Berharap perjalanan penuh makna ini, bisa memberi motivasi kepada siapa saja yang ingin mendapat undangan dari Allah Swt. Sebab perjalanan haji adalah ibadah sarat makna, perjalanannya penuh dengan air mata, baik suka maupun duka.
Oleh. Isty Da’iyah
(Kontributor NarasiPost.Com & Penulis buku “JejakKarya Impian”)
NarasiPost.Com-Banyak tempat pernah aku kunjungi, banyak kota aku singgahi, dan berbagai perjalanan telah aku lalui. Namun, di antara banyaknya perjalanan yang pernah aku tempuh, ada satu yang membuat hatiku tersentuh. Perjalanan spiritual mengesankan yang tidak akan pernah terlupakan. Perjalanan itu adalah ibadah haji.
Bermula dari sebuah keinginan menggenapkan rukun Islam yang kelima, aku tanamkan sebuah keyakinan di dalam dada, bahwa aku akan bisa menjalankannya. Haji, sebuah ibadah yang bukan hanya menuntut kekuatan fisik, namun juga sebuah ibadah yang memerlukan sebuah pengorbanan yang tidak ternilai. Haji adalah sebuah perjalanan yang penuh air mata. Karena haji adalah evaluasi diri dalam bacaan kehidupan. Sebuah aktivitas yang diawali dengan hamdalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah Swt.
Kami bukan golongan orang kaya raya, yang jika ingin pergi haji atau umrah tinggal mendaftar saja. Kami harus berusaha keras mewujudkannya, karena ini adalah salah satu cita-cita dan impian kami sejak awal berumah tangga. Tidak jarang kami sering menahan air mata, tatkala melihat bus rombongan jemaah haji lewat di depan kami. Pikiran dan angan kami selalu membayangkan kapan kami akan berada dalam salah satu bus yang akan pergi ke bandara, dalam rangka menjalankan ibadah yang mulia.https://narasipost.com/syiar/06/2021/pelayanan-ibadah-haji-sepenuh-hati/
Usaha dan doa tak pernah berhenti hanya di angan saja, karena dari waktu ke waktu kerinduan ke Tanah Suci makin kuat tertanam dalam sanubari. Sampai pada akhirnya, Allah kabulkan doa-doa kami. Dua tahun setelah kelahiran putra keempat kami, ada sebuah surat panggilan dari Departemen Agama yang mengabarkan bahwa kami tercatat sebagai calon jemaah haji yang akan berangkat pada tahun 2015. Syukur tiada terkira, akhirnya Allah memanggil kami berdua ke rumah-Nya. Setelah lima tahun menunggu, kesempatan itu akhirnya datang juga.
Kupenuhi Undangan-Mu
”Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan sebagian lagi berikanlah untuk orang-orang yang sengsara lagi fakir." (Al-Hajj 27-28)
Perjalanan haji bagi kami adalah murni karena undangan dari Allah semata. Di tengah keadaan kami yang sedang tidak baik-baik saja, Allah berikan undangan itu kepada kami berdua. Oleh karenanya diriku ingin membagikan kisah ini kepada siapa saja, berharap perjalanan penuh makna ini, bisa memberi motivasi kepada siapa saja yang ingin mendapat undangan dari Allah Swt. Sebab perjalanan haji adalah ibadah sarat makna, perjalanannya penuh dengan air mata, baik suka maupun duka.
Tidak terbantahkan jika haji adalah rukun Islam kelima. Namun, ibadah haji dan umrah adalah undangan Allah Swt. Banyak yang beranggapan jika haji itu bagi yang punya uang, jabatan, punya koneksi. Padahal jika Allah tidak mengundangnya maka ia tidak akan pernah pergi haji. Sebaliknya kalau Allah sudah mengundang, orang biasa yang bukan siapa-siapa Allah mampukan.
