Semua hanya milik Allah Swt. yang dititipkan sementara pada kita. Cepat atau lambat titipan itu akan kembali pada-Nya. Sedih saat kehilangan menjadi suatu kewajaran. Terima sepenuh hati perasaan duka kehilangan sembari belajar berproses untuk menerima dan rida atas ketetapan dari-Nya.
Oleh. Neneng Sri Wahyuningsih
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (TQS. Al-Baqarah: 156)
Beberapa hari yang lalu mendapatkan berita duka yang begitu mendalam. Bayi mungil nan suci yang berada di dalam rahim keponakanku kembali pada Rabb-nya sebelum waktunya dilahirkan.
Berat, terpukul, sedih sudahlah pasti membanjiri seluruh jiwa dan raga kedua pasangan ini. Tangisan, celoteh, dan tawa calon adik bayi yang sudah dibayangkannya akan hadir mengisi ruang rumah, pun kini telah tiada. Tentu kedua orang tuanya sudah sangat menanti kehadiran sang buah hati. Terlebih waktu persalinan pun tinggal menghitung minggu. https://narasipost.com/family/06/2022/karena-anak-adalah-titipan/
Berbagai upaya telah dilakukan agar perkembangan janin normal sebagaimana mestinya. Termasuk memberikan asupan nutrisi terbaik selama dalam kandungan. Namun, Allah punya rencana lain. Rencana yang lebih indah dan terbaik untuknya. Terlepas dari usaha yang maksimal, manusia tetaplah hanya bisa mengupayakan pada ranah yang bisa dilakukannya. Adapun yang menentukan hasil akhirnya hanyalah Allah semata.
Bercermin dari Kisah Nabi Ayub a.s.
Mendapati kabar di atas, jadi teringat kisahnya Nabi Ayub a.s. yang mendapat ujian bertubi-tubi dalam waktu yang berdekatan. Sebelumnya iblis, makhluk yang penuh kedengkian itu menghadap Allah Swt. meminta izin untuk menggoyahkan imannya Nabi Ayub a.s. Allah Swt. pun mengizinkannya.
Awalnya Nabi Ayub a.s. kehilangan harta kekayaannya. Ladang dan kebun yang begitu luas, seketika sirna dilalap si jago merah. Tak berselang lama, hewan gembalaannya juga mati serentak. Dari ujian ini iblis berharap Nabi Ayub a.s. tidak lagi beriman pada Allah Swt. Namun, harapannya sia-sia. Kehilangan harta tidak mengurangi ketaatannya pada Allah Swt. Beliau menerima ujian ini dengan sabar dan ikhlas.
Iblis pun tidak putus asa. Ia kembali mencari ide, bagaimana caranya agar makhluk yang dicintai penduduk langit ini tidak lagi percaya pada Rabb-nya. Akhirnya iblis punya rencana untuk membinasakan seluruh anaknya. Konon, dorongan semangat dari anak-anaknyalah yang membuat keimanan utusan Allah ini tetap kokoh.
