Sekat nasionalisme tidak dapat dimungkiri menjadi pendorong pemimpin-pemimpin muslim untuk berdiam diri terhadap penderitaan Palestina. Bukan perlawanan yang dilakukan pemimpin-pemimpin muslim, melainkan beragam diplomasi yang sejatinya hanya mengamankan negaranya sendiri.
Oleh. Ghumaisha Gaza
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Memiliki berbagai keutamaan serta kemuliaan bagi peradaban Islam, menjadikan bumi Palestina akan selalu diperjuangkan oleh kaum muslim sampai kapan pun. Ialah Masjidilaqsa sebagai kiblat pertama kaum muslim, menjadi tempat yang dikunjungi Nabi saw. sebelum melakukan perjalanan menuju Sidratulmuntaha pada peristiwa penting dan bersejarah, Isra Mikraj. Selain itu, terdapat pula sebuah riwayat hadis yang mengatakan bahwasanya Nabi saw. menganjurkan kaum muslim untuk melakukan ziarah dengan niat ibadah ke Masjidilaqsa, sebagai satu di antara tiga masjid yang memiliki keutamaan, yakni masjid setelah Masjidilharam di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Namun menjadi pilu ketika Masjidilaqsa yang berada di tanah Palestina pun tidak lepas dari penguasaan Israel. Secara terang-terangan Israel mengajukan RUU yang berisi tentang pembagian wilayah kompleks Al-Aqsa menjadi 75% bagian Yahudi dan 25% bagian kaum muslim. RUU tersebut memungkinkan Yahudi untuk dapat memasuki kompleks Al-Aqsa dari semua gerbang. Karena dalam RUU tersebut Yahudi menghendaki wilayah bagian mereka terbentang dari Dome of the Rock (Baitulmaqdis) hingga ujung perbatasan utara Masjidilaqsa. Sementara area bagi kaum muslim hanya ruang salat Al-Qibli (cnbcindonesia.com, 14/06/2023).
Tidak hanya pembagian wilayah yang semena-mena, tetapi Israel juga telah menyiapkan sanksi dan denda bagi siapa saja rakyat Palestina yang melanggar lalu lintas di sana. Israel benar-benar ingin menutup akses kaum muslim atas kota suci mereka. Sangat memilukan. Bukankah umat Islam yang seharusnya paling berhak atas tanahnya sendiri? Sampai kapan kaum muslim menerima perlakuan keji dari Zionis Israel ini?
Awal Terbentuknya Israel
Zionisme merupakan gerakan politik bangsa Yahudi dalam upaya mendirikan negara di tanah Palestina. Upaya perampasan tanah ini berlangsung cukup panjang dan bahkan melibatkan peran beberapa negara. Keberhasilan bangsa Yahudi merebut tanah Palestina juga tidak lepas dari dampak melemah dan runtuhnya Daulah Islam. Tepatnya tahun 1916 saat terbentuknya perjanjian Sykes-Picot antara Inggris dan Prancis pada saat itulah fondasi awal perebutan tanah Palestina dibangun.
Inggris beserta sekutunya sebagai pemenang Perang Dunia 1 dan penjajah Daulah Islam telah membagi-bagi wilayah jajahan mereka menjadi beberapa bagian. Inggris mendapatkan mandat untuk berkuasa di tanah Palestina. Melalui Deklarasi Balfour yang disusun oleh Arthur James Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris, pada tanggal 2 November 1917 disepakati bahwa Inggris akan memberikan tanah Palestina kepada bangsa Yahudi. Hal demikian dilakukan Inggris kepada Yahudi sebagai imbalan dukungan mereka pada Perang Dunia 1. Dalam deklarasi tersebut Inggris secara terang-terangan menyatakan dukungannya bagi bangsa Yahudi untuk mendirikan tanah air nasional mereka di Palestina. Maka semenjak tahun itu bangsa Yahudi mulai merencanakan kepindahan mereka dari Eropa ke tanah Palestina.
Gelombang imigran bangsa Yahudi makin terlihat pada tahun 1933 hingga 1945 saat terjadinya peristiwa Holocaust, yakni pembantaian ras Yahudi oleh rezim Nazi Jerman. Yahudi dianggap sebagai ras yang mengancam kemurnian ras Jerman. Mereka kemudian berjibaku untuk segera berpindah ke Palestina. Meski sempat mendapatkan berbagai penolakan dan penentangan dari beberapa negara termasuk rakyat Palestina sendiri, akhirnya Yahudi tetap mendeklarasikan negara mereka yang bernama Israel pada 14 Mei 1948, bahkan tanpa pembagian wilayah yang jelas. Sejak saat itu hingga hari ini, setidaknya Israel telah berhasil menguasai 77% tanah Palestina. Dan keinginan mereka untuk menguasai seluruh tanah Palestina nyatanya tidak pernah berhenti.
Bayang-Bayang Pembantaian
Upaya perampasan tanah yang dilakukan Israel menjadikan rakyat Palestina selalu hidup dalam bayang-bayang peperangan, pembantaian, dan menjadi rakyat yang terusir dari tanahnya sendiri. Peristiwa berdarah menjadi pemandangan yang tidak asing bagi mereka. Pada tahun 1948 sekitar 700.000 orang rakyat Palestina harus mengungsi ke berbagai tempat karena kengerian begitu kentara dari upaya Israel dalam merebut tanah mereka. Israel melakukan pembantaian tanpa pandang bulu.
Dalam buku The Arabs: A History karya Eugene Rogan, seorang profesor sejarah Timur Tengah, menceritakan bagaimana pembantaian Israel atau tentara Yahudi di Dayr Yasin, sebuah desa yang terletak di sebelah barat Yerusalem pada 9 April 1948. Tentara Yahudi mengumpulkan semua tentara arab Palestina yang bersenjata kemudian menembaki mereka. Haji Jabir Mustafa, seorang penduduk desa berusia 90 tahun dibunuh kemudian mayatnya dilempar dari balkon rumahnya ke jalanan. Tentara Yahudi juga melakukan hal yang sama kepada Haji Ismail 'Atiyya yang berusia 80 tahun serta membunuh istri dan cucunya. Mereka juga membunuh pemuda buta bernama Muhammad Ali Khalil Mustafa dan istrinya, juga anaknya yang baru berusia 18 bulan. Sekitar 110 warga desa meninggal di Dayr Yasin pada hari itu.https://narasipost.com/world-news/08/2022/palestina-di-titik-nadir/
Ambisi Israel untuk menguasai wilayah Palestina terus-menerus dilakukan. Perang kian berkobar di beberapa wilayah. Pada tahun 1967 terjadilah Six-Day War atau Perang Enam Hari di Tepi Barat dan bagian timur Yerusalem yang saat itu masih dikuasai Yordania serta di Gaza yang berada di bawah naungan Mesir. Israel kembali memenangkan peperangan atas pasukan gabungan Mesir, Suriah, dan Yordania. Serta berhasil merebut wilayah Tepi Barat, Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Semenanjung Sinai. Israel juga tidak pernah mengizinkan rakyat Palestina yang telah mengungsi untuk kembali ke tanah mereka. Pada 21 Agustus 1969 dengan lancang Israel membakar sebagian Masjidilaqsa hingga mimbar masjid yang telah berusia 1000 tahun pun musnah.
Gerakan Intifadah
Tidak ingin membiarkan kebengisan dan keangkuhan Israel terus menjadi-jadi, gerakan perlawanan kaum muslim Palestina pun mulai menggeliat. Melalui gerakan intifadah, yang terjadi pada tahun 1987 hingga tahun 1993 seluruh rakyat Palestina bersatu untuk merebut kembali tanah mereka. Pertempuran yang banyak diikuti oleh pemuda Palestina ini, merupakan pertempuran dengan aksi melempar batu pada serdadu Israel yang bersenjata modern. Meski demikian gerakan yang kemudian berkembang dengan lemparan bom molotov ini cukup memberi guncangan pada Israel.
Dari gerakan ini terbentuklah Perjanjian Oslo, sebuah perjanjian yang berisi tentang pembentukan negara Palestina di daerah Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan. Namun demikianlah Israel maupun negara Barat yang mendukungnya. Dengan dalih melawan terorisme yang berada di Gaza mereka sering kali melanggar dan mengkhianati isi perjanjian damai tersebut. https://narasipost.com/challenge-np/08/2023/palestina-adalah-kita-bersama-kita-wujudkan-asa/
Gerakan intifadah kedua kemudian terjadi pada 30 September 2000. Perdana Menteri Israel saat itu, Ariel Sharon, dan 1000 pasukan bersenjata memasuki kompleks Al-Aqsa untuk mencaplok Baitulmaqdis. Gerakan ini berakhir pada 8 Februari 2005 dengan adanya KTT Sharm El Sheikh. Dalam pertemuan tersebut ditegaskan kembali peta jalan untuk perdamaian kembali. Israel juga saat itu sepakat untuk membebaskan ratusan tahanan rakyat Palestina dan menarik pasukannya dari kota-kota di Tepi Barat.
Negara-Negara Muslim Tak Berdaya
Meski segala upaya perdamaian kerap dilakukan namun nyatanya Israel tidak pernah benar-benar melakukan kesepakatannya. Banyak rakyat Palestina yang masih di tahan di penjara mereka dengan ketat. Serangan-serangan pun setiap tahun sering terdengar. Dilansir dari cnbcindonesia.com (12/09/21), terjadi ketegangan dan serangan roket dari Israel ke Jalur Gaza karena Israel berdalih adanya rakyat Palestina yang kabur dari penjara Israel. Karena serangan tersebut sebanyak 250 rakyat Palestina meninggal dan 13 orang saja korban meninggal dari pihak Israel.
Serangan yang sering terjadi kepada Palestina memang tampak di depan mata. Seluruh pemimpin negara muslim hari ini pun tidak dapat memungkirinya. Berbagai kecaman untuk Israel selalu datang dari berbagai sudut negeri. Namun tidak ada langkah nyata yang dapat dilakukan oleh para pemimpin muslim hari ini. Terdapat beragam alasan yang menyebabkan banyak pemimpin muslim tidak berdaya menyaksikan saudara seimannya di Palestina menderita.
Sekat nasionalisme tidak dapat dimungkiri menjadi pendorong pemimpin-pemimpin muslim untuk lebih dulu menjaga keamanan negaranya saja. Segala sikap dilakukan dengan hati-hati, karena khawatir memicu keadaan menjadi lebih buruk, atau takut terancam Israel akan menggunakan Amerika Serikat sebagai sekutunya untuk menangani negeri-negeri muslim. Alhasil, bukan perlawanan yang dilakukan pemimpin-pemimpin muslim, melainkan beragam diplomasi yang sejatinya hanya mengamankan negaranya sendiri.
Tanah Kharaj Palestina
Sekalipun hari ini umat Islam hidup dalam pembagian banyak negara, namun hal itu tidak akan mengubah status tanah Palestina. Hal ini yang sejatinya harus dipahami oleh setiap pemimpin Islam. Palestina merupakan wilayah Syam yang telah ditaklukkan sejak masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga zaman Umar bin Khattab. Dalam kitab Tarikh al-Khulafa karya Imam As-Suyuthi dikatakan bahwa Baitulmaqdis ditaklukkan dengan perjanjian damai. Karena itu tanahnya disebut dengan tanah kharaj, di mana tanah tersebut merupakan hak kaum muslim hingga hari kiamat.
"Dan orang-orang yang datang setelah mereka." (TQS. Al-Hasyr: 10). Ayat tersebut menegaskan bahwa tanah tersebut menjadi hak kaum muslimin hingga hari kiamat karena sejak awal Umar tidak membagikan tanah tersebut kepada pasukan yang ikut berperang (penaklukan). Sehingga tetap menjadi milik kaum muslim yang lahir setelahnya.
Tanah Palestina adalah tanah milik kaum muslim bukan hanya milik rakyat Palestina. Satu-satunya yang memiliki otoritas atas tanah tersebut adalah khalifah kaum muslim, bukan presiden Palestina, Mesir, Suriah, atau bahkan presiden negara-negara Barat. Karena mereka tidak mewakili Islam dan kaum muslim serta tidak memiliki otoritas terhadap tanah kharaj tersebut.
Solusi Palestina
Fakta hukum atas tanah Palestina sudah sangat jelas. Namun hukum-hukum tersebut hanya dapat dijalankan jika umat Islam memiliki seseorang khalifah dalam bingkai Khilafah. Maka sejatinya tugas umat Islam hari ini adalah menghadirkan kepemimpinan umat Islam tersebut.
Prahara yang terjadi di Palestina sudah berlangsung sejak lama. Perjanjian damai hanya ilusi belaka. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan rakyat Palestina atas penderitaannya adalah menghadirkan 'Shalahudin' baru yang akan membebaskan mereka.
Wallahu'alam bishawab.
Buang nasionalisme dan demokrasi pada tempatnya.
Ambil Islam sebagai solusi!
Semoga kemenangan kaum muslimin bisa segera tegak.
Bismillah insya Allah ada masanya Palestina dan seluruh kaum muslim terbebas dari segala kesempitan hidup karena diterapkannya sistem kapitalisme
Kapitalisme terbukti telah gagal memberi solusi atas Palestina. Berbagai resolusi sudah dikeluarkan, tetapi nyatanya Palestina tetap terjajah. Inilah urgensinya penegakan Khilafah yang akan menjadi solusi mewujudkan kemerdekaan Palestina.
Solusi untuk Palestina nyatanya hanya angan belaka. Sebab, negara kafir akan tetap melakukan berbagai upaya agar umat Islam tidak berkutik.
Dari dulu Palestina adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh dunia. Ini membuktikan bahwa Palestina tidak akan bebas tanpa persatuan umat Islam di bawah naungan Daulah Islam.
Betul mba. Nestapa kaum muslim dimulai saat junnah dan raainnya runtuh. Yakni Daulah Khilafah Islamiyah. Negara-negara muslim tersekat nasionalisme hingga mereka tidak berdaya menolong saudara mereka. Padahal, seluruh kaum muslim adalah saudara. Butuh perjuangan untuk kembali mempersatukan negara - negara Islam. Jalan satu-satunya, yakni dengan dakwah.
Setuju, status dan kemerdekaan tanah Palestina hanya bisa dicapai jika di bawah naungan Khilafah
Sekat-sekat nasionalisme membuat para pemimpin negeri- negeri muslim membisu dan tak berdaya melihat penderitaan rakyat Palestina. Mereka hanya sekadar bersimpati tanpa solusi. Karena sejatinya solusi yang diharapkan rakyat Palestina adalah hadirnya seorang pemimpin yang mampu melindungi dan menjaga mereka dari kezaliman Israel. Pemimpin tersebut tidak lain adalah seorang kholifah dalam Daulah Khilafah.
Setuju...solusi yang paling jitu untuk mengusir penjajahan Israel adalah dengan segera menghadirkan generasi Salahudin Al-Ayubi, dalam sebuah kepemimpinan Islam global.
Sejak Islam runtuh, kemudian digaungkannya sekat nasionalime, muncullah bencana besar ditubuh kaum muslimin. Mereka tercerai berai, perasaan mereka tdk lagi peka, ikatan sebagai saudara seiman tdk lagi utuh. Padahal sejatinya Palestina adalah kita. Kini saatnya umat menyadari hanya dg Islam kaffah Palestina bisa ditolong. Bukan berharap selainnya. Sebab hanya Ilusi.