Pun dengan kami, ketika menjalankan ibadah haji, kami berangkat dengan bekal seadanya. Karena menjelang keberangkatan kami ke Tanah Suci, keadaan ekonomi kami sedang diuji. Suami terpaksa harus keluar dari pekerjaannya, karena satu hal yang menurut kami tidak masuk akal. Namun, inilah kenyataan yang harus kami hadapi. Dalam keadaan suami yang sedang menjadi pengangguran, kami menjalani manasik haji. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hati, sebuah pertanyaan yang sering menyelinap dalam sanubari kami. Mampukah kami untuk melunasi kekurangan biaya haji? Apakah yang harus aku tinggalkan untuk anak-anak kami ketika kami pergi? Berat saat itu bagi kami. Ekonomi kami serasa jatuh di titik terendah. Namun, dengan keyakinan bahwa Allah akan mampukan, kami saling meyakinkan, untuk melawan keraguan yang diembuskan oleh setan.https://narasipost.com/opini/06/2021/beginilah-cara-islam-mengatur-pelaksanaan-ibadah-haji/
Ternyata Allah mudahkan semua prosesnya. Meskipun terkadang antara rasa bahagia, dan perihnya derita berkelindan dalam jiwa. Namun, inilah ujian, Allah ingin memberikan hadiah terindah kepada kami. Kita kembali meluruskan niat. Sebab, seorang tamu akan mendapatkan apa yang dia cari. Seseorang akan mendapatkan apa yang diminta kepada Allah Swt. Semakin kita berprasangka baik kepada Allah Swt. maka hadiah yang diberikan makin besar. Dan tidak ada hadiah terbaik kecuali ampunan dari Allah Swt. Yakni ketika kita menjadi haji mabrur.
Jika rata-rata orang yang akan pergi haji mengadakan tasyakuran walimatus safar, ini tidak berlaku bagi kami. Karena keterbatasan dana, kami memutuskan tidak menyelenggarakan acara pelepasan haji atau yang biasa disebut sebagai walimatus safar. Seminggu menjelang keberangkatan, kami memulai pamit dan meminta maaf kepada tetangga, dan teman-teman dengan caraku sendiri. Aku berkeliling dari pintu ke pintu menyalami para tetangga. Menitipkan anak-anak kepada mereka, bagaimanapun mereka adalah orang terdekat dengan kami. Meskipun selama kami safar nanti ada ibu dan adik yang menjaga keempat anak-anak kami.
Dan pada akhirnya di pagi sebelum subuh, kami bersiap untuk berangkat ke titik kumpul “KBIH Nurul Hayat”. Kami diantar oleh beberapa teman dan kerabat dekat saja, termasuk anak-anak kami, kecuali si kecil yang masih tertidur. Setelah melalui proses doa dan sambutan pelepasan jemaah oleh KBIH, kami dipersilakan untuk sekali lagi bertemu dengan keluarga kami. Suasana haru menyelimuti prosesi pelepasan dan perpisahan ini. Tangis haru dan bahagia terdengar dari segala arah. Apalagi dalam prosesi doa dan pelepasan jemaah haji KBIH Nurul Hayat mengundang anak-anak yatim untuk ikut mendoakan kami. Mereka mengiringi kami di sepanjang jalan dengan doa tulus mereka. Lambaian tangan mereka membuat pipi kami dibanjiri air mata. Mereka berbaris rapi di pinggir jalan dengan membawa spanduk sambil melantunkan doa untuk kami semua.
Tidak bisa kumungkiri di tengah suasana haru dan bahagia ada perasaan sedih seketika menggerayangi leherku, dadaku, dan akhirnya air mata keluar dari sudut mataku. Seandainyadiriku tidak akan kembali ke kota tempatku membesarkan dan mendidik anak-anak, menjalani suka dan duka bersama mereka dengan lautan garam perih kehidupan. “Ya Allah, ikhlaskanlah, ikhlaskanlah hati ini, hingga segala sesuatu menjadi ringan, menjadi tidak esensi lagi selain berhaji dan rida-Mu.”
“Selamat tinggal para tetangga, selamat tinggal handai tolan, kumohon maaf atas segala dosa dan khilaf,” gumamku dalam hati. Seketika dadaku dibalut oleh kebahagiaan, membayangkan janji Allah, tentang keutamaan ibadah haji, tentang dosa yang terampuni, bahkan tentang keutamaan mati di Tanah Suci, maka pahalanya adalah syahid. Allahu Akbar!
Bismillah, akhirnya dengan kalimat alhamdulillah kami memulai perjalanan yang kami impikan. Perjalanan yang tidak akan pernah kami lupakan.
Madinah dan Masjid Nabawi
Labbaikallahumma labbaika. Labbaika laasyariikalakalabbaika, innal hamda wanni’mata laka wal mulka laasyariika laka...
Aku sambut panggilan-Mu, ya Allah! Aku sambut panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat, serta kerajaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu...
Di atas suhu 45 derajat celsius, pesawat Saudi Airlines mendarat di Madinah dengan selamat. Rombongan kami ditempatkan di hotel yang tidak jauh dari Masjid Nabawi. Setelah dibagi kunci kamar hotel, kami segera membersihkan diri dan hendak bersiap untuk salat zuhur di Masjid Nabawi.