Orang tua mana yang tidak terpukul jika kehilangan semua anak kesayangannya? Nabi Ayub a.s. dan istrinya juga manusia biasa, tentu sangat terpukul ketika mendengar anak-anaknya meninggal tertimpa reruntuhan bangunan. Namun, bagaimana sikap Nabi Ayub a.s.? Lagi-lagi beliau pasrahkan semuanya pada Allah Swt. Sabar dan ikhlas atas segala ketetapan dari-Nya. Meyakini bahwa segala sesuatu yang dimilikinya hanyalah pemberian dan titipan Allah Swt. Sehingga harus siap kapan pun Allah Swt. mau mengambilnya. Sempat istrinya termakan bisikan iblis bahwa Rabbyang selalu ia sembah tidak berpihak pada mereka. Padahal suaminya seorang utusan Allah Swt. selalu beribadah dan taat pada-Nya. Pelan-pelan, Nabi Ayub a.s. mencoba menasihati istrinya untuk menerima ketetapan yang Allah Swt. berikan ini. Akhirnya istrinya pun mendengarkan dan membenarkan apa yang disampaikan suaminya. Lalu memohon ampun pada Allah Swt. dan kembali yakin akan apa pun yang diberikan oleh-Nya. https://narasipost.com/motivasi/10/2021/titipan-bukan-kepunyaan-kita/
Ketaatan Nabi Ayub a.s. kepada Allah Swt. tidak berkurang sedikit pun, meski diuji dengan kehilangan harta dan anak yang dicintainya. Bahkan keimanannya semakin bertambah dan selalu yakin bahwa Allah Ar-Rahman akan memberikan yang terbaik untuknya dan keluarganya. Beliau selalu berbaik sangka terhadap segala rencananya Allah Swt. Meyakini bahwa hanya Allah Al-A'lim sebaik-baik perencana. Yakin bahwa Rabb-nya bukan sesekali atau kadang-kadang memberi yang terbaik, melainkan selalu memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Sebagaimana dalam firman-Nya,
"Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu). (tQS. Al-A’raf: 126).
Pengingat Diri
Ketika kehilangan sesuatu yang kita sayangi baik itu anak, pasangan, orang tua, sahabat, harta, jabatan, kesehatan, atau lainnya pasti akan merasa sedih. Perasaan ini suatu hal yang wajar sebagai bentuk respons dari peristiwa tersebut. Hanya saja, kita sebagai seorang muslim seharusnya memaknai atau menyikapi kehilangan ini tidak dengan terus-menerus tenggelam dalam kesedihan yang ada, tetapi sewajarnya saja menerima perasaan sedih tersebut. Lalu kita ingat kembali bahwa segala sesuatunya adalah milik Allah Swt. Semua yang kita miliki hanya titipan semata.
Seperti halnya saat kita meminjam barang misalnya buku pada perpustakaan atau teman. Tentu ketika mereka meminta untuk dikembalikan lagi bukunya, kita pun harus mau mengembalikannya karena buku tersebut hanya dititipkan sementara pada kita. Begitulah semua yang kita miliki saat ini. Semuanya hanyalah titipan-Nya, sehingga Allah Swt. berhak mengambilnya kapan pun. Saat titipan itu telah kembali, maka ucapkanlah, “Innalillaahi wa inna ilaihi rojiun”yang bermakna “Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali padaNya”.
Memang ketika peristiwa kehilangan itu menimpa diri kita, kadang terasa sulit untuk bersikap sabar dan ikhlas. Mengucapkan sabar dan ikhlas itu mudah tetapi dalam pelaksanaannya sungguh tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pun kalau misalnya ada yang bertanya bahwa wajar saja seorang nabi bisa sesabar itu, mereka kekasih Allah. Manusia pilihan Allah. Sedangkan kita 'kan bukan nabi?
Ya, posisi kita memanglah bukan nabi sehingga mungkin saja tidak sesabar para nabi. Namun, kita juga termasuk hamba-Nya. Allah bukanlah manusia yang kadang pilih kasih terhadap sesuatu. Percayalah Allah Ar-Rahman Ar-Rahimmengasihi dan menyayangi seluruh hamba-Nya yang beriman. Serahkan semuanya pada Zat Yang Menggenggam jiwa ini. Zat Yang menguasai alam semesta ini. Dalam Al-Qur'an disampaikan juga bahwa Allah Swt. tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Sehingga ini bisa menjadi pegangan kita bahwa kita mampu melewati ujian ini dengan baik. Selain itu, Allah Swt. akan menolong hamba-Nya yang beriman. Allah Swt. tidak pernah berdusta atas janji-Nya.
