Tanggung jawab seorang suami terhadap istri dan keluarganya sangatlah berat. Saat ijab terucap, Arsy-Nya berguncang tersebab kukuhnya perjanjian yang dibuat seorang suami di hadapan Allah, dengan disaksikan para malaikat dan manusia. Itulah cinta sejati.
Oleh. Ita Mumtaz
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Jam istirahat siang, matahari luar biasa terik. Apalagi arus jalan yang tidak begitu lancar, membuat siapa pun malas untuk keluar rumah tanpa kepentingan yang mendesak. Di sebuah ruangan gedung perkantoran, di mana AC bekerja semaksimal mungkin, Dimas berjalan mondar-mandir. Lalu berhenti sejenak. Ia melamun, matanya menatap ke layar ponsel, benar-benar seperti orang kebingungan. Percakapan dengan sosok perempuan yang pernah singgah di hati begitu menghantui pikirannya.
[Aku hadir kembali untukmu, Mas. Membawa cinta sempurna untuk kaudekap, menghangatkan kebekuan asamu]
[Hadirmu tidak di momen yang tepat, Raisa. Sekarang dirimu bukanlah siapa-siapa. Hanya seorang saudara sesama muslim, tak lebih]
[Hatimu pura-pura, Mas. Pasti ada yang tersisa di sudutnya. Sebagaimana yang aku rasakan. Perempuan yang bersamamu saat ini hanyalah tempat sementara untuk menampung laramu. Tak mungkin dirimu bisa melupakan aku, yang telah banyak menggoreskan warna indah pada kanvas jiwamu. Begitu mudahkah engkau melempar seseorang yang sudah banyak berkorban? Tak ingatkah, ketika dirimu terpuruk di kelam malam, cahayaku menerangi gelapnya? Kala itu, dengan segenap cinta aku berikan segalanya]
Dimas lalu menutup ponselnya. Galau telah menyelimuti nurani. Beberapa hari yang lalu ia dikejutkan dengan sapaan direct message dari seorang perempuan yang tak asing, Raisa. Sebuah nama yang pernah mengisi palung hatinya. Ada banyak kebersamaan yang terlalu indah untuk dikenang. Namun terpaksa semua harus diakhiri, karena ketaatan kepada orang tua. Ia akhirnya memilih Hania sebagai istri. Hania, sosok perempuan lembut yang tiba-tiba hadir saat sang ibunda meminta agar dirinya menikah dengan seorang yang berasal tak jauh dari kota tercinta, Surabaya.
Pertemuan dengan Raisa di dunia maya, mengingatkan kembali akan puing-puing cinta yang terserak. Dia mencoba memungut dan membangunnya kembali.
Angan Dimas melayang ke masa itu. "Ah, kau Raisa. Pesonamu masih seperti yang dulu, bahkan kian berpendar.” Ayah dari 2 anak itu bergumam sambil scrolling aplikasi media sosial yang berbasis foto dan video.
Pertemuan terakhir dengan Raisa, di acara wisuda mereka berdua. Dimas diperkenalkan kepada orang tua Raisa. Waktu itu harapannya membuncah, akan mempersunting seorang putri cantik nan cerdas. Demikian juga Raisa, angannya terbang, tak lama lagi akan menjadi pendamping dari seorang Putra Jawa yang ganteng menawan, berhimpun prestasi telah disandangnya pula.
Namun harapan kedua insan itu kandas manakala orang tua Dimas tidak merestui pertautan hati yang telah lama mereka eratkan. Demi melupakan semuanya, Dimas tiba-tiba menghilang begitu saja dari kehidupan Raisa. Bagi Dimas, awalnya begitu sulit. Namun genaplah kebahagiaannya sejak dia mempersunting Hania lalu dihadirkan 2 buah hati untuknya, Rara dan Ozan. Karunia besar ini sudah lebih dari cukup untuk memalingkan memori indahnya bersama Raisa.
"Mas, kok akhir-akhir ini sering merenung. Apa ada masalah di tempat kerja?" tanya Hania yang terdengar sangat lembut namun mampu membuyarkan lamunannya.
"Iya sayang," jawab Dimas singkat. Padahal yang dinantikan Hania adalah pemaparan yang lebih dari sekadar itu. Hania mencari sebuah kepastian di bola mata suaminya. Namun yang ditemukan adalah aura keraguan.
"Ada apa dengan suamiku?" bisik hatinya.
Insting seorang istri memang sering kali tepat. Yang dipikirkan Dimas sebenarnya adalah chat dari Raisa yang begitu mengusik jiwanya. Tak lama, dering khusus dari ponselnya berbunyi lagi. Pertanda ada pesan WhatsApp dari Raisa.
[Tak inginkah kau bertemu denganku, Mas? Meski hanya sekelebat?]
Malam mulai pekat, sementara angin menerobos jendela kamar Dimas yang dibiarkan terbuka. Dingin bukan main, tetapi itu semua bukan apa-apa dibanding perasaan Dimas. Ia terduduk lemas di atas kursi. Jari-jarinya sibuk mengetik sambil terus memikirkan perempuan itu, Raisa.
Dimas memutar otak. Perasaannya ikut bergetar. Ingin rasanya sesekali membuat Raisa bahagia. Rasa bersalah yang sekian lama telah hilang tiba-tiba terbit kembali.
Akhir pekan ini tidak ada kerja lembur. Ia pikir tak ada salahnya terbang ke Makassar untuk menemui seseorang yang telah lama tersiksa karena dirinya. Bagaimana dengan Hania? "Ah, dia sudah mendapatkan segalanya dariku, bahkan lebih dari cukup." Segera ditepis gundah hatinya.
"Sayang, akhir pekan ini saya ada rencana ke luar kota, ada suatu hal yang harus diselesaikan,” Dimas mulai berani berkata bohong kepada istrinya.
"Tumben, Mas", jawab Hania keheranan. Selama ini memang jarang sekali suaminya pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan.
Sejak selesainya pertemuan itu, jemari Dimas lebih sering menyapu layar ponsel. Tak ada lagi kehangatan kepada istri dan anak-anaknya. Sibuk membalas pesan cinta bertabur canda dari Raisa. Selaksa kerinduan telah memenuhi ruang hatinya. Ingin rasanya menuai perjumpaan kembali dengan seseorang yang pernah menghiasi hari-harinya. Ia seakan baru menyadari ada sesuatu yang tak pernah didapatkan dari Hania, namun ada pada Raisa. Sontak Dimas teringat pada apa yang dikatakan perempuan jelita itu, bahwa istrinya saat ini hanyalah pengalihan saja dari cinta sejatinya.
"Ayah, lihat ini gambar Ozan, bagus ‘kan?" seru anak laki-laki usia 4 tahun dengan semangat, sembari mendekati sang Ayah.
"Iya bagus," jawab Dimas tanpa menoleh sedikit pun. Netranya tetap fokus ke layar ponsel, sambil tersenyum simpul penuh makna.
"Tidak biasanya Mas Dimas bersikap seperti itu. Dingin dan tak peduli, baik kepadaku, Ozan yang menggemaskan, juga si cantik Rara." Hania bertanya-tanya tanpa suara.
Sejak kedatangan Dimas dari luar kota, Hania benar-benar merasakan sosok yang berbeda dalam diri suaminya. Hingga rasa penasarannya tak mampu dihalau, ingin sekali menerawang dinding hati sang suami. Dicarinya kesempatan untuk bisa menengok pesan-pesan pribadi dari media sosial milik Dimas. Namun, benda mungil itu selalu ada di tangan pemiliknya, dan sering kali disimpan dalam saku. Bahkan masuk ke kamar mandi pun tetap dibawa serta.
Menjelang tidur, Hania masih berpikir untuk mencari peluang melihat apa yang terjadi dalam perangkat canggih milik suaminya. Dimas terlihat capek, dan langsung tertidur. Sebelum tangannya beraksi, Hania memastikan bahwa Dimas benar-benar telah pulas. Dipanggil suaminya dengan suara lembut sambil digoyang pelan tubuhnya. Tetap bergeming.
Lalu, perlahan tangan Hania bergerilya mencari benda incarannya. Radarnya dengan sigap bekerja. Hap, tertangkap di saku celana. Dengan gemetar dia mengambilnya, khawatir Dimas mendadak terbangun. Dengan segera, digesernya layar barang pribadi itu. Terkunci. PIN yang digunakan adalah angka tanggal, bulan dan tahun lahir Ozan. 030719. Semoga tidak berubah, harapnya. Berhasil terbuka. Mungkin Dimas tidak sempat berpikir bahwa suatu saat akan ada rahasia di antara mereka berdua.
Pertama kali yang dibuka adalah aplikasi perpesanan berlogo gambar gagang telepon. Ada notifikasi warna hijau di urutan teratas. Pesan dari seseorang yang diberi nama "My Angel". Pandangannya langsung tertuju ke foto profil. Cantik sempurna. Segera dibaca pesan yang ada.
Seketika lingkaran hitam di mata Hania membesar, nafas terhenti sejenak. Tak mampu lagi Hania melanjutkan membaca. Ponsel terjatuh mengenai badan Dimas. Tubuh Hania tersungkur lunglai. Matanya nanar, dadanya tiba-tiba terasa sesak. Yang paling dia ingat adalah aksara yang berjajar membentuk sebuah kalimat yang menusuk jantung. Dari sang suami yang selama ini dihormati, disayangi, dan dipercaya sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga. Sosok yang selama ini sangat mencintai dan begitu melindungi dirinya serta anak-anak.
"Ragaku, hartaku memang milik istriku, Raisa. Namun tidak dengan hatiku. Hanya dirimu yang berhak dan layak mendapatkan jiwa ini."
"Tidaaaaak." Hania menangis, ingin menjerit keras namun tak kuasa. Sembari menahan perihnya luka yang menganga.
Dimas terbangun, dan seketika menyadari apa yang terjadi setelah mendapati ponsel telah keluar dari saku.
"Siapa itu Raisa, Mas? Tolong jelaskan semuanya. Sejak kapan ada hubungan dengan perempuan itu?"
"Hania sayang, maafkan Aku. Bukan maksud hati seperti itu. Tolong beri kesempatan padaku untuk menjelaskan kondisi yang sebenarnya. Kamu membaca chat di WhatsApp? Semuanya? Sesungguhnya tidak seperti yang kamu pikirkan Hania. Percayalah."
Suara Dimas untuk membela diri terdengar bagai lagu tak berirama. Hania membisu. Langit-langit rumah yang semula hangat berubah muram. Hatinya teramat sakit melihat bagaimana cara suaminya berkomunikasi dengan perempuan lain.
Entahlah, apa yang harus aku lakukan setelah ini. Apa yang mesti aku katakan pada istriku. Sudah terlanjur basah. Hubungan kami pun tak akan seharmoni dulu. Biarlah aku tetap melanjutkan hubungan dengan Raisa. Hania tak mungkin memaafkan diriku yang telah hina di hadapannya. Perasaan Dimas berkata dalam gulana. Khawatir ditinggalkan Hania, malu karena tertangkap basah berbuat salah, dan rasa rindu yang kian menderu kepada Raisa.
Setelah emosinya mereda, Hania mulai bisa berpikir jernih. Dia menyadari bahwa suaminya adalah manusia biasa yang tak pernah luput dari khilaf dan dosa. Apalagi kondisi saat ini, banyak ruang dan stimulus yang bisa mengantarkan seseorang untuk berbuat maksiat. Keluarga muslim, yang menjadi benteng terakhir umat Islam telah menjadi sasaran musuh-musuhnya untuk dijebol. Berbagai upaya penghancuran keluarga telah diluncurkan. Salah satunya melalui media sosial. Bagai pisau bermata dua, media sosial bisa menjadi sarana berbuat kebaikan maupun sebaliknya, sebagai alat perusak diri.
Hania kembali teringat materi kajian Bina Keluarga Samawa di kantor Dimas beberapa waktu lalu yang disampaikan oleh Ustaz Fatih Ridho. Ada seorang ibu yang bertanya tentang sikap apa yang harus dilakukan ketika mendapati suami yang melakukan selingkuh. Meski dirinya tidak menyangka sama sekali kisah pilu ini akan menimpanya, Hania sempat menyimak dengan serius.
Saat itu ustaz mengawali penjelasannya dengan mengingatkan kembali kepada hadirin tentang posisi sebagai seorang muslim. "Pertama kali, kita harus banyak beristigfar sambil menyadari banyaknya kesalahan dan kelalaian yang telah kita lakukan. Bagi seorang muslim, apa pun yang menimpa keluarga adalah tanggung jawab bersama. Karena sesama muslim hukumnya wajib untuk saling mengingatkan dan menasihati. Kita juga harus memahami, bahwa suami atau istri juga manusia, tempatnya khilaf."
Lalu ustaz melanjutkan pesan khusus buat para istri. "Seorang istri harus bisa mengendalikan emosi. Tetap tenang dan berpikir jernih ketika menghadapi masalah apa pun, termasuk kasus perselingkuhan. Berikan perhatian lebih kepada pasangan, agar tidak semakin berpaling. Doa terbaik harus senantiasa dilantunkan supaya tak semakin jauh terjerumus. Segera bicarakan permasalahan ini dengan cara menyentuh perasaannya, mengingatkan kembali hakikat diri sebagai seorang hamba. Minta tolonglah kepada kerabat atau teman yang sekiranya mampu menjadi mediator dan pemberi solusi terbaik sekaligus syar'i." Kalimat demi kalimat yang mengalir dari lisan Ustaz waktu itu kembali menggema di ruang memori Hania.
Segera Hania mulai mengambil langkah, sebelum suaminya terjerat lebih parah. Jalan terbaik adalah minta tolong kepada Ustaz Fatih Ridho, melalui istrinya. Beliau sangat terkejut mendengar curahan hati Hania, tak menyangka Dimas sudah sejauh itu. Sebab selama ini, beliau mengenal Dimas sebagai laki-laki yang tidak mudah terbawa pergaulan, meski belum bisa ikut kajian di kantor secara rutin. "Ya Rabb, siapa yang bisa menjamin hati manusia. Dalam situasi kebebasan saat ini, apa pun bisa saja terjadi," ucap Hania lirih dibalut wajah sedih.
Qodarullah pekan ini Ustaz Fatih ada jadwal mengisi kajian di kantor Dimas. Kali ini beliau akan mengajak Dimas secara khusus untuk hadir, dengan materi istimewa pula. Alhamdulillah, di tengah kegundahan hatinya, Dimas pun bersedia. Dia penasaran dengan judul materinya: 'Manusia Setengah Hijrah'.
Jiwa-jiwa lemah yang butuh bersandar meninggalkan kesibukan. Beberapa peserta kajian mulai mendatangi masjid yang terletak di samping kantor Dimas.
Dimas mengambil posisi tengah, di salah satu tiang masjid dengan ornamen khas Nusantara. Sama seperti puluhan orang lainnya, ia menyimpan masalah hidup. Berharap mendapat satu pencerahan untuk menjaga iman tetap stabil. Barangkali memang hal-hal seperti itu yang selama ini ia butuhkan.
Seorang ustaz paruh baya dengan tatap mata teduh mengawali tausiahnya dengan mengucap salam dan sapaan hangat. Sebagai pengantar, Ustaz Fatih memberikan penjelasan tentang makna hijrah. Dilanjutkan dengan memberi gambaran bagaimana sejatinya orang yang memiliki niat lurus untuk berhijrah. Bahwa hijrah harus totalitas, tidak bisa setengah-setengah. Karena Islam melingkupi seluruh aspek kehidupan. Dalam meniti rumah tangga pun harus berlandaskan Iman dan Islam. Sehingga manakala dalam perjalanannya terempas prahara, maka pasti akan kuat menghadapinya.
"Tanggung jawab seorang suami terhadap istri dan keluarganya sangatlah berat. Saat ijab terucap, Arsy-Nya berguncang tersebab kukuhnya perjanjian yang dibuat seorang suami di hadapan Allah, dengan disaksikan para malaikat dan manusia. Itulah cinta sejati. Cinta berbalut Iman nan halal. Sebaliknya, cinta kepada pasangan yang tidak sah adalah terlaknat." Entah kekuatan apa yang menggerakkan lisan Ustaz, sehingga membuat Dimas tersentak kaget. "Ke mana aku selama ini? Kenapa baru kali ini kalimat semacam itu melintas di telingaku?" Perasaan Dimas meraung.
Tausiah dari ustaz benar-benar membuat Dimas termenung cukup lama, bahkan menggerakkan tangan saja tak kuasa. "Layakkah aku menjadi hamba Allah?" gumamnya.
"Bagaimana gambaran indahnya pernikahan dalam keluarga muslim? Menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Menikah dapat dijadikan sarana untuk lebih mendekatkan diri pada Allah. Banyak pahala melimpah ruah di dalamnya, jika kita ikhlas mengarungi bahteranya." Suara berat sang ustaz membuat jiwanya semakin bergetar.
Dimas benar-benar tercerahkan dengan paparan dari ustaz. Bulir bening yang jatuh ke pipi sebagai ungkapan penyesalan segera diusapnya. Dia sungguh merasakan bahwa ustaz adalah seseorang yang dipilih Allah untuk meluruskan dirinya yang sempat membengkok.
Tapi masalahnya, dia teramat malu terhadap istrinya. Berkecamuk tanya dalam diri. Bagaimana hubungan kami selanjutnya? Apakah Hania bisa memaafkan kesalahannya?
Hari sudah sore. Dari teras rumah terdengar sayup suara bising kendaraan di jalanan. Dimas duduk di kursi menghadap taman. Mereka beruntung memiliki halaman yang cukup luas untuk meredam lalu lalang kendaraan. Dari dalam rumah Hania datang menghidangkan secangkir teh hangat dan camilan. Saat yang tepat bagi Dimas untuk terbuka dan meminta maaf kepada Hania.
"Saya telah menerima Mas Dimas sebagai suami, sepaket dengan segala kelebihan dan kekurangan. Kekhilafan ini adalah bagian dari kekurangan Mas Dimas." Mengalirlah kalimat bijak ini dari bibir Hania setelah menemukan ketulusan di tatapan mata suaminya.
Ada yang bergemuruh dalam dada lelaki berambut cepak itu. Begitu mulia hati perempuan yang ada di hadapannya. Meski ia bersimbah dosa, namun sang istri masih berkenan menerimanya kembali. Alhamdulillah ala kulli haal. Dimas mengucap syukur sembari mengecup punggung jemari Hania. "Terima kasih, sayang."[]
Cerpennya bagus. Mengangkat problem kebanyakan keluarga saat ini. Benar sangat, tanpa fondasi iman ujian akan sulit dilalui. Barakallah ...
Ujian dalam rumah. Dalam dunia nyata pun ada kejadian yang serupa. Benteng utamanya tetaplah keimanan ditambah dengan tsaqafah Islam dan komunitas orang yang saleh salihah
Masalah kekinian kehidupan rumah tangga. Dan solusi itunada dalam majelis-majelis ilmu yang di dalamnya diajarkan Islam Kaffah senagaimana kajiannya ustaz Fatih Ridho.
Masyaallah ceritanya bagus, aku suka.
Cerpen ini memang faktanya banyak. Tanpa benteng iman yang kokoh bisa saja ia terjerumus pada kemaksiatan.
Alhamdulillah akhir ceritanya happy ending.