Bukannya minta maaf, Rusli justru menarik anak dan istrinya ke dalam rumah. Ia pun menutup pintu sembari membantingnya kasar. Kontan suaranya mengejutkan Ahmad dan para tetangga.
Oleh. Ziva Lia
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Mulialah orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain. Dengan meminta maaf, juga tak membuat orang itu menjadi rendah."
Selama salat Tarawih, Rusli tak bisa khusyuk. Hatinya penuh tanya dan matanya terus memperhatikan seseorang yang salat tepat di depannya. Begitu salat Tarawih selesai, Rusli buru-buru menemui orang tersebut.
"Ahmad, kamu dapat sarung itu dari mana?" tanya Rusli, tanpa ragu.
Ahmad, lelaki 35 tahun itu seketika menatap sarungnya.
"Oh, ini. Alhamdulillah dikasih keponakan, Pak. Dia baru pulang dari rantau," sahut Ahmad dengan wajah semringah.
Namun, Rusli tak percaya dengan pengakuan Ahmad. Ia justru mengeraskan suaranya hingga orang-orang yang hendak meninggalkan masjid menghampiri mereka.
"Nggak usah bohong kamu, Mad. Kamu pikir sarung itu murah? Mana ada, saudaramu kuat beli sarung merek itu!" seru Rusli seraya berkacak pinggang.
Ahmad kebingungan. Mengapa salah satu orang terkaya di kampungnya itu tiba-tiba menyerang dengan menghinanya di depan banyak orang?
Lelaki berkulit legam itu sadar. Ia hanyalah seorang buruh tani dan tak mungkin sanggup membeli sarung merek itu. Jika pun mampu, pasti ia lebih memilih menggunakan uangnya untuk keperluan lain yang lebih penting. Mengingat tidak setiap hari ada orang yang menggunakan jasanya.
"Saya sudah jujur, Pak. Ini memang diberi keponakan saya. Alhamdulillah, usahanya di kota sukses. Makanya saya dibelikan sarung merek ini. Bahkan, bukan satu, tapi dua. Satunya lagi insyaallah akan saya pakai pas Lebaran," terang Ahmad dengan suara bergetar.
Ahmad merasa malu karena banyak pasang mata yang memandanginya dengan tatapan curiga. Bahkan, beberapa di antaranya berbisik-bisik sambil meliriknya sinis.
"Halah, dua? Satu aja belum tentu," cibir Rusli yang meremehkan sambil tertawa mengejek.
"Ini sebenarnya ada apa, Pak Rusli? Kalau sarung yang dipakai Ahmad beneran dikasih keponakannya, gimana?" Seorang warga yang melihat pertengkaran mereka, mencoba ingin menengahi.
"Sarung saya dengan merek itu, warna, dan corak yang sama kayak gitu, hilang tadi sore di tempat jemuran. Sarung itu baru sekali saya pakai. Eh, sekarang ada di sini," tunjuk Rusli pada sarung kotak-kotak hijau yang dipakai Ahmad.
"Maksud Pak Rusli … saya mencuri sarung Bapak dari jemuran?!" seru Ahmad.
Tak menyangka jika ia sampai dituduh mencuri hanya karena memakai sarung mahal. Padahal kebetulan saja, corak, warna, dan mereknya sama persis dengan sarung milik Rusli yang hilang.
"Tuh, ‘kan, ngaku!" Rusli berdecih.
"Kapan saya ngaku? Kalau memang Pak Rusli bersikeras merasa ini sarungnya, ini ambil aja."
Ahmad yang enggan berdebat, juga malu karena terus-menerus dipermalukan di depan umum, rela memberikan sarung yang dipakainya. Asal Rusli berhenti memojokkan dan menuduhnya mencuri.
"Apa? Kamu pikir, saya mau pakai sarung bekas orang kayak kamu. Yang ada saya ketularan miskin entar!" bentak Rusli, kemudian meninggalkan Ahmad yang mematung di pelataran masjid.
Kejadian itu membuat sebagian orang kusak-kusuk membenarkan ucapan Rusli. Namun, sebagian lagi malah iba kepada Ahmad atas perlakuan Rusli yang dianggap kelewatan.
Sesampainya di rumah, Ahmad langsung mencari dus bekas tempat sarung baru itu. Ia berniat ke rumah Rusli untuk meluruskan tuduhannya. Walaupun tak bersalah, ucapan Rusli di masjid barusan cukup menyakitkan dan membuatnya malu.
"Bapak nyari apa?" tanya istri Ahmad ketika melihat sang suami mengobrak-abrik tempat sampah di pojok dapur.
"Dus bekas wadah sarung ini mana, Bu?"
"Oh, itu masih ada," tunjuknya, "buat main anak-anak, katanya dusnya bagus, sayang kalau dibuang."
Memang dus dari sarung mahal itu berbeda dengan sarung murah yang biasa Ahmad beli. Dilihat dari dusnya saja sudah ketahuan jika itu sarung mahal.
"Mana … Bapak pinjam sebentar?"
Sang istri heran dengan sikap Ahmad, terlebih mau diapakan dus sarung itu. Setelah mengambil dus yang sedang dipakai mainan kedua putrinya, Ahmad segera menuju rumah Rusli.
Rumah mereka hanya berjarak enam rumah, jadi tak butuh waktu lama Ahmad sudah sampai di depan rumah Rusli yang besar dan mewah. Rumah bergaya Eropa dengan pilar-pilar yang besar dan berlantai marmer cokelat itu, menjadi salah satu rumah terbagus di kampung.
Melihat pintu rumah Rusli masih terbuka lebar, Ahmad pun langsung mengetuk pintu seraya mengucapkan salam dengan suara kencang.
Tak lama, Rusli keluar. Mendapati seseorang yang datang adalah Ahmad, ia seketika menunjukkan wajah garang.
"Mau ngapain kamu? Mau mencuri lagi?" tuduhnya tanpa basa-basi.
"Astaghfirullahal'adzim. Saya ke sini mau menunjukkan dus sarung ini, Pak. Ini lihatlah, dus dan capnya masih utuh. Saya tidak bohong, sarung ini benar-benar pemberian keponakan saya," jelas Ahmad, menunjukkan dusnya.
Rusli justru merebut kasar dan melempar sembarangan dus itu. Ia masih tak percaya dengan bukti yang disodorkan Ahmad dan justru menuduhnya pasti sengaja mengambil dus yang dibuang orang, hanya agar tak dituduh mencuri lagi. Dada Ahmad terasa sesak dan nyeri, kemiskinan seolah-olah memojokkannya sehingga ia pantas dituduh pencuri.https://narasipost.com/challenge-milad-np/11/2022/novel-kampungan-dan-bapakku/
Keributan yang dihasilkan suara Rusli yang menggelegar, membuat beberapa tetangga datang mendekat. Begitu juga dengan anak dan istri Rusli, mereka keluar dan menyimak dengan apa yang terjadi.
"Ada apa, sih, Pak? Kok, ribut-ribut."
Sang istri yang tak tahu-menahu duduk permasalahannya, turut bertanya pada suaminya yang sudah berkepala empat itu. Dengan gamblang, Rusli menceritakan lalu menunjuk sarung yang dipakai Ahmad jika itu sarungnya yang hilang. Seketika anak gadis Rusli masuk ke rumah. Tak berselang lama, ia keluar sembari membawa sarung yang sama.
"Maksud Bapak sarung ini, ya? Tadi sore karena gerimis, aku angkat jemuran dan membawanya masuk ke kamar. Aku lupa kasih tau, kalau sarung Bapak kebawa. Ini … sudah aku lipat juga, Pak." Putri Rusli menjelaskan.
Sontak wajah Rusli merah padam, antara malu juga geram pada putrinya sendiri. Ia justru keluar di saat yang tidak tepat bagi Rusli. Maksud sang putri ingin menengahi, malah dianggap mempermalukan bapaknya sendiri.
"Tuh, Pak Rusli … sarungnya ada. Berarti semua cuma salah paham. Sekarang Pak Rusli minta maaf dong sama Ahmad," ucap salah satu tetangga.
Bukannya minta maaf, Rusli justru menarik anak dan istrinya ke dalam rumah. Ia pun menutup pintu sembari membantingnya kasar. Kontan suaranya mengejutkan Ahmad dan para tetangga.
"Astagfirullah …," ujar mereka bersamaan.
Di dalam rumah, Rusli marah-marah sampai memaki putrinya sendiri. Menganggap apa yang dilakukan sang putri justru mempermalukannya. Kesombongan Rusli telah membutakan mata hati. Sampai-sampai ia begitu benci terhadap orang lain yang dianggapnya lebih rendah.
Setelah kejadian itu, Rusli yang malu atas sikap dan sifatnya yang congkak, kini makin menjauhi Ahmad. Ia tak mau dekat-dekat dengan Ahmad meskipun lelaki miskin itu tak dendam ataupun menunjukkan wajah tak suka. Ahmad tetap melempar senyum pada Rusli kendati kerap tak dihiraukan, bahkan sampai membuang wajah dengan raut masam.
Suatu hari ketika lembayung senja sudah menunjukkan wajah di langit sore. Ahmad yang hendak pulang dari sawah setelah seharian bekerja di ladang, melihat beberapa orang sedang berkerumun di tepi jalan.
Penasaran, ia pun melangkah untuk mendekati kerumunan. Ahmad ingin tahu apa yang terjadi. Alangkah terkejutnya Ahmad, saat melihat Rusli sudah pingsan. Wajah pria kaya itu pucat pasi, tubuhnya penuh darah, terutama bagian kaki dan tangan. Motor matik keluaran terbaru yang beberapa bulan dibelinya pun terlihat rusak parah.
"Ya Allah, Pak Rusli!" seru Ahmad, panik.