Ketika telah kelihatan di depan mataku bangunan masjid terindah yang pernah kulihat, dadaku bergemuruh oleh rindu yang membuncah, kerinduan pada Rasulullah. Di sana, di dalam Masjid Nabawi junjungan kami, Nabi Muhammad saw., pembawa risalah-Nya bersemayam bersama sahabatnya. Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan.
Tumpah ruah sudah air mataku, rasanya bagai mimpi saat menyadari jari jemariku dapat menyentuh tiang di dalam Masjid Nabawi. Sambil menanti zuhur tiba, lantunan doa terucap di tengah derai air mata. Waktu serasa bergerak cepat, jika tidak diingatkan oleh jemaah yang lain niscaya tak ingin diriku beranjak dari tempatku bersimpuh. Menikmati aura yang terpancar dari sekitar masjid Nabiyullah. Aura yang sangat nikmat tak terperih. Tidak mampu dijabarkan dengan lautan kata, kenikmatan yang mampu menggugurkan seluruh rasa sakit hati, jiwa, dan raga sehingga menambah kekuatan takwa dan keimanan di dada.
Pun ketika Allah mudahkan diriku selama di Madinah untuk bisa berkali-kali mengunjungi raudhah. Taman surga di mana Rasullullah dan ketiga sahabatnya disemayamkan. Yang jelas meskipun penuh perjuangan dan kesabaran untuk menunggu antrean yang panjang, namun semua itu tidak ada artinya ketika aku bisa bersimpuh di dekat makam manusia yang paling aku cintai yakni Nabi Muhammad saw.
Begitu sunyi kurasa saat ini, detik demi detiknya serasa sangat bermakna. Hening serasa keseluruhan batin dan jiwaku. Terbayang bagaimana Nabi Muhammad saw. dengan para sahabat dalam memperjuangkan panji Islam pada zamannya, dan di sinilah, saat ini, diriku yang papa ini dapat berdiri di depan pusara junjunganku dan tiga sahabatnya. Berkat Rasulullah inilah, diriku mengenal jalan lurus, jalan kebenaran, jalan perjuangan Islam. “Oh..., duhai Nabiku...., duhai Rasulullah..., duhai Habibullah,” bergetar jiwa berada dalam raudhah-mu. Dengan penuh deraian air mata kutunaikan salat dua rakaat. Sembari mengucap selawat dan doa di dekat pusara Rasulullah saw.
Selama sepuluh hari rombongan kami berada di Madinah, banyak kegiatan yang kami lakukan. Selain menjalani salat wajib di Masjid Nabawi dan ke raudhah, di luar kegiatan itu kami juga melakukan banyak hal. Di antaranya kita tapak tilas perjuangan Nabi Muhammad ketika pertama mendirikan daulah Islam di Madinah. Kami mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Madinah dan sekitarnya. Di mulai dari salat duha di Masjid Kuba, masjid pertama yang didirikan oleh umat Islam di Madinah, hingga mengunjungi tempat bersejarah lainnya. Sebuah perjalanan yang membuat keimanan kami makin bertambah.
Hingga saatnya kami harus bertolak ke Makkah untuk melakukan ibadah umrah wajib, sebagai syarat sahnya haji kami. Mengambil miqat di Masjid Bir Ali, kami memulai ritual ibadah umrah kami. Dilanjutkan dengan perjalanan ke Makkah dengan menggunakan armada bus yang telah disediakan.
Akan ikhwalnya diriku, mulai awal masuk dalam bus yang akan mengantar kami menuju Makkah, seketika hatiku diterjang badai kepedihan yang serasa tak tertahankan, menghajar telak sekujur tubuhku, jiwaku, dan batinku. Aku merasa lemas, merasa nestapa menyadari bahwa diriku harus meninggalkan kota Nabiyullah. Aku meratap tangis dalam dada yang serasa nyeri, karena meninggalkan kota ini.
Bacaan talbiah, tahmid, tahlil kami lantunkan dengan khusyuk. Meskipun di tengah perjalanan kami dihadang badai pasir yang sangat dahsyat, kepasrahan kami semakin meningkat. Namun, ketika ingat perjalanan Rasulullah di zamannya, perjalanan ini tidaklah ada apa-apanya.
Perjalanan yang indah di Madinah tidak akan bisa dituliskan hanya dengan satu episode saja. Perlu satu buku untuk bisa menggambarkan bagaimana kisahku di Madinah dan Makkah. Semoga tulisan ini bisa menjadi pembuka untuk menuliskan kisahku di Tanah Suci menjadi sebuah buku solo.
Haji Mabrur Harapan yang Tak Luntur
Singkat cerita, meskipun di tengah perjalanan ke Makkah kendaraan kami sempat dihantam badai pasir, namun semuanya berjalan lancar. Perjalanan yang panjang selama kurang lebih 12 jam dengan berpakaian ihram memang menuntut kesabaran yang lebih. Pada akhirnya kami sampai di Makkah. Doa pun didegungkan. ” Ya Allah kota ini adalah tanah haram-Mu, dan tempat ini adalah tempat aman-Mu, maka hindarkan daging, darah, rambut, dan kulitku dari neraka. Dan selamatkan diriku dari siksa-Mu, pada hari Engkau membangkitkan kembali hamba-Mu, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang selalu dekat dan taat kepada-Mu. Aamiin.”
Setelah menaruh barang kami di hotel, dan menyelesaikan hajat kami, termasuk mengisi perut, kami bergegas untuk menuju Masjidil Haram untuk tawaf dan sai. Meskipun lelah luar biasa, ternyata daya magis Masjidil Haram sangat memengaruhi jiwa para jemaah. Kami bergerak memasuki Masjidil Haram. Doa memasuki Masjidil Haram juga dilantunkan. Rombongan kami melakukan tawaf dengan lancar. Sepanjang mengelilingi Ka’bah, air mata syukur mengucur deras. Terlebih ketika kami bisa menyentuh dinding Ka’bah. Segala rasa membuncah dalam dada. Memutari Ka’bah sebanyak tujuh putaran serasa ringan kurasakan. Dilanjut dengan salat sunah dua rakaat di Maqom Ibrahimdan Hijir Ismail. Berderai air mata ini setelahnya. Kemudian kami melanjutkan rangkaian ibadah ini dengan sai. Inilah simbol perjuangan seorang ibu. Siti Hajar yang berlari-lari mencari air untuk bayinya, sebuah ibadah yang menuntut fisik yang prima. Dan akhirnya setelah tawaf dan sai selesai, kami melakukan tahalul atau memotong rambut, sebagai ritual akhir dari umrah wajib yang kami lakukan untuk ibadah haji.
Setelah menunggu beberapa hari di Makkah, akhirnya hari yang ditunggu tiba. Kami bersiap untuk melakukan prosesi haji yang sesungguhnya. Karena sesungguhnya rukun-rukun haji terdiri dari: ihram, wukuf, tawaf ifadah, sai, tahalul (bercukur), dan tertib. Inilah rangkaian kegiatan yang harus dilakukan.
Tepat tanggal 8 Zulhijah, kendaraan kami bergerak meninggalkan Makkah menuju Mina lanjut ke Arafah, tempat jemaah melakukan wukuf. Pada tanggal 9 Zulhijah lautan manusia berbaju ihram yang rata-rata serba putih memenuhi Arafah. Sebagaimana Rasulullah saw. pernah bersabda: ”Haji adalah wukuf di Arafah.”
Di hadapan para malaikat, nabi pun bersabda: ”Tidak ada hari di mana Allah memerdekakan hamba-hamba-Nya dari neraka selain hari Arafah. Allah sesungguhnya mendekati mereka dan membanggakan mereka kepada para malaikat seraya berkata: Apa saja yang mereka inginkan Aku kabulkan.” (HR.At-Turmudzi).
Sepanjang hari di Arafah, kami lebih banyak di tenda. Melakukan muhasabah dan memohon ampunan atas segala dosa kepada Allah Yang Maha Kuasa. Mendoakan anak-anak kami dan keluarga serta tidak lupa doa untuk semua handai tolan. Tidak lupa kami berdoa agar Allah segera memenangkan umat Islam dari segala keterpurukan, dengan tagaknya khilafah ‘ala minhajnubuwah. Kegiatan kami selain berdoa dan berzikir adalah mendengarkan ceramah. Tepat tengah hari, kami mendirikan salat zuhur dan asar dijamak qasar secara berjemaah. Salat magrib dan isya juga dijamak takdim dan diqasar, yang akhirnya selepas isya, kami mulai bergerak ke Musdalifah. Jemaah haji bermalam di Musdalifah, tempat yang disebut miniatur padang mahsyar.
Ritual haji selanjutnya, yakni menuju Mina, dan lempar jumrah yang dilanjut dengan tahalul, juga berjalan lancar. Sampai ritual selesai kami berserta rombongan kembali ke Makkah untuk melakukan tawaf ifadah dan sai.
Lega dan bahagia ketika prosesi ibadah haji telah selesai. Dan harapan untuk menjadi haji mabrur tidak akan pernah luntur. Karena tiada balasan yang lebih baik bagi haji mabrur selain surga. Masyaallah.
Ini hanya sedikit dari kisah perjalanan haji yang berkesan bagiku. Sebenarnya banyak cerita yang belum bisa aku tuliskan di sini. Karena keterbatasan jumlah kata yang menjadi kriteria. Semoga saya bisa merealisasikan true storyperjalanan yang mengesankan ini menjadi satu buku. Karena masih banyak kisah penuh hikmah dalam perjalanan haji ini.
Ada cerita tentang keseruan aktivitas keseharian kami di Tanah Suci, yang semuanya masih terangkai indah dalam sanubari. Ada kisah mengharu biru tentang kaos kaki saya yang diminta oleh saudari kita dari negeri Mali. Ada lagi kisah ikan seharga dua real untuk orang Afganistan. Semoga semua kisah ini bisa aku bagikan dalam media kesayangan kita ini.[]
Wallahu’alam bishawwab.
Ya Allah, bikin mupeng. Perjalanan yang sangat kita semua rindukan. Semoga Allah mampukan kita untuk menjadi tamu-Nya.
MasyaAllah, ketika Allah sudah mengundang untuk bisa melaksanakan ibadah haji, pasti Allah akan memudahkan semua urusannya. Semoga Allah memberikan kesempatan untuk orang tua alfakir dan keluarga mendapatkan undangan ke Baitullah. Amin
Membaca true story mbak Isty seakan ikut merasakan bagaimana perjuangan melaksanakan ibadah haji dan rindunya ke makam Rasulullah dan sahabatnya dan rangkaian ibadah lainnya. Bararakallah..
Aamiin
betul, panggilan haji/umroh tidak menunggu harus kaya tapi dimampukan, terbukti pengalaman saya, yang terpenting mohon doa dan sesudahnya menjadi istikamah di jalan yang Allah tunjukkan.
Habis baca ini jd ingat saat sy pergi haji th 2004 masih belum se nyaman sekarang ini, dulu hotel sangat jauh dari masjidil haram, klo kemasjid berjalan ber kilo kilo, kadang di masjid mulai subuh sampe isyak tdk pulang ,
Skrg fasilitas enak hotel dekat rasanya pingin berangkat lagi klo dengar orang pergi haji netes air mata ini.
MasyaAllah. Barakallah b. Anita
Inspiring others
Semoga berkah
Aamiin
Masyaa Allah, semoga yang belum juga akan diundang Allah ke Baitullah.
Aamiin
MasyaAllah, alhamdulillah, sedikit kisah yang masih terukir indah, semoga bisa juga menjadi penyemangat. Karena bukan yang kaya saya yang bisa haji. Jazakillah media kesayanganku .....telah menayangkan kisahku.
Masyaallah, baca kisahnya kok gimana gitu. Beda aja ketika hanya nonton berita tentang ibada haji. Pasti bahagia ya, mbak Isty, sudah menjejakkan kaki di tanah suci yang dirindukan oleh semua muslim. Barakallah ...
Aamiin, semoga mbak Sartinah juga segera diundang Allah untuk haji
MasyaAllah.. semoga Ibuku juga diundang oleh Nya.. ketika melihat orang thawaf melalui layar, beliau selalu meneteskan air mata, ingin berkunjung ke sana..
Benar banget mba. Allah memampukan yang di panggil. Suami saya pun dulu hanya ingin ke tanah suci. Namun dengan keterbatasan ekonomi, rasanya itu bagai mimpi. Namun saat pandemi, suami di daftarkan umroh dari tempat kerja. Meski tertunda setahun. Namun akhirnya Ramadhan 2022 berangkat umroh. Saya jelas agak berat dan menangis ditinggalkan bersama 2 anak yang masih kecil. Namun namanya sudah dipanggil, hambatan apapun pasti bisa dilalui. Karena Allah akan memampukan yang DIA panggil.
Betul bunda, Allah mengundang dan yang memampukan
Habis baca ini, jadi beneran rindu baitullah, sampaikan ya Allah