Akar masalah Palestina adalah runtuhnya negara Islam setelah Perang Dunia I. Setelahnya, tanah Palestina direbut dan rakyatnya dibantai habis-habisan. Ketiadaan negara Islam adalah awal mimpi buruk Palestina, maka solusinya tidak lain adalah kehadiran sang perisai dalam bingkai negara Islam.
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Kontributor NarasiPost.Com dan Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta)
NarasiPost.Com-Dari sini terdengar gemuruh senjata berasap kabut sampai memutih di ruang Palestina. Kilat cepat dentuman mengelupaskan bumi setiap jengkal tanah. (Hokaido)
Penggalan puisi tersebut menunjukkan kondisi Palestina. Kaum muslimin di seluruh penjuru dunia bersuka cita menyambut tahun baru Islam 1444 H, namun tidak bagi Palestina. Kebahagiaan tersebut dirampas oleh serangan kejam Yahudi Israel. Tepat pada pertengahan bulan Muharam 1444 H, muslim Palestina kembali bersimbah darah untuk ke sekian kalinya. Pembunuhan seorang remaja Palestina oleh bengisnya para pemukim Yahudi Israel. (tempo.co, 06/08/2023)
Israel membantai Palestina telah sangat lama. Pembantaian pun terus terjadi berulang. Berdasarkan sumber dari Kementerian Kesehatan Palestina pada tahun 2014, hampir sebulan agresi penjajah Zionis ke Jalur Gaza telah menelan korban jiwa sebanyak 1.867 dan 9.563 luka-luka.
Sebelumnya, tahun 2012, Zionis Israel menyerang Gaza selama delapan hari. Serangan ini meluluhlantakkan 60 masjid, menewaskan ratusan jiwa penduduk sipil, dan lebih dari seribu orang luka-luka. Mengingat pada tahun 2009, dalam kurun waktu seminggu Israel melakukan serangan masif yang menyebabkan 1.500 orang tewas.
Duka Palestina merupakan tragedi pembantaian berulang sejak Israel resmi menduduki wilayah Palestina pada tahun 1948. Saat itulah penderitaan kaum muslimin silih berganti. Ketika Palestina tengah berjuang mendapatkan pengakuan internasional, Israel justru merampas wilayah dengan membangun permukiman baru di tanah Palestina.
Penyerangan terus dilakukan tanpa melihat situasi dan kondisi, sekalipun tahun baru Islam tiba. Tanah yang dikenal sebagai tanah para nabi, kini terus direbut dengan serakah. Saat rakyat melakukan protes atas blokade tersebut hasilnya hanya sia-sia. Terlebih dunia bungkam hanya menjadi penonton terutama negara-negara yang notabene muslim.
Palestina: Penjara Terbesar Dunia
Tidak hanya tindakan penyerangan yang kita saksikan di Palestina. Lebih dari itu, kita juga menyaksikan Palestina telah menjadi penjara terbesar di dunia. Pasalnya, di perbatasan tanah Palestina, Israel membangun apartheid wall (tembok pemisah) yang berjarak 700 kilometer. Tembok pemisah ini memiliki ketinggian 8 meter, lebih tinggi 2 kali lipat dari tembok Berlin yang hanya 3,6 meter.
Tembok yang dibangun pada tahun 2002 ini memiliki delapan pintu. Tujuh pintu mengarah ke Israel dan satu pintu berbatasan dengan Rafah Mesir. Untuk keluar dari wilayah Palestina, tentu hanya melalui pintu ke Rafah. Akan tetapi, setelah Mesir menandatangani perjanjian Camp David, pintu ini tidak bisa digunakan lagi. Bahkan saat ini, pintu tersebut dijaga ketat oleh pihak keamanan Mesir.
Pilihan warga Palestina keluar dari sana adalah membuat terowongan bawah tanah. Dan benar saja, terowongan ini bisa mengurangi dampak buruk dari blokade Israel terhadap Gaza, Palestina. Diperkirakan sekitar 30 persen dari seluruh komoditas Mesir dibawa melalui terowongan tersebut.
Theodore Herzl dan Negara Yahudi
Gagasan pendirian negara Yahudi ini berasal dari Theodore Herzl, seorang wartawan asal Budapest. Gagasan bermula saat tokoh Zionis ini ditugaskan memberitakan pengadilan pengkhianatan Kapten Alfred Dreyfus (1859-1935), seorang anggota militer Prancis yang berketurunan Yahudi. Kapten ini disangka berkhianat dengan membocorkan rahasia militer Prancis pada pihak Jerman, yang saat itu tengah konflik dengan Prancis. Oleh karena itu, Kapten Dreyfus diberikan hukuman berat dan dibuang ke “Pulau Setan”. Pada peristiwa inilah awal mula menjadi gagasan bagi Theodore Herzl untuk mendirikan negara Yahudi.
Dua tahun kemudian, yakni tahun 1896, Theodore Herzl menuangkan pemikirannya dalam sebuah buku berjudul “Der Judenstaat” (Jerman, Negara Yahudi) yang diterbitkan di Leipzig dan Wina. Di dalam buku ini terdapat subjudul “Versuch Einer Modernen Losung der JudenFrage” (Proposal Sebuah Solusi Modern mengenai Masalah Yahudi). Buku ini diklaim sebagai salah satu teks penting dalam peristiwa Zionis awal. Seperti tertuang dalam buku ini, Herzl memiliki visi mendirikan negara Yahudi pada abad ke-20. Herzl menyatakan bahwa jalan terbaik untuk menghindari antisemitisme di Eropa adalah mendirikan negara Yahudi yang merdeka.
Kongres Zionis digelar oleh Theodore Herzl untuk pertama kalinya di Basle, Swiss pada tanggal 29 Agustus 1897. Awalnya kongres ini akan digelar di Muenchen, Jerman. Namun, sebab adanya penentangan keras dari pemuka agama Yahudi dan setuju pada asimilasionis, kongres ini urung diselenggarakan di sana. Karena itu, Herzl terpaksa memindahkan kongres di kota kecil Basle yang berada di wilayah Swiss, tetapi masih berbatasan dengan Jerman.
Kongres ini dihadiri oleh 200 hingga 250 wanita dan pria yang datang dari 24 negara. Hadir pula Israel Zangwill (intelektual Inggris) dan Profesor Herman Schapira, pakar matematika yang memiliki eminensi internasional. Hasil dibacakan sebagai puncak kongres yang salah satunya adalah rencana mendirikan negara Yahudi dan pembangunan kembali Haekal Sulaiman.
Zionisme dan Sultan Abdul Hamid
Tidak lama setelah bukunya terbit, Theodore Herzl dan teman karibnya, Neolanski berkunjung ke Istanbul pada Juni tahun 1896. Mereka bertemu Sultan Abdul Hamid II selaku khalifah kaum muslimin. Mereka bertujuan meminta tanah Palestina untuk didirikannya negara Yahudi. Tidak tanggung-tanggung, mereka memberi iming-iming: “Bila kami berhasil menguasai Palestina, kami akan memberi uang pada Turki (Khilafah Utsmani) dalam nominal yang sangat besar. Kami pun akan memberi hadiah melimpah untuk orang yang menjadi perantara. Sebagai balasan juga, kami akan selalu bersiap sedia untuk membereskan persoalan keuangan Turki."
Namun, Sultan Abdul Hamid II menolak tawaran Herzl. Beliau berkata: “Aku tidak akan melepaskan walaupun segenggam tanah ini (Palestina), sebab ia bukan milikku. Tanah itu adalah milik umat. Umat telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka sudah mencurahi tanah ini dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika Khilafah Islam dihancurkan suatu hari, mereka dapat mengambil tanpa membayar harganya. Tetapi, sementara aku hidup, aku lebih sudi menusuk tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islam. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan menjadi awal dari pemisahan tubuh kami selama kami masih hidup."
Keseriusan sang khalifah itu ditunjukkan pula dalam maklumat yang ia keluarkan pada tahun 1890 M: “Wajib semua menteri untuk melakukan studi beragam serta wajib mengambil keputusan yang serius dan tegas dalam masalah Yahudi itu.” (As-Sulthan Abdul Hamid II, hlm. 88)
Ketegasan khalifah menjadikan Herzl tidak berkutik. Dia pun menyampaikan: “Sesungguhnya saya telah kehilangan harapan untuk dapat mengimplementasikan keinginan dari orang-orang Yahudi di Palestina. Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak akan pernah bisa masuk ke dalam tanah yang dijanjikan selama Sultan Abdul Hamid II masih tetap berkuasa dan duduk di atas kedudukannya.” (Al-Yahud wa ad-Dawlat al- Utsmaniyah, hlm. 158)
Tahun 1902, Herzl kembali mendelegasikan seseorang untuk mendatangi Sultan Abdul Hamid. Kali ini delegasi Herzlmenyodorkan berbagai tawaran seperti memberikan hadiah sebesar 150 juta poundsterling untuk sultan pribadi, membayar semua utang pemerintah Turki Utsmani yang menyentuh 33 juta poundsterling, membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan pemerintah Utsmani seharga 120 juta frank, menawarkan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta poundsterling, dan membangun sebuah Universitas Utsmani di Palestina.
Namun semua tawaran itu dengan tegas ditolak oleh Sultan Abdul Hamid. Khalifah mengatakan kepada delegasi tersebut: “If Mr. Herzl like you also wants to be my friend, so advise him, so don't take any more steps on this matter. I can't sell, even an inch, of this land (Palestine), which is not mine, but belongs to my people. My people have won this empire by fighting for it, by shedding their blood, and have fertilized this land with their blood. We will protect this land with our blood before we allow it to be taken away from us… The Ottoman Turks are not mine but for the people of Turkey. I can't give away any part of this land. Please Jews Save their billions (money). If it has been divided, they will probably get Palestine without compensation.”
(Jika Herzl sebagaimana kamu juga ingin menjadi temanku, maka nasihati dia, supaya tidak lagi mengambil langkah untuk masalah ini. Saya tidak bisa menjual, walau hanya sejengkal dari tanah ini (Palestina), yang bukan milikku, tetapi milik rakyatku. Rakyatku telah memenangkan empire ini dengan berjuang untuknya, dengan mengucurkan darah mereka, dan telah menyirami tanah ini dengan darah mereka. Kami akan melindungi tanah ini dengan darah kami sebelum kami mengizinkannya dirampas dari kami… Turki Utsmani bukanlah milikku, tetapi rakyat Turki. Saya tidak dapat memberi bagian mana pun dari tanah ini. Silakan Yahudi menabung miliaran (uang) mereka. Apabila sudah terbagi-bagi, mereka mungkin akan mendapat Palestina tanpa imbalan).
Setelah penolakan tersebut, kaum Zionis mengubah strategi menguasai tanah Palestina dengan cara memanfaatkan kekuatan negara Inggris. Lalu bagaimana kaum Zionis dapat memengaruhi pemerintah Inggris hingga menjalankan agenda mereka? Jawabnya ialah melalui jerat utang.
Kita tahu bahwa Lord Rothchild adalah seorang bankir Yahudi ternama di Inggris dan Eropa. Ia memutarkan uangnya, dengan jalan riba tentunya hingga mampu memberikan utang pada negara-negara yang terlibat perang dan membutuhkan biaya besar. Ketika leher Inggris sudah terjerat utang dan ribanya, maka Rothchild nantinya akan mudah meminta tanah untuk bangsanya.
Mimpi Buruk Palestina
Patut dicatat, kondisi negara Islam saat kaum Zionis datang meminta tanah Palestina ke khalifah melemah. Bahkan saking melemahnya, negara Islam sampai dijuluki “The Sick Man of Europe” oleh Tsar Nicholas I. Meski demikian, tidak seujung kuku tanah Palestina terusik oleh kaum Yahudi.
Namun, napas segar tidak bertahan lama. Mimpi buruk Palestina akhirnya melanda atas nama Perang Dunia I. Negara Islam yang saat itu melemah terjebak mengikuti Perang Dunia I dan terpaksa masuk dalam kurungan aliansi sentral, yaitu dengan Jerman dan Austria-Hungaria melawan aliansi sekutu yaitu Britania Raya (Inggris), Prancis, dan Rusia. Puncaknya, aliansi sentral (Khilafah, Jerman dan Austria-Hungaria) menanggung kekalahan memalukan.
Wilayah negara Islam pun dibagi-bagi melalui perjanjian Sykes-Picot (16 Mei 1916). Di dalam perjanjian ini, wilayah Palestina di bawah kendali Britani Raya (Inggris). Sebagai balas jasa atas utang Rothchild kepada Inggris, maka Menteri Luar Negeri Inggris, Sir Arthur James Balfour memberi surat Deklarasi Balfour pada 2 November 1917 kepada Lord Rothchild, Pemimpin komunitas Yahudi Inggris untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis. Intinya, surat itu adalah surat yang memuat janji pemerintahan Inggris untuk memberi rumah tetap (tanah air) bagi Yahudi di Palestina.
Singkatnya, untuk merealisasikan janjinya kepada Yahudi, Inggris melalui LBB (Liga Bangsa-Bangsa) mengeluarkan Mandate for Palestine pada tahun 1920. Setelah disahkan LBB, terjadi imigrasi besar-besaran penduduk Yahudi ke Palestina. Terdapat 90.000 orang Yahudi melakukan imigrasi ke Palestina. Dalam suatu sumber diberitakan bahwa, di sinilah cikal bakal pembantaian Palestina oleh kaum Yahudi.
Tahun 1945, Perang Dunia II berakhir setelah lamanya berkecamuk. Berakhir perang ini ternyata tidak memberikan angin segar bagi rakyat Palestina, justru menjadikan malapetaka bagi Palestina. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang lahir dari Perang Dunia II menciptakan Resolusi 181 (UN Partition Plan) pada 29 November 1947. Secara kasar, resolusi ini membagi wilayah Palestina, yaitu 55 persen untuk Yahudi dan 45 persen untuk rakyat Palestina. Tidak sampai di situ, tanggal 14 Mei 1948, diproklamasikan kemerdekaan Israel. Hanya dalam hitungan jam, Uni Soviet dan Amerika mengakui negara yang baru lahir tersebut.
Sejak saat itulah, keberadaan Israel sebagai sebuah negara diakui oleh dunia. Sejak itu pula, imigrasi Yahudi ke negara ini semakin brutal dan bertambah pesat. Terdapat setengah juta orang Yahudi datang ke Israel antara tahun 1948 dan 1950.
Dari sini jelas bahwa akar masalah Palestina adalah runtuhnya negara Islam setelah Perang Dunia I. Setelahnya, tanah Palestina direbut dan rakyatnya dibantai habis-habisan. Inilah akar masalah Palestina sesungguhnya. Oleh karenanya, jika ketiadaan negara Islam adalah awal mimpi buruk Palestina, maka solusinya tidak lain adalah kehadiran sang perisai dalam bingkai negara Islam. Inilah yang harus kita perjuangkan sekarang.
Sang Perisai
Islam bukan hanya agama, melainkan juga pandangan hidup tentunya bukan ideologi yang lemah dan kalah. Justru Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mampu memimpin dunia dan menciptakan kedamaian dunia akhirat bagi pengembannya. Menghadapi ideologi kufur kapitalisme sekuler yang diemban pada era global ini, Islam memiliki metode dan cara yang konkret. Sikap tegas Islam dalam memandang kekufuran tidak akan pernah dapat ditawar. Hak dan batil dalam Islam tidak akan pernah tertukar. Terkait konflik di Palestina, Islam jelas akan berada pada garis terdepan dalam membela dan melindungi umatnya. Sebab posisi muslim Palestina sedang berhadapan dengan negara kafir penjajah.
Islam sebagai agama dan ideologi tentu tidak akan kuat bila diemban oleh individu atau kelompok saja. Tetapi, Islam hadir dan harus diemban dalam bentuk negara, yakni negara Islam. Hanya dalam naungan negara Islam, umat bisa bersatu, kuat, dan amar makruf nahi mungkar ke seluruh penjuru dunia. Sehingga, umat Islam menjadi pemimpin dan acuan dunia dalam segala bidang. Dengan negara Islam, ideologi Islam dapat diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga rahmat dan keberkahan akan turun dari langit dan keluar dari bumi.
Selain itu, kembalinya negara Islam (Khilafah) yang kedua adalah janji Allah Swt. dan bisyarah Rasulullah saw. sebagaimana yang terdapat pada hadis, yang artinya: "Selanjutnya akan kembali ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian." (HR. Ahmad)
Tetapi, bukan berarti umat Islam lepas tangan tertunainya janji tersebut. Umat Islam harus mencurahkan segala daya dan upaya untuk mengembalikannya sesuai dengan metode yang telah Rasulullah saw. contohkan. Umat Islam harus istikamah melakukan dakwah, baik secara individu maupun jamaah. Jamaah dakwah melakukan dakwah sesuai dengan apa-apa yang Nabi Muhammad saw. contohkan, yaitu metode yang tercermin dalam tiga tahapan. Pertama, pembinaan umat dengan karakter Islam (at-tatsqif). Kedua, interaksi di tengah-tengah umat (at-tafa'ul), termasuk di dalamnya adalah pencarian dukungan dan pertolongan (thalab an-nushrah). Ketiga, penerimaan kekuasaan dari pemilik kekuasaan (tathbiqul ahkam). Tiga tahapan tersebut menunjukkan metode dalam mendirikan negara Islam pertama kali di Madinah.
Oleh sebab itu, umat Islam harus mewujudkan kembali dengan memperjuangkannya. Jika umat Islam tidak mengikuti metodenya, niscaya negara Islam yang disampaikan Rasulullah saw. belum bisa terwujud. Maka, tugas umat Islam adalah berjuang, sabar, dan benar mengikuti metode dakwah Rasul saw.
Wallahu a’lam bishawab[]
Sungguh rindu sosok seperti Sultan Abdul Hamid.
Memang benar. Saat ini yang dapat dilakukan muslim adalah mengemban dakwah Islam, membina diri dengan Islam, berinteraksi dengan masyarakat dan memahamkannya dengan Islam, hingga masyarakat mengembalikan kepemimpinan kepada syariat Islam dengan menegakkan institusi negara Islam.
Semoga khilafah segera tegak dan kaum muslim bisa bersatu kembali. Hidup aman, nyaman dan sejahtera
Harapan hakiki bagi Palestina adalah tegaknya Khilafah.
Ngilu rasanya kalau membaca berita tentang Palestina. Ingin marah tapi tak mampu berbuat apa pun. Derita mereka tak akan berakhir selama kapitalisme masih diemban. Kapitalisme sekuler pula yang menyebabkan para penguasa muslim tetap nyaman di negeri-negeri mereka sendiri tanpa mau terjun langsung memberi pertolongan.
1 abad lebih bumi Palestina menangus, namun hingga kini tidak ada satu pun penguasa negeri muslim yang berhasil memgentikan kezaliman Israel. Hanya Khilafah yang mampu mengusir Israel beserta antek2nya di tanah Palestina.
MasyaAllah tabarakallah
Betul Mbak, sistem Islam bukan hanya rahmat untuk muslim, tapi bagi seluruh alam
naskahnya sangat bagus, isinya daging semua, semoga rate nya semakin naik, amin
Semoga sistem islam segera tegak kembali agar tidak ada kaum muslim yang tertindas. Aamiinn
Barakallah.
Betul.. Mbak, hanya dengan mewujudkan kembali perisai umat, terselesaikan masalah umat, termasuk Konflik Palestina.
Berbicara tentang penderitaan saudara kita di Palestina memang tidak akan ada habisnya. Selama mereka masih dicengkeram oleh penjajahan. Dan solusinya sebenarnya adalah adanya kekuatan global yang akan memberi perisai kepada seluruh kaum Muslim di dunia termasuk Palestina.