“Jimat pemberian dukun tersebut membuat saya jadi kehilangan diri. Setan menjadi teman saya dan ia membisikkan kejahatan di hati saya.” ungkap Nooran memandang langit-langit ruangan.
Oleh. Endang Wardani
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Lorong-lorong sepi dan dingin. Nyamuk dan lalat beterbangan. Sunyi lengang ditelan waktu yang terus berdetak. Sesosok wanita berambut panjang acak-acakan duduk meringkuk dalam ruangan berpagar besi yang kokoh. Tatapannya layu membentur tembok-tembok berlumut di sekitarnya.
Air matanya menetes perlahan membasahi wajah kumalnya yang meredup oleh keputusasaan. Ia tergugu dalam tangisan kecilnya. Seberkas cahaya masuk melalui ventilasi kecil di dinding bagian atas membuat pandangannya silau, namun wanita kurus tersebut tak bergeming dari tempatnya.
Suara depak langkah sepatu membangunkan lamunan gadis tersebut. Seorang opsir wanita dan seorang wanita muda berkerudung putih datang di depan selnya yang berplakat A343.
“Sejak tinggal di sini, Nona Nooran tidak pernah mau ke mana-mana kecuali untuk mandi. Sekarang pun teman-temannya sibuk di majelis ilmu, dia malah sendirian di sini.” ucap Opsir berseragam tersebut.
“Noor ... Nooran ...” panggil gadis berkerudung tersebut dengan lirih kepada wanita dalam penjara tersebut.
Gadis bernama Nooran itu menatap tajam ke arah wanita berkerudung tersebut. Air matanya seketika berhenti berderai.
“Noor ... saya akan bebaskan kamu ...”
“Tidak usah!” bentak Nooran kesal. “Bagiku, penjara bau ini lebih terasa damai daripada harus kembali ke kehidupanku yang mengenaskan.” tambahnya.
“Noor, jangan begitu!” gadis bertudung bernama Ika tersebut tiba-tiba sesenggukan menangis mendengar penuturan temannya. Sedih pilu teramat hatinya apalagi ia tahu kehidupan sedih gadis malang tersebut. Dan apa yang kini menimpa Nooran tak luput dari keterlibatan dirinya juga.
Gulungan memori masa silam terputar kembali di hadapan mereka.
...
Di sebuah kompleks perumahan padat penduduk. Suatu pagi yang cerah di bulan Juni. Sumur-sumur kering dan dedaunan berguguran memenuhi halaman rumah. Anak-anak kecil berseragam putih merah bergerombolan berlari melintasi jalanan lorong yang sempit. Beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak sibuk menimba air di sumur umum. Dengan memakai ember besar mereka mengangkutnya ke rumah masing-masing dengan susah payah.
Sementara itu di rumah Nooran yang sempit dan kotor,
“Sudah jam berapa? ‘Dah telat?” tanya emak yang sibuk mencuci piring
“Iya Mak, Nooran belum sarapan juga.” ucap gadis berkerudung tersebut.
“Di atas meja ‘kan ada ubi rebus, kenapa gak dimakan dari tadi?!” bentak wanita tua tersebut.
“Noor sering makan itu jadi kembung Mak.” balas Nooran menunduk.
“Sekarang kamu hidup susah dulu, makan seadanya. Kalau Noor ‘dah masuk Al Umm, jadi kaya, kawin sama konglomerat , baru kamu makan enak.” ucap Emak lagi.
Nooran pergi memakai seragam putih abu-abu dan sepatu tali lusuh yang telah memudar warnanya. Direnggutnya sepotong ubi kayu masak yang berada di atas meja makan dan memakannya penuh terburu-buru. Sebelum keluar rumah, ia menengok ke arah kamar orang tuanya di mana ayahnya sedang tertidur lelap tanpa memakai sarung. Sandal jepit dan jaket kulit ayahnya berhamburan di lantai. Beberapa puntung rokok tergeletak mengotori pemandangan.
“Ayah , sudah makan?” tanya Nooran seraya mendekat dengan pandang penuh iba. Bau arak menyeruak dari mulut lelaki tua bercambang lebat tersebut.
Nooran mengambil sarung di lemari dan menyelimuti ayahnya dengan itu. Tak terasa matanya berkaca-kaca.
“Noor! Belum berangkat?!” tegur Emak yang tiba-tiba telah hadir di dekat pintu kamar.
“Noor selimuti ayah, Mak. Apa ayah sudah makan?”
“Gak usah diurusi ini lelaki! Sudah tua, nggak kerja, kerjanya mabuk terus di luar. Pulang cuma numpang makan sama tidur!” ucap Ibu menggerutu dengan lantangnya membuat pria di ranjang tersebut terbangun.
“Oalah berisik! Aku mau tidur!” bentak ayah sembari melempar bantal guling ke arah emak.
Seketika emak meradang dilempari bantal seperti itu, emosinya meledak dan wajahnya seketika memerah murka.
“Heh, Mas! Kalau bukan karena Noor, sudah tak buang kamu! Dasar lelaki nggak bertanggung jawab! Kalau Noor sudah masuk Universitas Al Umm, tak tinggal kamu biar kami hidup bahagia di rumah baru pemberian Al Umm!” ungkap Emak berapi api.
Nooran sedih melihat kehidupannya. Mengapa ayah menjadi pemabuk dan malas bekerja? Mengapa emak selalu marah-marah dan selalu terobsesi dirinya bisa masuk Universitas Al Umm? Selalu itu yang menjadi pertanyaan di benak gadis tersebut.
