-putriku memiliki kisah cinta yang terjaga seperti ini.

Barakallah, author.

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Jujur sih, agak jarang generasi muda yang punya pertahanan akidah yang bagus apalagi di zaman yang serba bebas saat ini. Barakallah, tetap semangat menginfeksi pemikiran Islam pada generasi.

Wd Mila
Wd Mila
1 year ago

"Sebelum mencintai makhluk hidup, kita harus cintai dulu penciptanya, ‘kan? Jadi cintai dulu Allah biar kalau kita cinta itu karena-Nya. Bahaya banget kalau cinta cuma karena hawa nafsu."
Bener banget,, suka sekali dengan kalimat ini.

Atien
Atien
1 year ago

Barakallah mba. Semoga istikamah dalam menyampaikan Islam kepada para generasi muda lewat dakwah literasi

Siti komariah
Siti komariah
1 year ago

Barakallah mba. Suka dengan para pemuda yang punya benteng pertahanan dari pergaulan yang bobrok saat ini.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram