“Ibu, aku lapar sekali. Mana cukup makanan sedikit ini untuk kita berempat?” Lapat-lapat Ahmad mendengar suara rengekan anak kecil.
Oleh. Isokuyoiki
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Maspuah berjalan pulang dari bekerja dengan sedikit tertatih. Janda dengan tiga anak tersebut memegang perutnya yang terasa perih. Sejak duha hingga malam hari kedai Wak Duloh—tempatnya bekerja—ramai oleh pelanggan. Wanita berusia 35 tahun tersebut jadi tidak sempat makan malam. Bahkan, hanya sedikit nasi yang masuk ke perutnya tadi siang.
Wanita itu melirik kantong plastik yang dia jinjing. Menu di kedai Wak Duloh hari ini semua tandas. Wak Duloh merasa tidak enak hati tidak bisa membawakan makanan lebih untuk Maspuah dan anak-anaknya, seperti yang biasa lelaki itu berikan. Hanya tersisa makanan sedikit. Itu pun dibagi untuk ketiga pekerja kedai, termasuk Maspuah.
Jemari Maspuah menggenggam erat barang bawaannya seakan-akan yang ada di dalamnya adalah satu-satunya benda berharga yang bisa dia dapatkan malam ini. Padahal, itu semua karena kebaikan hati Wak Duloh.
“Belikan anakmu makanan, Puah. Mereka pasti lapar engkau tinggal seharian,” ucap pria berdarah Melayu tersebut sembari memberikan uang selembar 20 ribuan kepada Maspuah, ketika wanita itu berpamitan pulang. Saat itu hanya tinggal mereka berdua saja di kedai. Sementara itu, kedua pekerja Wak Duloh lainnya sudah lebih dulu pulang.
“Tidak usah, Wak,” tolak Maspuah. Badannya setengah merunduk. “Namun, kalau boleh … ” Ucapan wanita itu menggantung, ragu-ragu ingin berkata.
Wak Duloh memandang bawahannya. “Bicaralah, Puah!”
Maspuah menunduk dalam-dalam. Lidahnya kelu dililit rasa malu. Namun, tidak ada lagi tempat dia menaruh harap selain kepada lelaki separuh abad yang ada di hadapannya. “Bolehkah Puah meminjam beras barang satu batok saja, Wak? Nanti, kalau sudah ada uang, Puah akan menggantinya.”
Wak Duloh tergemap mendengar permintaan Maspuah. Jika dirunut, wanita di hadapannya ini sebenarnya masih kemenakan sendiri. Rasa sedih menyelusup di benak lelaki itu. “Ambil saja di pendaringan, Puah. Ambil berapa pun yang engkau butuh. Tidak perlu diganti,” sahutnya pelan. Lelaki beruban di kedua sisi kepalanya itu pun memantapkan hati berazam, besok akan mengantarkan satu karung beras ke rumah Maspuah. “Dan ambillah uang ini, belikan anakmu tambahan makanan. Nasi bungkus yang engkau bawa itu tidak cukup untuk mereka makan.”
“Hore, Ibu pulang!” sambut anak-anak Maspuah. Ketiga anaknya bergegas menyambut di muka pintu saat mendengar langkah kaki memasuki teras.
“Ibu bawa apa?” tanya si kecil Riri. Bocah perempuan berumur enam tahun tersebut gesit menelisik isi kantong yang dibawa ibunya.
Raid menarik Riri. “Sabar, Ri. Biarkan Ibu masuk dan duduk dulu.” Riri menurut.
Sang ibu lantas menyodorkan sebungkus nasi kepada Raid, anak sulungnya. “Ajak adik-adikmu makan.” Ketiga anaknya langsung girang bukan kepalang.
“Kok, hanya sebungkus, Bu? Bungkusannya kecil lagi. Biasanya Datuk Duloh memberikan banyak makanan sisa,” sambut Ruli.
“Ibu, aku lapar sekali. Mana cukup makanan sedikit ini untuk kita berempat?” rengek Riri dengan wajah memelas.
“Riri, tidak boleh seperti itu!” tegur Raid, “Berapa pun rejeki yang kita dapat, harus kita syukuri.”
Sedari tadi anak-anak Maspuah menunggu ibunya pulang. Sejak ayah mereka wafat, Maspuah terpaksa meninggalkan anak-anaknya bekerja di kedai Wak Duloh. Jarak rumah dengan kedai hanya sekitar 200 meter, terlihat seakan-akan terpisah jauh karena berbatasan dengan Masjid Al-Muhajirin dan jalan besar. Biasanya Maspuah menyempatkan pulang sebentar selepas zuhur untuk mengantarkan makanan sembari menengok anak-anaknya. Namun, hari ini kedai tempatnya bekerja amat ramai.
“Makan saja dulu, Ri. Nanti kalau masih lapar, Ibu masakkan nasi dan mi instan untuk kalian.” Maspuah meletakkan beras ke dalam gerabah penyimpanan, mengeluarkan tiga bungkus mi instan serta tiga butir telur yang dia beli dari uang pemberian Wak Duloh.
“Namun, Bu, gas kita habis. Tadi sore Raid mau masak air dan gasnya baru ketahuan habis.” Raid takut-takut berkata kepada ibunya.
Maspuah terdiam sesaat, tangannya yang bersiap meracik makan malam seketika berhenti. Dia lalu berbalik memandang Raid dan memaksakan diri tersenyum. “Kalau begitu, makan saja nasi itu. Berbagi dengan adik-adikmu, ya.”
“Ibu tidak ikut makan?” tanya Raid. Anak kelas empat SD itu terlihat lebih dewasa dari anak seusianya.
Maspuah menggeleng. “Ibu sudah kenyang. Tadi sudah makan di Kedai Wak Duloh,” sahutnya berbohong. Sore tadi, dia dan kedua rekannya tidak sempat makan malam. Setiap Kamis petang, kedai Wak Duloh selalu ramai. Kedai yang berada tak jauh dari Masjid Al-Muhajirin tersebut akan dibanjiri jemaah yang akan mengikuti pengajian rutin setiap malam Jumat. Begitu ramainya sehingga makanan yang tersisa hanya sedikit, cukup jatah makan pegawai kedai yang berjumlah tiga orang. Makanan itulah yang kini ada di hadapan anak-anaknya.
Raid memimpin doa sebelum makan. Si kembar Riri dan Ruli makan dengan lahap. Raid mengalah demi melihat adik-adiknya yang kelaparan. Sejak tadi siang mereka memang belum makan.
Maspuah memandang anak-anaknya dengan haru, terutama kepada Raid. Baru tiga suapan, anak sulungnya langsung berhenti makan. “Kenapa Raid makan cuma sedikit?”
Raid menjilat jari-jarinya. “Raid sudah kenyang, Bu.” Tiba-tiba terdengar suara perut yang berbunyi.
Maspuah melirik Raid. Bunyi itu berasal dari perut bocah lelaki di sampingnya. Wanita bertubuh kurus itu lantas memeluk putranya. “Raid masih lapar. Kenapa berbohong?” bisik Maspuah di telinga si sulung.
Raid balas memeluk sang ibu. “Ibu juga berbohong. Tadi Raid mendengar cacing di perut Ibu juga bernyanyi,” ucap Raid ikut berbisik.
Mereka berdua lalu tertawa karena ketahuan sama-sama sudah berbohong. Si kembar Riri dan Ruli menatap Ibu dan kakaknya sedikit bingung. Namun, kelezatan lele goreng dan gulai nangka Wak Duloh membuat kedua bocah tersebut tidak bisa berhenti melanjutkan makan. Baru saja mulut kedua beranak itu berhenti tertawa, terdengar suara pintu diketuk. Sontak mereka semua terdiam. Siapa pula orang bertamu malam-malam?
“Siapa?” teriak Maspuah.
“Maaf, Bu. Saya dari Masjid Al-Muhajirin. Mau mengantarkan makanan dari pengajian masjid hari ini!” Sahut suara laki-laki dari balik pintu.
Maspuah bergegas merapikan jilbabnya dan mengenakan kaus kaki sebelum membuka pintu. Seorang lelaki yang tidak dia kenal sudah berdiri di sana.
“Assalamualaikum,” sapa pria asing tersebut setelah dilihatnya seorang wanita berjilbab lebar yang membukakan pintu.
Maspuah menjawab salam dengan sedikit terbata-bata. Wanita itu tidak memperkenankan sang tamu masuk. Daun pintu pun hanya dia buka sedikit.
“Ini ada makanan dari pengajian masjid, Bu.” Pria berkulit bersih tersebut menyerahkan tiga kotak nasi kepada Maspuah.
Mata Maspuah terbelalak. “Ini banyak sekali, Ustaz. Nanti jemaah yang lain tidak kebagian?” Maspuah bertanya dengan bingung.
Pemuda bercambang tipis itu tersenyum. “Tidak, Bu. Acaranya sudah selesai. Semua jemaah sudah kebagian. Ini sudah rezeki Ibu. Mohon diterima.” Berkali-kali terdengar ucapan syukur meluncur dari bibir Maspuah dan Raid.
Setelah berpamitan, pemuda itu lantas beranjak pulang dengan hati lega. Setetes air mata menitik di sudut indra penglihatannya. Malam ini, Allah sudah menyelamatkan dirinya dari berbuat zalim.
Tiga puluh menit yang lalu, pemuda itu lumayan terkejut melihat nasi kotak yang ditumpuk di sudut ruangan masjid, di dekat pintu. “Banyak sekali makanan sisa?” tanya lelaki itu pada Jamal, rekan sesama takmir masjid.
“Banyak dari mana, Ahmad? Hanya lima kotak. Itu cukup untuk kamu dan aku makan malam dan sarapan besok pagi,” sahut Jamal. Mereka adalah dua pemuda yang merantau dari Tulang Bawang untuk melanjutkan pendidikan di IAIN Metro. Keduanya dipercaya untuk memakmurkan Masjid Al-Muhajirin dan diperkenankan tinggal di bangunan belakang milik masjid.
“Astagfirullah! Istigfar, Jamal. Makanan ini akan basi kalau disimpan untuk besok. Baiknya dibagikan saja untuk orang-orang di luar sana. Siapa tahu mereka lebih membutuhkan.” Jamal terdiam.
“Aku tinggalkan dua kotak nasi untuk kita makan malam ini. Selebihnya akan kuberikan pada pejalan kaki atau pedagang yang lewat di depan.” Lelaki yang bernama Ahmad tersebut membawa tiga kotak nasi keluar. Sayangnya, sudah tidak banyak orang berlalu lalang di depan masjid. Saat itu waktu menunjukkan pukul 21.45 WIB. Ahmad lantas berjalan sedikit menjauh ke arah pemukiman penduduk.
Sudah 25 menit pemuda ini berjalan. Pintu rumah penduduk sudah pada tertutup rapat. “Ibu, aku lapar sekali. Mana cukup makanan sedikit ini untuk kita berempat?” Lapat-lapat Ahmad mendengar suara rengekan anak kecil dari bedeng sebuah rumah. Hatinya seperti disayat sembilu. Bagaimana mungkin dia berfoya-foya dengan banyak makanan, sedangkan ada orang lain di sekitarnya masih kelaparan? Dengan langkah pasti Ahmad mengetuk pintu rumah tersebut. “Bismilah, semoga Allah memberikan keberkahan pada makanan ini,” ucapnya lirih.https://narasipost.com/challenge-kaleidoskop-2021/01/2022/emak/
TAMAT
Terenyuh ini hati mba baca cerpennya kita. Sungguh Allah Maha baik, memberikan rezeki kepada yang membutuhkan ketika kita bersabar.
Masyaallah. Terima kasih untuk hadirnya Mbak.
Betul, Mbak. Allah Maha mengetahui dan tidak akan pernah meninggalkan kita.
Lope it mbak... selalu suka tulisan hasil karya mu mbak
Masyaallah, terima kasih untuk hadirnya adikku.
Sehat-sehat selalu, ya, di sana.
Keren banget cerpennya. Fakta yang terjadi di sekitar kita. Mungkin di perkampungan masih ada karakter masyarakat yang memerhatikan orang dalam kesusahan tak mempunyai makanan. Namun di perkotaan, hidup terasa individual tanpa memerhatikan tetangga atau sekitarnya, yang mungkin kelaparan namun enggan untuk meminta bantuan. Sungguh miris kondisi hidup dalam kapitalisme.
Masyaallah, terima kasih untuk hadirnya, Mbak.
Iya, keadaan seperti ini memang banyak dan ada di mana-mana. Semoga kita semua tidak termasuk dalam golongan yang abai dengan penderitaaan sesama.
Aamiin.
Cerpennya sesuai ya dengan kondisi kebanyakan orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Fakta seperti ini bukan cuma ada tapi banyak terjadi di sekeliling kita. Barakallah mbak, keren cerpennya ...
Wa fiik Barakalllah. Terima kasih untuk hadirnya, Mbak.
Iya, Mbak. Di sekeliling kita banyak kejadian seperti ini. Miris memang.