"Bapak kenal orang ini? Dia tadi tertabrak mobil, Pak. Tapi mobil yang nabrak malah kabur." Seseorang yang melihat kejadian itu bercerita pada Ahmad.
"Iya, dia tetangga saya, Pak."
Dengan segera, Ahmad minta pertolongan pada orang-orang di sana untuk membawa Rusli ke rumah sakit. Ia juga meminta salah satu dari mereka mengabari keluarganya.
"Bapak udah siuman?" tanya istri Rusli begitu suaminya membuka mata perlahan.
"Ini di mana, Bu? Aduuh, kaki dan tangan Bapak sakit," keluhnya seraya meringis kesakitan.
"Bapak di rumah sakit. Alhamdulillah, Bapak sudah sadar, tulang kaki Bapak sedikit retak. Jadinya harus dipasang pen," ucap istri Rusli.
"Bapak juga kemarin sempat kekurangan darah, sementara stok darah di rumah sakit ini sedang kosong. Untungnya ada orang yang mau donorin darahnya buat Bapak, tanpa menunggu kami datang, bahkan tanpa meminta imbalan. Dia juga yang membawa Bapak ke rumah sakit, loh," timpal putri Rusli.
"Siapa orangnya yang sudah nolongin Bapak, Bu?" Suara Rusli terdengar lemah.
"Ahmad, Pak," jawab sang istri.
"Ahmad, yang …."
Rusli tak sanggup melanjutkan ucapannya. Bibirnya kelu bersamaan dada yang sesak. Bagaimana bisa orang yang sudah disakitinya, justru membalasnya dengan kebaikan. Mata Rusli berkaca-kaca. Ia merasa malu, sangat malu pada diri sendiri.
Pria kaya yang terbaring lemah di atas ranjang itu lantas meminta bertemu Ahmad. Ia ingin berterima kasih sekaligus minta maaf. Akan tetapi, Ahmad sudah pulang duluan, setelah mendonorkan darahnya. Ia khawatir istrinya akan cemas karena pulang terlambat.
Beberapa hari setelah dirawat di rumah sakit, Rusli yang sudah pulih diizinkan untuk pulang ke rumah. Saat itu pula ia meminta pada istrinya untuk dimasakkan makanan enak dengan jumlah yang banyak untuk berbuka. Ia berniat ingin datang ke rumah Ahmad untuk meminta maaf sekaligus berterima kasih. Ia juga minta sang istri memasukkan makanan yang dimasaknya ke dalam rantang.
"Assalamu'alaikum."
Meski harus bersusah payah menggunakan tongkat penyangga, Rusli tetap mendatangi rumah Ahmad.
"Wa'alaikumussalam."
Ahmad cukup terkejut, mendapati Rusli sekeluarga datang ke rumah sederhananya. Rumahnya kecil dengan lantai dari semen. Tak berubin keramik, apalagi marmer seperti rumah Rusli.
"Pak Rusli, ada apa?" tanya Ahmad, sedikit bingung.
Tanpa menjawab, Rusli justru berhambur memeluk Ahmad. Ia sampai terisak saat mengucapkan kata maaf. Ia malu akan kesalahannya. Ahmad pun tersenyum dan mengusap punggung Rusli.
"Sebelum Pak Rusli minta maaf, saya sudah memaafkan, kok, Pak," ucap Ahmad seraya melepas pelukannya.
Hari ini mereka pun berbuka puasa bersama. Kendati hanya duduk di atas tikar, semua orang tampak bahagia. Apalagi anak-anak Ahmad, mereka senang bisa berbuka dengan makanan enak yang dibawakan istri Rusli.
Tegal, 30 Agustus 2023
Terima kasih untuk ceritanya, Kak.
Masyaallah.
Ceritanya mewakili kehidupan nyata hari ini ketika si kaya masih saja merendahkan si miskin. Barakallah mba@Ziva.
Ceritanya keren
Keren as always. Semoga beruntung, Kak
Happy ending, Alhamdulillah akhirnya berbaikan. Barakallah mbak Ziva
MasyaaAllah, keren sekali. Menyentuh.
Masyaallah keren ceritanya Kak Ziva, memang di kehidupan nyata ada banyak karakter seperti Pak Rusli yang sombong dan suka meremehkan dan berburuk sangka, bahkan pada adiknya sendiri dan keluarganya.
Hikmahnya besar banget buat para pembaca. Semiga menjadi naskah terpilih juri
Roda kehidupan terus berputar. Bisa jadi seseorang yang kita benci, justru dia kita butuhkan. Ending bahagai ceritanya. Barakallah, Mba
Pesan yang saya tangkap dari cerpen ini, salah satunya adalah ...
Jauhilah prasangka.
Endingnya pelukan, Alhamdulillah ❤️
Ini peran Pak Rusli bikin kesel ya jadi pingin nabok. Hehe ... barakallah Mbak
Endingnya bahagia, alhamdulillah
Awal baca karakter Pak Rusli, pengen banget keluarin juris emak2 netizen!!