"Tidak mudah untuk keluar dari genggaman mereka, Alicia. Aku sudah pernah mencobanya, tetapi hasilnya nihil. Aku justru diancam akan dibunuhnya,"
Oleh. Tina El Haq
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Cahaya temaram rembulan menerangi gedung dan jalan-jalan di Kota Culiacan, ibu kota negara bagian Sinaloa, Meksiko. Cahayanya yang remang-remang semakin menambah seramnya Culiacan di malam hari. Bukan tanpa alasan, Culiacan memang berbahaya karena menjadi basis kartel narkoba Sinaloa.
Di salah satu rumah yang cukup sederhana, seorang gadis cantik dengan bulu mata lentik dan mata besar masih termenung di atas peraduannya. Alicia, gadis yang kini menginjak usia 20 tahun itu tak bisa memejamkan mata. Pikirannya menerawang jauh seolah menembus dinding rumahnya. Beberapa kali ia menghela napas panjang. Kemiskinan orang tuanya membuat gerak langkahnya serasa pendek.
Alicia berpikir keras mencari jalan agar bisa keluar dari kemiskinannya. Namun, jalan itu seolah buntu. Bahkan, tak ada satu celah pun yang terbuka dan bisa dipilihnya saat ini. Alicia hanyalah salah satu gadis yang tinggal di sebuah desa miskin di Culiacan. Kemiskinan pula yang membuat banyak warga di desa tersebut meregang nyawa.
Tanpa terasa, malam semakin larut. Temaram cahaya rembulan menembus celah-celah jendela dan membentuk guratan berwarna redup di dalam kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 1.00 dini hari, Alicia pun terlelap dan bercengkerama dalam mimpinya.
Pagi itu mentari masih malu-malu keluar dari peraduannya. Elisa, ibu Alicia, tengah menyiapkan sarapan pagi untuk kedua putrinya, Alicia dan adiknya, Luisa, yang masih berumur lima tahun. Ayah Alicia tengah berada di luar kota karena bekerja sebagai buruh. Dalam sebulan, hanya bisa pulang sekali, itu pun hanya dua atau tiga hari saja.
"Ibu, izinkan Alicia ke Culiacan, ya?" tanya Alicia seketika.
"Apa … Culiacan? Kamu tidak salah sebut? Kamu tahu bahayanya tinggal di Culiacan?" tanya ibunya dengan nada meninggi.
"Alicia ingin bekerja di sana, Bu? Kalau sudah punya uang, Alicia mau masuk universitas. Dan Ibu tidak perlu khawatir. Bukankah Ibu tahu teman Alicia yang tinggal di Culiacan? Aku akan tinggal sementara di sana."
Sang ibu tetap kukuh melarang putrinya pergi ke Culiacan. Hal itu bukannya tanpa alasan. Semua orang di Meksiko tahu, bahkan dunia pun sudah paham bahwa Culiacan merupakan kota yang berbahaya. Culiacan itu beraroma darah. Sering terjadi kekerasan dan pembunuhan di sana. Belum lagi, banyak para narco yang begitu sadis dan suka mengincar gadis-gadis cantik untuk dipermak menjadi la buchona.
Namun, melihat tekad kuat di hati putrinya, ditambah dengan ketidakmampuannya memasukkan Alicia ke universitas, membuat hati sang ibu mulai luluh. Lebih dari itu, pikirannya sedikit tenang karena dia mengenal teman Alicia yang tinggal di Culiacan. Setelah lama merenung, akhirnya sang ibu melepaskan putrinya untuk pergi ke sarang bahaya.
Jalanan Kota Culiacan saat siang hari tampak ramai seperti biasa. Gedung-gedung berdiri kokoh dengan menampilkan beberapa arsitektur Spanyol yang mengagumkan. Di setiap sudut kota berjejer indah pepohonan. Di sepanjang jalan, terutama yang menuju kebun raya, bunga-bunga segar sangat indah dan terus bermekaran sepanjang pagi hingga sore hari. Meski menjadi salah satu kota yang indah, Culiacan menyimpan sisi gelap yang menyeramkan.
Di sebuah rumah yang lumayan besar, Alicia tengah menikmati makan siang bersama Anna, teman masa kecilnya. Alicia baru saja datang satu jam yang lalu dari kampung halamannya. Saat pertama kali berjumpa dengan Anna setelah bertahun-tahun terpisah, Alicia tampak heran melihat penampilan fisik Anna yang berubah drastis. Hidungnya bertambah mancung, payudaranya semakin besar, pinggangnya terlihat lebih kecil, pinggulnya besar, dan bokongnya pun bertambah besar. Jika digambarkan, tubuhnya seperti jam pasir. Aksesori yang dipakai sangat mencolok dan pakaiannya pun terlihat mahal.
Di Meksiko, wanita dengan penampilan hiperfeminis seperti ini sering disebut dengan istilah la buchona. La buchona sangat disukai oleh para bandar narkoba atau lazim disebut narco. Demi menjadi la buchona, para perempuan Meksiko pun berlomba-lomba mengubah penampilan fisik mereka di meja-meja operasi, baik dibiayai sendiri maupun ditanggung oleh seorang narco. Prosedur ini di Meksiko sering disebut sebagai "estetika narkotika".
"Anna, mengapa seluruh tubuhmu berubah drastis? Kamu operasi? Jangan-jangan, kamu juga berhubungan dengan para narco?" tanya Alicia penasaran.
Diserbu dengan pertanyaan bertubi-tubi, Anna bergeming. Hanya senyum tipis yang terlukis di sudut bibirnya. Setelah mereka menghabiskan makanannya, Anna segera menuju ruang tamu dan duduk di salah satu kursi. Alicia mengikutinya dan duduk tepat di depan Anna. Sembari menyilangkan kaki kanan pada kaki kirinya, Anna menatap Alicia dengan serius.
"Alicia, apa yang kamu tanyakan tadi, semuanya benar! Aku memang melakukan prosedur "estetika narkotika". Aku harus melakukannya untuk bisa aman dan nyaman ketika berjalan di Kota Culiacan. Aku harus bersandar pada seorang pelindung. Dan pelindung yang bisa diandalkan untuk menjagaku hanyalah para narco! Ya … tapi syaratnya aku harus mengikuti semua keinginan mereka termasuk menjadi la buchona," jelas Anna panjang lebar.
"Astagfirullah," ucap Alicia sembari mengelus dadanya.
"Tapi dia gembong narkoba, Anna! Mungkin saat ini dia baik padamu. Tapi itu hanya akan bertahan delapan, tujuh, atau mungkin hanya sampai enam bulan saja! Setelah itu, kamu mungkin tidak lagi menarik baginya, tapi tubuhmu akan tetap jadi milik dia selamanya. Kamu tahu itu?" ucap Alicia lagi. Anna hanya terdiam tak bisa membela diri.
Alicia tak menyangka jika sahabatnya ternyata berhubungan dengan gembong narkotika. Pupus sudah harapannya untuk meminta Anna mencarikannya pekerjaan di kota ini. Ia merasa bodoh karena tak mengetahui pekerjaan Anna selama ini. Namun, Anna tetaplah teman lamanya. Ia tidak tega membiarkannya terjerumus ke lembah hitam. Ia sebenarnya iba pada Anna, tetapi tak tahu harus berbuat apa untuk mengembalikan sahabatnya itu seperti dahulu.
Seminggu sudah Alicia berada di Culiacan. Sebenarnya ia ingin segera pulang ke kampung halamannya dan membatalkan niatnya untuk bekerja, tetapi niat itu urung dilakukan. Alicia sedang mencari cara agar Anna mau meninggalkan kehidupannya sebagai la buchona yang sangat digandrungi gadis-gadis Meksiko.
Pagi itu, Alicia tengah duduk di teras rumah. Kemudian Anna datang membawa dua cangkir kopi khas Meksiko, cafe de olla. Cafe de olla adalah kopi bubuk yang diracik dengan tambahan satu batang kayu manis yang dimemarkan. Selain itu, cafe de olla juga berisi campuran pilloncilo atau dark brown sugar khas Meksiko. Alicia segera menyeruput cafe de olla yang memiliki rasa pahit dan manis dalam satu tegukan.
"Anna, apa kamu tidak ingin lepas dari narco itu dan menjalani kehidupan biasa lagi?" tanya Alicia kemudian.
"Tidak mudah untuk keluar dari genggaman mereka, Alicia. Aku sudah pernah mencobanya, tetapi hasilnya nihil. Aku justru diancam akan dibunuhnya," jawab Anna sembari meneguk secangkir kopi di tangannya.
Para narco memang sangat menyukai perempuan cantik. Bagi mereka, memiliki perempuan cantik sudah seperti ciri khas. Mereka bahkan bisa memiliki la buchona sebanyak satu, dua, bahkan bisa lebih dari itu untuk dijadikan pemuas nafsunya. Namun, berada di lingkaran para narco sebenarnya sangat berbahaya. Mereka rawan disakiti bahkan dibunuh oleh kelompok kartel narkoba lainnya. Telah menjadi kebiasaan, para narco dari kartel saingan terkadang membalas dendam dengan menyakiti orang-orang yang mereka cintai.
Alicia memang melihat Anna sudah sangat berubah. Ia bahkan mengonsumsi narkotika setelah bergaul dengan narco. Kehidupannya sungguh jauh dari jati diri seorang muslimah. Meski lahir dan besar di Culiacan, Alicia dan Anna sebenarnya seorang muslim. Ayah mereka adalah pendatang dari Turki sedangkan ibunya merupakan penduduk asli Culiacan.
"Anna, sampai kapan kamu akan menjalani hidup seperti ini?" tanya Alicia dengan lembut.
"Entahlah!" jawab Anna singkat.
"Anna, Juan (pimpinan narco yang dekat dengan Anna) itu hanya menjadikanmu sebagai properti. Jika suatu hari tidak lagi dibutuhkan, pasti kamu akan dibuangnya. Lagi pula, berhubungan dengan mereka sama saja merendahkan muruah kita sebagai wanita. Bukankah hal itu juga tidak disukai Allah?" jelas Alicia lagi.
Anna membisu mendengar penjelasan sahabatnya itu. Selama ini, kehidupan bebas memang sudah dijalaninya meski ia adalah seorang muslim. Tinggal di negara minoritas muslim dan jauh dari sentuhan agama telah mengubah Anna menjadi sangat liberal. Tak ada lagi batasan dalam bergaul dan bertingkah laku. Semua rambu-rambu agama pun ditabraknya.
Dengan lembut Alicia memegang pundak sahabatnya itu sambil berucap, "Anna, meski kita menjadi minoritas di sini, tetap tidak bisa mengubah fakta bahwa kita adalah seorang muslim. Meski mereka bebas berbuat sesuka hati, tapi tidak dengan kita. Dan seorang muslim tidak boleh menabrak batas yang sudah ditetapkan Allah. Apalagi sampai mengubah ciptaan Allah hanya untuk disebut cantik. Ingat Anna, cantik bagi seorang muslim bukanlah terletak pada fisik, tapi pada akhlak."
Kali ini, hati Anna benar-benar tersentuh. Ada bulir-bulir bening keluar dari sudut matanya. Hatinya terenyuh. Dadanya terasa sesak. Anna benar-benar mengalami dilema! Apakah harus lepas dari Juan dan kembali ke kampung halaman bersama Alicia?
Jika memilih pulang, berarti ia harus rela melepas semua kemewahan yang selama ini sudah diberikan Juan. Atau dia akan tetap menjadi la buchona yang akan membuatnya hidup nyaman dan berlimpah materi? Hati Anna benar-benar bimbang. Di satu sisi ia takut dosa, tetapi di sisi lain ia tak mau lagi kembali pada kemiskinan.
Alicia yang mengetahui kebimbangan hati Anna terus memberikan motivasi agar gadis itu kembali ke jalan yang benar. Alicia tak putus asa sampai akhirnya berhasil meyakinkan Anna.
"Alicia, bagaimana caranya agar aku bisa bebas dari Juan?" tanya Anna dengan sedikit ragu.
"Kita pulang ke rumah sambil minta bantuan kepolisian, ya!" jawab Alicia.
"Tapi aku takut. Narco itu tidak takut polisi!" sanggah Anna seketika.
"Tenang, Anna! Sambil meminta bantuan kepolisian, kita langitkan doa. Bukankah kita punya Allah yang lebih kuasa dari narco?" jawab Alicia berusaha menenangkan.
Malam ini menjadi malam terakhir keberadaan Alicia di Culiacan. Dia dan Anna sudah sepakat untuk pulang ke kampung halamannya. Namun, entah mengapa jantung Anna terus berdegup lebih kencang. Dirinya benar-benar ketakutan. Dia yakin, Juan akan terus mengejarnya sampai ke ujung dunia.
Belum berhenti lamunannya yang sedang berandai-andai, tiba-tiba pintu digedor keras dari luar sambil menyebut namanya. Suara itu sangat dikenalnya. Juan! Lututnya gemetar, kakinya seolah tak menjejak bumi. Alicia yang berada di sampingnya berusaha menenangkan Anna sembari menyangga tubuh tubuh sahabatnya itu agar tak jatuh. Teriakan Juan di luar pintu semakin keras.
Saat Juan masih menggedor pintu sembari terus berteriak memanggil Anna, tiba-tiba terdengar suara tembakan beberapa kali dari luar rumah. Anna menangis sejadi-jadinya karena ketakutan. Ia terduduk di kursi sambil menutup kedua telinganya. Namun, tangisnya tiba-tiba berhenti saat telinganya menangkap suara lain di luar rumah.
"Alicia, kenapa seperti ada suara para polisi di luar?" tanya Anna lirih sambil ketakutan.
"Aku yang menghubungi mereka," jawab Alicia singkat.
Rupanya Alicia sebelumnya sudah menghubungi pihak kepolisian untuk meminta perlindungan malam itu. Alicia yakin, Juan akan melakukan segala cara untuk menangkap sahabat masa kecilnya itu. Apalagi setelah tahu bahwa Anna ingin kabur dari genggamannya. Selama ini, Juan memang terus menempatkan mata-mata di sekitar Anna untuk menjaganya dari ancaran para narco saingannya.
Di luar rumah, para polisi sudah berhasil membekuk Juan dan anak buahnya. Beberapa anggota narco pimpinan Juan terluka saat terjadi penangkapan. Rupanya mereka tidak menyangka akan ada serangan mendadak dari pihak kepolisian. Petugas lalu membawa mereka menuju kantor polisi.
Berkali-kali ucapan syukur keluar dari bibir kedua sahabat itu, terutama Anna. Ia merasa sudah terbebas dari belenggu mematikan yang tengah menjeratnya. Kini, ia pun semakin yakin dengan ucapan sahabatnya bahwa pelindung terbaik adalah Sang Pencipta, bukan manusia. Niatnya pun sudah bulat. Ia ingin berubah menjadi lebih baik dan melepaskan keterikatannya dengan para narco yang ada di Culiacan. Dan tentu saja, melepaskan diri dari segala gelar-gelar kecantikan palsu ala la buchona.
TAMAT
Masya Allah ... pemula aja bisa sekeren ini ... bagaimana kalau dah mastah ... mantap jiwa .... Barokallah
Maa syaa Allah cerpen nya keren kaya di film menegangkan bacanya.. barakallah mbak tina...serasa nyata nih...
Hehe ... syukran Mbak Yanti. Masih amatiran kok. Syukran ya sudah mampir
La buchona, Juan, narco, dll ... TOP BGT mbak Sar
Hehe ... masih belajar, kok. Syukran ya Mbak Yuli sudah mampir
Masyaallah. Jadi ikut deg-degan baca cerpennya mba@Sartinah. Seolah-olah kita ada di sana . Barakallah mbakku
Aamiin, wa fiik barakallah Mbak Atien. Syukran ya sudah mampir
Masyaallah tulisan yang super keren , terhanyut daku dalam cerita. Miris narkoba sel5 bikin kerusakan dan kehancuran hidup.
Hanya Islam solusi segala problematika kehidupan.
Love penuli6 hebatku
Syukran Bu Dewi. Betul, narkoba memang membuat petaka bagi manusia ya. Love you too, Bu Dewi
Mbak Sartinah,
MasyaAllah tulisannya selalu keren di genre apa saja.
Ikut menikmati, serasa berada di Meksico.
Syukran Mbak Isty. Ini mah sekedar meramaikan saja. Soalnya saya gak pandai nulis cerpen. Syukran Mbak sudah mampir
MasyaAllah Barakallah...
Mbak Sartinah memang hebat, semua rubrik di NP bisa dikuasai
Aamiin, wa fiik barakallah. Saya masih amatiran Mbak Dyah, kalau nulis cerpen. Syukran ya sudah mampir
Barakallah mba Sartinah. Keren cerpennya. Suka kata ini " cantik bagi seorang muslim bukanlah terletak pada fisik, tapi pada akhlak."
Aamiin, wa fiik barakallah. Ojo diguyu ya. Syukran sudah mampir Mbak Riah
Masyaallah mantap Mbak.
Keren
Syukran Mbak Afiyah. Aduh, malu aku mah. Selama bisa menulis, baru 2 kali saya bikin cerpen. Ya, dimaklumin kalau jadi cerpen rasa WN, hehe ...
Cerpen rasa worldnews. Serba bisa nih. Barokallah, Mba
Hehe ... kalau otak terbiasa nulis opini jadinya cerpennya rasa WN. Syukran Bu dosen sudah mampir, wa fiik barakallah
Cerpennya kaya di film nih.
Baarakallah Cikgu..
Hehe ... ini amatiran mbak yang bikin. Syukran mbak sudah mampir
Baca cerpen serasa lihat telenovela. Bagus mbak Sar
Hehe ... gak pede sebenarnya aku mbak Dia kalau nulis cerpen.
Nama daerahnya baru ku dengar, Culiacan. Baca cerpennya serasa kayak nonton vilm gitu.
Hehe ... jangan ditertawakan ya mbak Mila. Syukran sudah mampir