Rasulullah saw. telah melaknat orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja. (HR. Muslim).
Oleh. Farihah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sorot mata Sasya terus menelisik ponsel yang disimpan di atas meja kerjanya. Sesekali ia gembungkan mulutnya, menahan sesak di dadanya. Kemudian ia embuskan udara yang ada di dalam mulutnya, dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Sya, gimana sudah ada kabar dari suami Lo?” tanya Ratih yang sedari tadi memperhatikan rekan kerjanya itu, sambil mendekat dan menaruh pelan tangan kanannya ke pundak Sasya.
Sasya hanya menggelengkan kepalanya pelan, tetapi tubuhnya tidak bergeming sedikit pun dari tempat duduknya, sambil menatap ke arah meja dengan tatapan kosong.
“Lo yakin udah semua tempat dicari dan dihubungi? Emang ada masalah apa sih Lo sama suami, ampe suami Lo kabur? Kasian kedua anak Lo.” Merasa tidak ditanggapi Ratih nyerocos.
Sepatah kata pun tak terucap dari mulut Sasya. Ia mematung masih dengan tatapan kosongnya. Namun suara dering ponsel memecah lamunannya. Dengan cepat Sasya langsung menarik ponselnya dan mengangkat telepon yang tidak sempat ia lihat dari siapa.
“Wa’alaikumussalaam,” jawab Sasya saat terdengar suara laki-laki lawan teleponnya mengucapkan salam.
“Iya benar saya istrinya,” jawab Sasya tegang.
Wajahnya bertambah pucat, tangannya melemas, ponsel pun hampir terjatuh, kepalanya ia sandarkan ke kursi. Suara ponselnya masih terdengar bahkan setengah teriak memastikan apakah Sasya masih mendengarkannya. Ratih tanpa ragu mengambil ponsel dan melanjutkan perbincangan. Ia dengan sigap memperkenalkan dirinya.
Setelah mendengar penjelasan dari laki-laki yang ada di telepon, Ratih hanya menganggukkan kepala dengan mata membelalak dan mulut menganga.
“Oh iya baik, silakan Mas datang saja ke rumah Mbak Sasya.” Ratih mengiyakan ketika laki-laki tersebut ingin bertemu langsung dengan Sasya.
***
Tibalah pertemuan yang sudah disepakati. Hanya saja Sasya mengarahkan pertemuan ke rumah ibu dari suaminya. Laki-laki yang tempo lalu menelepon Sasya adalah Ardi, teman dari Suryo, suami Sasya. Ia tidak sendiri ada dua rekannya yang ikut. Ada Zahra, wanita yang merupakan korban penipuan Suryo. Zahra membawa putra sulungnyasebagai mahramnya yang sudah beranjak remaja.
“Bismillah, sebelumnya perkenalkan nama saya Ardi teman Mas Suryo. Saya dulu pernah bekerja di perusahaan yang sama hampir dua tahunan. Makanya lumayan kenal baik dengan Mas Suryo, hingga kami berpindah tempat kerja. Tetapi kami masih sering ketemu. Saya biasa pesan motor dari beliau dan itu sudah beberapa kali. Jadi ini bukan yang pertama kali. Karena saya ingin bantu orang-orang yang ingin beli motor secara cash. Sebab beberapa waktu ini pembelian secara cash agak sulit.” Ardi menarik napas panjang untuk menahan emosinya.
“Maaf sebelumnya, Ibu dan keluarga mungkin sudah tahu akan kedatangan kami?” tanya Ardi memastikan, tanpa mengharap jawaban.
Namun, ada beberapa dari pihak keluarga Suryo menganggukkan kepalanya sebelum Ardi meneruskan pembicaraan.
“Seperti yang sudah saya sampaikan kepada Mbak Sasya tempo lalu di telepon, bahwa Mas Suryo telah diamanahi uang sebesar 19 juta untuk dibelikan motor. Dan ini Mbak Zahra pemilik uangnya.” Ardi mengarahkan jari jempolnya ke arah Zahra yang berada duduk agak berjauhan dengannya.
“Mbak Zahra kenal saya dari konsumennya yang ingin beli kredit motor secara syariah. Niat saya ingin bantu, diperkenalkanlah dengan Mas Suryo." Ardi menghela napas perlahan mengisyaratkan rasa kecewanya.
“Namun saya benar-benar kecewa dengan kejadian ini, saya sangat malu dengan Mbak Zahra atas apa yang menimpanya.” Ardi melanjutkannya.
“Anak saya adalah anak yang baik. Sejak kecil ia terkenal penurut, tidak pernah neko-neko anaknya. Ibu gak nyangka kalau bakal bernasib begini,” rundung sang ibu, tubuhnya terguncang, isaknya terdengar meninggi, sesekali ia menyeka air matanya. Saudara perempuan Suryo menenangkannya.
“Bu, saya sejak dulu sering memesan motor sama Suryo dan itu gak ada masalah. Baru kali ini, kejadian seperti ini, makanya ketika dua minggu lalu saya transfer, saya gak punya pikiran negatif. Baru setelah seminggu berlalu, saya merasa ada yang janggal, kok bisa lama. Sempat ketemu, tapi bodohnya saya masih percaya dengan janjinya. Saya mencoba menepis ketika ada perasaan curiga, hingga saya agak menekan dia, sebenarnya ada apa? Dia malah bilang dia terjerat utang.”
“Apa benar terlilit utang?” tanya Zahra angkat bicara.
“Maaf Bu, Mas, Mbak sebelumnya. Sebenarnya Mas Suryo terlilit utang karena … “ suara Sasya terputus. Ia perhatikan satu per satu wajah-wajah tegang yang ada di ruangan tersebut.
“Karena apa, Mbak?” tanya Zahra penasaran.
“Karena … ikut … judi online.”
“Astagfirullah, Suryo!” teriak sang ibu meradang. Tangisnya memecah sunyi, terdengar pilu dan menyayat hati. Lagi-lagi kakak perempuan Suryo menenangkan sang ibu sambil berucap istigfar.
Semua membisu, menahan lemahnya persendian. Dalam diam Sasya mengalirkan butiran bening yang tak kuasa ia bendung.
“Ehmmm … saya mohon maaf sebelumnya, sudah berapa lama, Mbak?” Zahra mencoba untuk membuka pembicaran kembali. Ia menanyakan perihal kenapa bisa Mas Suryo terjerat judi online. Menurut pengakuan Sasya, hal itu bermula saat pandemi, Suryo telah di PHK dari tempat kerjanya yang sebelumnya bekerja di tempat yang sama dengan Sasya. Namun tidak berapa lama diterima bekerja di ekspedisi, bagian pengecekan barang. Hanya saja gajinya lebih kecil.
Sasya pun mengaku, kalau mereka mengambil rumah, motor, dan mobil, saat sebelum pandemi dan masih bekerja di tempat yang sama. Merasa cicilan motor sudah setengah jalan dan menganggap butuh mobil, akhirnya mereka memutuskan untuk mencicil mobil juga. Untuk mengejar setoran itulah Suryo teperdaya dengan modal sedikit ikut judi online, kadang yang slot atau domino. Sebelumnya, hanya ikut pasang atau istilah lainnya depo/top up hanya dengan 10 ribu. Suryo pun merasa untung, karena jika menang atau biasa disebut maxwin bisa dapat belasan juta. Akhirnya Suryo terus ikut, bahkan hampir tiap hari setiap waktu. Kadang ke beberapa web dengan beragam depo. Beberapa kali menang, tetapi berakhir dengan kekalahan yang terus menerus dengan utang di mana-mana.
“Astagfirullah … Suryo, kamu udah kecanduan. Judi online itu website yang dibuat oleh seseorang, dan ia disebut bandar. Dia yang mengatur kalah menangnya.” Suara Ardi berapi, kedua jari jemarinya mengepal kuat.
“Ibu sudah bilang, tidak usah pengin beli apa, kalau rumah bisa tinggal di rumah Ibu atau orang tua Sasya. Asal punya motor buat kerja sudah cukup. Kasian Suryo, terjerumus judi karena ketidaksabaran.”
“Bu, Sasya gak pernah minta uang ke Ibu untuk minta dibayarin. Sasya juga ‘kan kerja ikut bantu bayar cicilan,” sela Sasya saat merasa disalahkan.
“Tapi sekarang apa? Saat ada kejadian ini Ibu juga yang dilibatkan.”
“Mas Suryo anak Ibu,” ujar Sasya yang tak kuasa menahan tangisnya.
“Harusnya kalian bersabar, hidup sederhana.”
Pembicaraan menantu dan mertua itu berakhir dengan tangis keduanya.
Zahra menenangkan suasana yang ada di ruangan, mencoba untuk menjadi penengah walau ia di sini merupakan korban. Ia mendudukkan kejadian yang baru saja dialami, hal itu merupakan ujian untuk semua. Ujian itu telah Allah tetapkan untuk siapa saja dan tidak ada yang tahu. Maka sikap yang harus diambil adalah bersabar dan ikhlas atas ujian tersebut.
Zahra menyebutkan hadis Rasulullah saw.: “Sabar itu ketika pertama kali mendapatkan musibah,” (HR. Al-Bazzar dan Abu Ya’la).
Adapun penyelesaian tetap harus dijalankan. Zahra menjelaskan bagaimana pihak keluarga Suryo harus terus berusaha untuk mencari keberadaan Suryo. Begitu pula Sasya sebagai istrinya harus ikut bertanggung jawab dalam penyelesaian masalah tersebut. Hanya saja, Zahra tidak menuntut lebih kepada pihak keluarga Suryo dan Sasya.
Zahra memahami keadaan ini, karena buruknya aturan yang dipakai di tengah masyarakat. Jauh dari Islam, sesuatu yang dianggap manfaat walau dalam pandangan Islam halal, malah dibiarkan bahkan dilegalkan. Padahal semua pasti akan berdampak buruk bagi kita sendiri. Namun lebih jauh dari itu, karena Allah telah melarangnya. Hal itu pun disampaikan oleh Zahra kepada semua, bahwa bukan hanya judi online yang haram tetapi termasuk riba.
Zahra menyebutkan bahwa leasing merupakan aktivitas riba. Karena leasing adalah kegiatan yang tergolong dalam aktivitas sewa menyewa yang memiliki suku bunga. Berbeda dengan sistem jual beli kredit, sehingga ketika habis kurun waktu yang ditentukan, barang dikembalikan oleh pihak pengguna.
Zahra pun menambahkan, apa hukuman bagi pelaku riba dan siapa saja yang terlibat di dalamnya.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90).
Dari Jabir r.a. ia berkata: Rasulullah saw. telah melaknat orang-orang yang memakan riba, orang yang menjadi wakilnya (orang yang memberi makan hasil riba), orang yang menuliskan, orang yang menyaksikannya, (dan selanjutnya), Nabi bersabda, mereka itu semua sama saja.” (HR. Muslim).
***
Setelah pertemuan itu, Sasya merenung. Setiap kata yang disampaikan oleh Zahra dan ibu mertuanya, berkecamuk di dalam hati. Ia membenarkan apa yang disampaikan oleh keduanya, bisa jadi semua yang dilakukan suaminya karena ketidaksabarannya untuk memiliki sesuatu. Ia pun teringat pada suaminya, yang entah berada di mana dan bagaimana nasibnya.
Di sepertiga malam, Sasya menggelar sajadah panjangnya. Ia tumpahkan rasa yang ada, tangisnya yang tak terbendung membuatnya terus melafalkan ampunan dan khusyuk bermunajat.
Di tengah impitan permasalahannya, Sasya memutuskan untuk resign dari tempat kerjanya. Ia menerima tawaran Zahra untuk menjadi admin dalam usaha jual beli kredit syariahnya. Ia menjual rumah yang tersisa karena mobil sudah lama dijual saat masih ada suaminya.
Ia memutuskan tinggal bersama orang tuanya beserta kedua anaknya. Ia pun berharap suatu saat nanti Suryo dapat dipertemukan dan bisa berkumpul kembali membina hidup dalam kesederhanaan. “Allah, maafkan kejahiliahanku,”gumam Sasya dalam hati.[]
Barakallahu Teh Farihah....
Barakallah, cerita yang bagus. Semoga bisa diambil hikmahnya.
Kisah ini diambil dari kisah nyata yang saya alami. Ternyata ketika kemarin cari fakta dari yang lain. MasyaAllah hampir 1 hari itu mereka bisa ikut berapa kali. Rasa penasaran menjadi candu, untuk terus ikut. Padahal kalau mereka mau mikir, ya mau menang atau kalah udah diatur bandar.
Dari dulu judi memang ngeri banget..saya sendiri menyaksikan bagaimana keharmonisan rumah tangga hancur karena judi.
Judi online semakin marak, sebab terfasilitasi. Hal ini tentu menjadi support bagi manusia2 yang ingin kaya secsra instan seperti Suryo
Membaca tentang judi online tetap ngeri ya, baik fiksi maupun di kisah nyata. Apalagi sampai terjerat utang riba gara-gara main judi online. Kerapuhan akidah bikin orang rela melakukan hal-hal yang dilarang agama.
Sekularisme memang melupakan segalanya, pengen berkecukupan berpunya sesuatu namun ujungnya sengsara karena terlilit utang dan riba. Jalan ketakwaan lebih aman daripada jalan kemaksiatan meski itu sangat memerlukan kesabaran. Hidup tanpa riba menjadi tenang meski keliatan tak punya barang.
gambaran hidup masyarakat kini, pingin sesuatu tapi berusaha menggapainya lewat cara batil seperti pinjaman riba, judi online dll.. miris..
Judi offline maupun online sama2 berbahaya dan menghancurkan Krn memang dilaknat Allah dan rasulNya.. apalagi sekarang seperti disistemkan jadi tambah banyak korban