Saking tak tahunya dari mana tanaman itu berasal. Keberadaannya yang hadir dalam pemakaman raja dan orang terpandang di Eropa membuat rempah memiliki nilai religiositas yang tinggi.
Oleh: Rosmiati, S.Si
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Aku sudah tidak kuat menjadi pembantu di istana Raja Eudoxus. Bagaimana jika kita pergi saja, Marinus?"
"Apa maksudmu, Maria? Ke mana kita harus pergi? Ke mana? Sedang kita masih berutang banyak padanya!"
"Tapi—"
"Bersabarlah! Jalankan saja tugasmu!"
Kenang Maria dengan ucapan suaminya pagi tadi. Terus terang ia sudah tak ingin berlama-lama menjadi babu di istana. Belum lagi dengan fitnah yang menimpa dirinya beberapa pekan lalu. Semakin membuat dirinya tak betah.
"Maria … saya akan pergi untuk memetik sayuran di pekarangan belakang."
Maria menganggukkan kepala. Entahlah, ia masih belum ingin menatap wajah suaminya karena diskusi mereka pagi tadi.
Marinus yang paham jika istrinya masih kesal padanya, memilih pergi karena tak ingin memperuncing keadaan.
Pasca kepergian Marinus, suasana alun-alun istana berubah menjadi lautan manusia. Maria melihat dari balik jendela dapur. Dan ia baru sadar, jika hari ini ada pembacaan sayembara.
Marinus yang baru saja kembali dari perkebunan penasaran dengan keramaian yang dilihatnya. Lelaki itu segera berjalan menuju gudang agar ia dapat ikut nimbrung bersama rakyat lainnya.
Maria yang melihat langkah terburu-buru dari suaminya. Segera ia menuruni anak tangga untuk menghampirinya.
"Marinus!" panggil Maria.
"Maria. Apa yang sedang terjadi? Mengapa kau menyusulku ke gudang?" tanya Marinus heran melihat Maria datang dengan tergesa-gesa.
"Cepatlah kau ke alun-alun. Akan ada informasi penting dari raja. Jika saya tidak salah dengar … kerajaan akan mengadakan sayembara. Barang siapa yang berhasil membawa obat untuk raja dan menyembuhkannya, ia akan diberi imbalan emas beserta rumah dan lahan di ujung desa milik kerajaan."
Sontak Marinus melepaskan keranjang sayur yang diangkatnya. Dan berbalik menatap istrinya.
"Betul apa yang kudengar ini, Maria?" Selidik Marinus dengan napas terengah-engah.
Maria menganggukkan kepalanya. "Sungguh, suamiku. Aku sedang tidak berdusta padamu. Pergilah! Biar aku yang menyelesaikan tugasmu."
"Baiklah. Aku akan segera ke sana." Marinus pun berlalu. Lelaki yang juga sudah lelah mengabdikan diri kepada raja itu menginginkan kehidupan yang lebih baik, yakni lepas dari kendali raja yang kerap menguras tenaga mereka.
"Wahai rakyat! Sebentar lagi akan ada informasi berharga yang akan kalian dengar!" lontar seorang pemuda dengan suara yang lantang.
Semua rakyat pun mendekat. Maria yang berada di gudang belakang sayup-sayup mendengar pengumuman tersebut.
Sementara Marinus sudah membaur dengan warga lain yang datang dari berbagai penjuru wilayah kerajaan.
Satu persatu prajurit pengawal raja telah keluar mengambil posisi di bagian depan podium. Mereka rata- rata memakai baju besi dengan tombak serta perisai di tangan.
Melihat raja yang tinggal tulang disertai dengan wajah yang pucat membuat rakyat bertanya-tanya.
"Oh, Tuhan. Sakit apa yang tengah dialami raja kami," ungkap beberapa rakyat dengan penuh rasa iba.
"Tenang … tenang. Sebentar lagi pembacaan sayembara akan dimulai!" Kembali seorang prajurit melayangkan suaranya. Sontak suasana alun-alun berubah menjadi tenang.
"Wahai sekalian rakyatku. Sengaja aku kumpulkan kalian semua di tempat ini, bukan tanpa alasan. Melainkan karena sesuatu yang amat penting. Barang siapa yang berhasil membawa sebuah obat ke hadapanku, akan kuhadiahi sebidang tanah, rumah yang nyaman, serta setumpuk kepingan emas. Obat itu berupa tanaman yang kini sedang menjadi perebutan dunia."
Tak lama beberapa prajurit tampil ke depan dengan membawa sebuah peti. Peti itu dibanting tepat di samping raja. Dan langsung saja panglima kepercayaan raja menarik penutupnya.
Dan sontak kilauan emas yang tak terhitung jumlahnya itu menyilaukan mata rakyat yang hadir. Termasuk, Marinus. Mata suami Maria itu terbelalak bukan main.
"Saya dan Maria bisa mengubah nasib bila berhasil memenangkan sayembara ini!"
Marinus pun segera keluar dari kerumunan. Lalu mencari istrinya, Maria. Tak peduli dari mana ia bisa menemukan tanaman tersebut. Intinya, ia harus memulainya lebih awal. Sebelum orang lain mendahuluinya.
Sementara itu, salah satu istri raja yang terkenal sombong dan serakah. Tak tinggal diam dengan semua itu.
Nyonya Eveline bersama pelayan setianya tengah memikirkan cara agar bisa memiliki hadiah dari sayembara tersebut.
"Ayo, Mona bantu aku menemukan ide. Ke mana kita harus menemukan tumbuhan itu! Apakah kau tidak menginginkan emas- emas tadi?" urai Eveline geram melihat pelayan setianya itu hanya berdiam diri saja.
"I—iya. Hanya saja aku tak tahu di mana tumbuhan itu berasal?"
"Ah, bodoh! Kau ‘kan bisa pergi ke tempat—"
Sejenak Nyonya Eveline terdiam. Mata birunya terbelalak seolah ia baru saja mendapat ilham dari Tuhan semesta alam.
"Ya, kau bisa pergi ke ujung desa di mana karavan-karavan itu datang, Mona!" Senyum pun terkembang di bibir wanita keturunan Yahudi itu.
"Ya, biasanya karavan-karavan itu membawa aneka tumbuhan. Tak ada yang tahu, jika tumbuhan yang kita cari ada di sana! Ya, kita harus ke sana!" ucap Eveline kegirangan.
"Mona, pergilah kau. Tanyalah para warga di sana. Kapan karavan akan melintas."
"Baik, Nyonya."
Mona pun dengan terburu-buru meninggalkan kamar majikannya.
"Eh, Mona. Tunggu!"
Sang pelayan pun terhenti.
"Kepergianmu ke sana tak boleh ada yang tahu. Kau harus menyamar. Dan ganti pakaianmu!"
"Baik, Yang Mulia. Saya sudah memikirkannya."
Mona pun keluar meninggalkan kamar sang majikan. Sayang pembicaraan mereka terdengar oleh Maria.
"Dasar, serakah! Sudah menjadi istri raja, hidup bergelimang kemewahan, masih juga haus dengan hadiah sayembara. Pokoknya tak boleh ada yang menemukan tanaman tersebut selain saya dan Marinus!" sungut Maria tak suka dengan rencana istri raja tersebut.
Wanita yang sudah bertahun-tahun mengabdikan dirinya pada kerajaan itu pun akhirnya pergi dengan terburu-buru untuk menemui suaminya.
"Maria, ke mana saja kau? Hampir seluruh pelosok istana telah kudatangi. Ternyata kau berada di sini? Apa yang kau lakukan?" tanya Marinus kesal.
"Berhentilah kau mencerocos, Marinus. Sainganmu untuk memenangkan sayembara itu sudah memulai aksinya," cetus Maria.
"Apa maksudmu, wahai istriku?"
"Aku baru saja mendengar pembicaraan Nyonya Eveline dengan pelayannya, Mona. Mereka akan menemui karavan yang melintas."
"Ha! Sungguh kau tidak salah dengar?" tanya Marinus seolah tak percaya.
"Untuk apa aku membuang waktu untuk berbohong, Marinus?"
"Baiklah. Aku akan pergi sekarang!" tegas Marinus.
Suami Maria pun pergi. Maria yang berada di kamar tiada henti mengelus dadanya. Semoga Tuhan melindungi suaminya.
Marinus terus berjalan menyusuri tepian Sungai Nil. Ia terus bertanya di mana titik penyebrangan karavan dari timur. Namun, dari sekian banyak orang yang ditemui tak satu pun memberi jawaban.
Dari bawah batang pohon yang besar. Marinus memperhatikan tingkah dari beberapa warga lokal yang sibuk memasang jala di bawah arus sungai yang deras. Marinus pun mulai bertanya-tanya. Untuk apa jala sebanyak itu? Apa iya untuk menangkap ikan?
"Ah, rasanya tidak mungkin," ungkapnya seorang diri.
"Tapi … tak ada salahnya bila aku bertanya saja!" tandasnya kemudian.
Sayang, melihat Marinus mendekat. Lelaki separuh baya itu malah pergi dengan terburu-buru.
Suami Maria itu semakin penasaran. Selama ia beristirahat di bawah pohon, berulang kali para warga itu datang dan menaruh jala. Namun, saat ditanya, mereka malah pergi.
Marinus membuang jauh-jauh rasa penasarannya. Ia kembali melanjutkan perjalanan mencari tumbuhan yang bisa menyembuhkan sakit raja yang sudah menahun itu.
Sementara itu, di tempat yang berbeda. Mona sang pelayan Nyonya Eveline masih bersitegang dengan kekasihnya. Rudolf melarang Mona untuk terus menerus menjadi babu di istana Eudoxus.
"Cukup, Rudolf! Kau tak pernah memberiku kesenangan. Kini, aku akan hidup bahagia dengan Nyonyaku. Apa kau ingin menghentikanku?" Kesal Mona menyudutkan kekasihnya.
"Kau telah buta, Mona. Nyonya Eveline hanya ingin tenagamu. Setelah kau menemukan rempah- rempah itu. Maka kau akan ditendangnya ke jalan," jawab Rudolf coba meyakinkan Mona.
Mona terdiam.
"Percayalah, Mona. Aku tulus mencintaimu. Aku tak akan mengkhianatimu. Percayalah," Kelitnya.
Lelaki itu pun meraih tangan lembut Mona, lalu mengecupnya. Mona yang masih dilanda amarah segera menarik tangannya.
"Kau berbohong!" Sungut Mona pergi menjauh dari kekasihnya itu.
Rudolf menghela napasnya. Lelaki itu berusaha merayu Mona.
"Aku tahu tumbuhan apa yang sedang kau cari. Beberapa bulan lalu. Aku pernah pergi ke India bersama kapal Romawi untuk mengangkut lada, cengkeh, kayu manis, dan masih banyak lagi. Tanaman itu kini tengah merisaukan lorong- lorong istana para raja di Eropa. Termaksud tuanmu yang kini sedang sekarat itu."
Sontak Mona membalikkan badannya.
"Sungguh?”
"Ya, aku tak membohongimu. Marilah, kau akan kuantarkan ke sana. Namun, sebelum itu berikan dahulu beberapa keping emas yang kau bawa dari nyonyamu. Karena kita akan membayar orang asli setempat agar sebelum fajar tiba, kita sudah berada di sana."
Mendengar perkataan kekasihnya, air muka Mona sontak berubah. Pelayan istri dari Raja Eudoxus itu menjadi bimbang. Bagaimana jika Rudolf hanya membohonginya saja. Buktinya, selama ini lelaki yang bekerja sebagai kuli kasar di pasar itu hanya mengharap upah Mona sedang dirinya tak pernah memberi apa pun padanya.
"Ayo, Mona. Kau ingin kaya, bukan? Aku akan membantumu untuk mendapatkan tanaman surgawi itu. Kita akan menculik satu karavan yang lewat. Dan kita akan kaya. Rempah-rempah sangat dibutuhkan oleh raja-raja di Barat. Bahkan mereka rela menukar berpeti-peti emas demi untuk memperoleh tanaman tersebut. Maka emas- emas itu akan kau peroleh lebih banyak lagi gantinya."
Mona sejenak terdiam. Di satu sisi, ia ingin memperoleh rempah-rempah itu. Namun, di sisi lain ia tak yakin dengan Rudolf. Bagaimana jika pada akhirnya, ia berkhianat padanya?
Sementara itu, Rudolf terus memaksa. Sampai hati pelayan itu luluh. Keduanya pun pergi dan segera menyewa perahu.
Di atas perahu, Mona mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Sorot mata kedua lelaki yang mengantar mereka tiada henti meliriknya.
Mona pun sadar, bungkusan emas yang ia selip ke pinggangnya itu terbuka. Dengan sigap tangannya memasukkannya kembali ke saku bajunya.
Mulailah perasaan gadis itu menjadi tak tenang. Berbagai macam pikiran buruk mulai menghantuinya.
"Rudolf, ke mana kau membawaku pergi?" tanya Mona dengan sedikit ketakutan.
Rudolf lelaki yang sempat diragukannya itu tak mempedulikan. Ia membuat dirinya acuh tak acuh dengan apa yang didengarnya.
"Rudofl! Dengarkan, aku! Ke mana kau akan membawaku. Dan … mereka—mereka ini siapa?” Mona semakin tak tenang. Sementara, perahu memasuki tempat yang ia sama sekali tak tahu di mana.
Suara Mona yang berulang kali menyebut nama kekasihnya itu terdengar oleh Marinus yang juga sedang menuju tempat yang sama.
"Jawab, Rudolf! Ke mana kau akan membawaku pergi! Aku ingin kembali! Hei … kalian. Hentikan perahunya. Hentikan!" jerit Mona berulang kali.
"Suara apa itu?" ucap Marinus kaget. Segera ia berlari ke arah tepian sungai. Dan betapa terkejutnya ia, kala melihat Mona dengan napas terengap-engap.
Segera Marinus menerobos semak belukar di depannya. Akan tetapi, niatnya menjadi urung kala teringat perkataan istrinya, jika Mona juga mengejar sayembara itu. Belum lagi, kala terbayang perbuatan Nyonya Eveline yang kerap berbuat curang pada Maria.
"Ah, sudahlah. Sebaiknya saya pergi saja!"
Tetapi, tetap saja nalurinya tersentuh kala mendengar jeritan kesakitan dari bibir Mona.
"Ah, dasar laki- laki keparat!" Sontak Marinus membalikkan badannya dan terang saja tubuh Mona yang kecil mungil itu ambruk ke dalam sungai.
Marinus pun hanya bisa terdiam. Sedang Rudolf kekasih Mona yang hanya mengincar harta itu tertawa puas. Dengan bangga ia mencium keping emas yang diperolehnya dari tangan Mona.
"Sial! Mereka pasti akan mencari tanaman itu!" ringis Marinus dengan segera meninggalkan tempat tersebut.
Dan dari kejauhan, Marinus mulai mendengar entakan kaki kuda yang menarik karavan. Suami Maria itu segera mempercepat langkahnya. Dan terang saja, beberapa karavan telah melintas.
Sayangnya, karavan itu dikawal ketat oleh beberapa prajurit dengan senjata lengkap. Hal itu membuat nyali Marinus menjadi ciut. Ia tak mungkin bisa menghentikan laju karavan tersebut.
Dengan berat hati Marinus pun kembali. Sebab ia paham betul, orang- orang Romawi adalah pemilik dari karavan yang dilihatnya.
Dan sudah barang tentu ia tak mungkin bisa melawan mereka. Apalagi jika harus mencuri satu karavan yang mereka bawa. Itu hal yang mustahil.
Marinus pun kembali dengan perasaan lemas. "Apa yang akan saya katakan pada, Maria?" lirihnya putus asa.
"Coba, lihat! Ada tanaman yang dikirim Tuhan dari surga. Lihatlah!"
Teriak salah satu warga dari jarak yang tak jauh dari Marinus. Suami Maria itu memasang kedua gendang telinganya baik-baik.
"Tanaman dari surga?" ucapnya tak percaya.
Marinus pun mendekat. Dan akhirnya ia bertatapan langsung dengan kedua warga lokal tersebut.
"Siapa kau! Kau akan mencuri tanaman berharga kami?" sungut salah satu dari lelaki tersebut menuduh, Marinus.
"Tenang! Aku bukan seorang pencuri. Melainkan … aku akan membeli tanaman itu dengan beberapa keping emas."
Kedua lelaki yang tak menutup badan mereka dengan sehelai kain itu saling menatap.
"Kau serius?"
"Ya, coba tunjukan padaku. Dan katakan … mengapa kalian menyebut tanaman itu berasal dari surga?" Selidik Marinus.
"Tanaman ini tak ada di negeri kami. Bahkan orang Romawi dan Persia pun tak menanamnya. Tapi, kami dapat menemukannya di sini. Tuhan mengirimnya langsung dari surga. Tanaman ini adalah berkat dari Tuhan semesta alam."
Marinus terdiam. Apa yang ia dengar laksana cerita dari negeri dongeng. Tetapi, bukan hanya satu atau dua warga yang menaruh jala di sungai. Melainkan banyak.
Tanpa berpikir panjang Marinus pun segera mengeluarkan beberapa keping emasnya.
Marinus berpikir, dari pada ia pulang kosong mending ia bawa saja tumbuhan-tumbuhan ini.
"Ini, emasnya. Dan berikan semua tanaman itu padaku."
Tanpa berpikir panjang. Kedua pemuda itu segera meraih emas yang disodorkan Marinus dengan senyum semringah.
"Ambillah semua tanaman ini. Kami tak lagi membutuhkannya terkecuali emas-emas ini."
Marinus pun dengan sigap meraih beberapa tanaman yang juga baru ia lihat. Sementara kedua pemuda tadi telah pergi menjauh.
Suami Maria itu pun mulai memisahkan satu persatu tanaman yang diperolehnya. Sungguh, ia pun baru melihat tanaman itu. Dan aroma yang khas cukup menusuk rongga hidungnya. Marinus pun berpikir. "Mungkin saja … ini adalah tanaman yang dimuat dalam karavan yang jatuh ketika dipindahkan dari kargo kapal ke karavan."
Tanaman itu pun dibawanya ke muka raja. Dan siapa sangka tanaman itu adalah rempah-rempah dari Nusantara. Yang memang cukup ampuh sebagai media pengobatan.
Kini tak ada lagi sakit dan lemahnya gairah. Raja sudah dapat bangkit dari tidurnya. Marinus dan Maria pun kini tak menjadi pekerja di istana lagi. Mereka sudah hidup merdeka.
Semua karena rempah-rempah yang dulu oleh orang-orang Eropa menyebutnya sebagai tanaman yang datang dari surga. Saking tak tahunya dari mana tanaman itu berasal. Keberadaannya yang hadir dalam pemakaman raja dan orang terpandang di Eropa membuat rempah memiliki nilai religiositas yang tinggi.
Padahal, tanaman itu tumbuh di salah satu wilayah negeri kaum muslim. Ia mentereng bersama dengan tegaknya syariah. Itulah mengapa, Nusantara ketiban berkah luar biasa. Tanahnya subur menumbuhkan tanaman yang menjadi penopang ekonomi dunia saat itu.
"Dan sekiranya ketika penduduk bumi itu beriman dan bertakwa, pasti akan kami limpahkan karunia dari langit dan bumi …" (QS. Al- A'raf: 96).
Selesai
Barakallahu
Pesona nusantara yaaa..
Barakallah ❤️
Rempah-rempah itu apakah cengkeh, kayumanis, pala, merica, jinten, adas, jahe, dll.
Penasaran sy rempah apa yg dibawa ke nusantara.?
Rempah, rimpangan.. ciptaan Allah Swt. yang bermanfaat bagi tubuh manusia.. alhamdulillah..
Mbak Rosmiati, aku masih bertanya2 nih... jadi apa nama tanaman surgawinya?
Lah, iya. Saya juga penasaran. Dari awal udah tak tunggu-tunggu nama tanamannya, mbak Rosmiati. Kalau dari Nusantara kayaknya gak jauh-jauh dari jahe, merica, hehe ....