Jika kita renungi, ujian ini juga merupakan bentuk kasih sayang Allah Swt. pada hamba-Nya. Dia akan menaikkan derajat hamba-Nya yang mau bersabar saat ditimpa ujian. Sebagaimana Allah telah berfirman,
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. An-Nahl: 96)
Cara Mengalihkan Rasa Sedih
Lantas bagaimana agar kita tidak berlarut-larut dalam kesedihan? Coba alihkan fokusnya pada hal yang lain. Misalnya dengan cara menyibukkan diri kita dengan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat dan diridai Allah Swt. seperti membaca buku, pergi ke majelis ilmu, berkumpul dengan sahabat taat, atau melakukan hobi yang disukai. Bisa juga dengan meminta pelukan dari orang terdekat kita misalnya suami/istri, ayah, ibu, kerabat dekat, atau sahabat taat sehingga setidaknya membuat kondisi hati lebih baik. Selain itu, ada satu hal penting yang jangan sampai ditinggalkan yakni bersujud kepada-Nya untuk mengutarakan segala isi hati. Kita pasrahkan perasaan sedih ini kepada Rabb Sang Pemilik Hati. Perbanyaklah bermunajat di sepertiga malam. “Laa haula walaquwwata illabillah. Tidak ada daya dan upaya kecuali pertolongan Allah.” (HR. At-Tabrani)
Di samping itu, agar hati kita menjadi tenang, maka teruslah mengingat Allah. Melalui lirihan lafaz zikrullah yang diucapkan, rasa tenang menjalar dalam setiap doa dan harap.
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (TQS. Ar-Ra'd: 28)
Semoga rasa duka kehilangan ini mengajarkan kita bahwa semua hanya milik Allah Swt. yang dititipkan sementara pada kita. Cepat atau lambat titipan itu akan kembali pada-Nya. Termasuk perihal anak. Anak adalah titipan Allah. Haknya Allah mau menitipkan pada kita berapa lama. Tentu kita yang dititipi jangan sampai ada perasaan menyalahkan Allah Swt. ketika hendak mengambilnya. Sedih saat kehilangan menjadi suatu kewajaran. Kita pun boleh menangis atas kehilangan ini. Hanya saja tidak berlarut-larut, apalagi sampai melupakan ada hak dan kewajiban lain yang harus ditunaikan. Terima sepenuh hati perasaan duka kehilangan ini sembari belajar berproses untuk menerima dan rida atas ketetapan dari-Nya.
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.”(TQS. Ali ‘Imron: 109)
Wallahu a'lam bishawab.
Memang benar bahwa semua hanya titipan. Kita harus siap untuk mengembalikan semuanya kepada Sang Sang Pemilik Agung, jika sewaktu-waktu, Dia mengambilnya.
barakallah Teh. Tulisan yang sangat menginspirasi.
Betul mbak Neneng. Semua hanyalah titipan yang suatu hari pasti akan diambil oleh pemiliknya. Siap atau tidak dan suka atau tidak. Barakallah ...
Yups.
Waafik Barakallah Mba
Setuju, semua yang kita miliki termasuk anak adalah titipan-Nya. Namun, kita juga manusia biasa, ketika ditinggal orang yang disayang rasa sedih itu pasti ada.
Iya betul mba. Sedih boleh kok, namun tidak berlarut-larut ya dan kita serahkan semuanya pada Allah. In syaa Allah Dia-lah sebaik-baik perencana
Barakallah mbak Neng titipan hanya sementara hingga menanti bersama di Jannah kelak
Iya Mba. Aamiin semoga kembali dikumpulkan di jannahNya, tidak hanya dengan keluarga teringat tetapi juga dengan sahabat taat Narasipost media. Aamiin
bersabar, tawakkal, dan tetap bersyukur adalah pilihan terbaik.. semoga kita selalu dimudahkan menjalani ketiga hal ini..
Betul mba. Aamiin ya rabbal alamin
Betul sekali, semua yang kita punya hanya titipan Allah.
Barakallah, teh Neneng ❤️❤️
Waafik Barakallah teteh