Bagus mbak, cerpennya. Ceritanya klasik namun kenyataannya masih terus ada hingga sekarang. Inget zaman baheula, waktu bapak kerja berminggu2 di luar kota, sedang ibu jd pembantu rumah di kecamatan sebelah, pulang sebulan 2 kali. Pernah merasakan yang namanya lapar tapi tak punya uang buat beli lauk. Alhamdulillah masih ada beras, akhirnya "ngeramban" daun luntas di laburi tepung dan digoreng jadi lauk. Indahnya masa lalu.
Masyaallah, terima kasih untuk hadirnya, Mbak.
Sungguh luar biasa perjuangan ibu-bapak dan dirimu, Mbak.
Salut.
Semoga Allah memberikan keberkahan untukmu dan keluargamu, ya, Mbak.
Aamiin ya mujibas saailiin
Setiap baca cerpen ttg kesulitan makan suka sedih. Terbayang 30 tahun yang lalu, kondisi aku, saudara dan emakku sama seperti mereka.
Masyaallah, setiap keluarga punya cerita perjuangan masing-masing, ya, Mbak.
Semoga keberkahan selalu terlimpah untukmu dan keluargamu, ya, Mbak.
Aamiin.
Terima kasih untuk hadirnya, Mbak
Lampung hadir, aku langsung membayangkan masjid Agung Metro deh.
Keren Mba, ceritanya.
Wah, ada yang dari Lampung?
Ini Masjid besar di dekat PB 21 SMAN 2 Metro, Mbak.
Terima kasih untuk hadirnya, ya, Mbak.
Salam kenal dari Metro
Benar, bagus sekali ceritanya, cerita yang faktanya juga ada di sekitar kita...
Masyaallah, terima kasih hadirnya, Mbak.
Betul, Mbak. Kita (saya) mungkin tanpa sadar pernah berbuat seperti ini.
Semoga kita bisa saling mengingatkan, ya, Mbak.
Masyaallah. Baca cerpen ini langsung bikin hati campur aduk.
Barakallah mba @ Isokuyoiki
Masyaallah.
Aamiin. Wa fiik Barakalllah.
Terima kasih untuk hadirnya, Mbak.
Saya baru tahu lapat-lapat adalah sinonim dari lamat-lamat dan sayup-sayup.
Thank's, Author!
Sama-sama, Mbak.
Terima kasih sudah berkenan membaca
Cerpen rasa kenyataan yang ada di masyarakat kita
Betul, Mbak. Terkadang saya pun tidak menyadari kalau sudah lalai dengan sekitar
“Ibu, aku lapar sekali. Mana cukup makanan sedikit ini untuk kita berempat?” rengek Riri dengan wajah memelas.
“Riri, tidak boleh seperti itu!” tegur Raid, “Berapa pun rejeki yang kita dapat, harus kita syukuri.”
Dari mulai percakapan itu sampe ke bawahnya... Mata emak terus menghangat karena bulir liquid yang berdesakan ingin melompati pipi
Terima kasih atas hadirnya Mbak
Semoga kita bisa saling mengingatkan dan menguatkan
MasyaAllah cerpennya keren, mewakili kondisi masyarakat saat ini...
Betul, Mbak.
Semoga kita bisa saling mengingatkan nggih Mbak
Sedih dan terharu baca cerita ini, inilah yang tengah dialami sebagian besar masyarakat negeri kita, terutama miskin papa, anak yatim yang ditinggal ayah mereka, meskipun sebagian mereka ada yang mampu dan kaya. Pengelolaan SDA yang baik tanpa ada kendali oligarki sangatlah mampu mengentaskan masalah kemiskinan.
Iya, Mbak. Kadang para janda miskin, yatim piatu terlihat pada saat-saat tertentu saja. Semoga kita bisa saling mengingatkan untuk membantu sesama. Aamiin
Masya Allah, tak terasa menetes air mata membaca kisah ini. Baarakallaah mbak Isokuyoiki.
Masyaallah
Aamiin.
Wa fiik Barakalllah untuk hadirnya, Mbak
MasyaaAllah,
Memang benar, saat kekenyangan, kita terkadang tidak sadar ada tetangga yang mungkin belum makan..
Sudah sedikit orang yang peduli dengan sekitar, Mbak.
Semoga kita bisa saling mengingatkan.
Terima kasih untuk hadirnya.
Kisah yang menyedihkan dan masih banyak kisah yang serupa di tengah masyarakat
Benar, Mbak.
Terima kasih untuk hadirnya