Ayah tak bergeming meski emak memaki-makinya sedari tadi. Pria tersebut malah mendengkur dalam lelapnya. Nooran pamit ke sekolah dengan genangan air mata yang ditahannya sejak tadi.
Dari kejauhan, Nooran masih mendengar teriakan-teriakan emaknya yang membuat tetangga sekitar mendelik ke arah rumahnya. Orang-orang di jalan memandang sinis ke arah gadis berhijab putih tersebut sambil berbisik-bisik penuh arti. Ada yang tampak kasihan, namun kebanyakan malah menertawakan secara sembunyi-sembunyi.
Berhari hari pun terlewati dalam sendu yang tetap terasa sama dan menyesakkan dada. Air mata adalah kawan sehari-hari gadis muda tersebut. Tiada yang pernah bertanya bagaimana perasaan hatinya, orang di sekelilingnya hanya mau ia menjadi seperti ini dan itu.
Bulan ujian harian sekolah pun tiba, seperti biasa dan selalu setiap hari, Nooran senantiasa mendapat nilai ujian tertinggi di sekolah dan semua teman-teman serta guru-gurunya kagum pada kecerdasannya. Meski banyak orang mendekat untuk menjadi kawannya, sejatinya Nooran tak memiliki sahabat terlebih karena ia miskin. Jika bukan karena ia pandai, mana ada kawan-kawannya yang mau mendekat. Terdengar aneh tapi dalam kenyataan dunia memang begitu.
Hari itu, tepat saat jam istirahat sekolah berlangsung. Anak-anak di SMA Negeri 107 sibuk menghabiskan masa rehat tersebut untuk makan di kantin ataupun bercengkerama di bawah pohon rindang. Nooran tak pernah membawa uang saku dan lebih sering ia bersembunyi membaca buku menjauhi keramaian. Kali ini Nooran pergi ke area musala sekolah yang jarang dikunjungi anak-anak. Di depan terasnya yang ditumbuhi banyak pohon jambu, Nooran sibuk membaca buku pelajarannya. Kemudian matanya tak sengaja melihat ke arah seorang pemuda yang sedang salat sendirian di dalam musala. Dari balik kaca jendela musala yang bening, Nooran tersenyum tipis memandangi siluet pemuda itu yang khusyuk dengan ibadahnya.
Serasa ada angin segar menghampiri wajahnya. Singgah menyejukkan kehidupan Nooran yang penuh hawa panas. Pemuda dari balik kaca itu ialah Bagyo, ketua remaja mesjid sekolah yang santun dan alim. Tak ada wanita di sekolah yang tak mau dengan pemuda berparas tampan khas Melayu tersebut, termasuk dirinya.
Melihat senyum pria itu, Nooran tak kuasa berkata-kata. Hatinya penuh dengan perasaan hangat yang indah. Nooran seketika jadi bersemangat untuk kuliah di Universitas Al Umm. Sebab Bagyo pun ingin sekolah di Al Umm meski lewat jalur mandiri. Ia bisa tetap bersama-sama dengan Bagyo dan mungkin bisa semakin dekat.
Namun, seketika pikirannya jadi kalut, Universitas tersebut sangat populer hingga menerapkan standar tinggi pada para calon penerima beasiswanya. Dari tiap sekolah menengah atas yang ada di kota tersebut, hanya satu saja yang terpilih tiap sekolah. Dan emaknya begitu berambisi ia masuk di sana. Karena tak hanya dapat beasiswa, penerimanya pun berhak dapat rumah tinggal gratis selama kuliah dan jika mereka lulus cumlaude dan mengabdikan diri di Al Umm, rumah tersebut bisa jadi hak selamanya. Selama ini Nooran dan orang tuanya tinggal di kontrakan kumuh dengan harga sewa yang mahal, tentu saja orang tuanya terutama emaknya sangat ingin ia lulus di Al Umm. Dan beban besar itu sekarang menumpuk memberatkan punggung kecilnya yang kurus.
Maka, mulailah Nooran belajar lebih keras dari biasanya. Ia harus mendapatkan nilai sempurna di semua ulangan harian dan ujian penamatan kali ini. Tidurnya pun jadi terganggu, lebih sering ia malah ketiduran saat jam istirahat. Tubuhnya pun makin kurus karena asupan makanannya pun ia batasi. Nooran tak pernah lagi keluar untuk bergaul dengan siapa pun, ia begitu fokus mempersiapkan dirinya menempuh ujian sekolah yang tak lama lagi akan tiba. Hal ini perlahan membuat kesehatannya menurun, jika tubuhnya sedang dilanda hawa panas berlebihan, hidungnya sering mengeluarkan darah. Ia sering terserang flu dan batuk, namun ia tak pernah absen ke sekolah. Hingga di suatu hari betapa terkejutnya ia mendapati nilai ujian hariannya menurun pada beberapa mata pelajaran. Padahal nilainya masih bagus, 80 dan 90 bukan 100 seperti biasanya. Namun hal ini membuat Nooran depresi terutama emaknya yang takut nilai tersebut berpengaruh pada kelulusan Nooran di Al Umm.
“Pokoknya Mak mau kamu selalu dapat nilai 100 biar kita bisa diterima di Al Umm, Nak. Kita bisa dapat rumah, pindah dari tempat hina ini.” ucap emaknya menasihati dengan lantang.
“Noor sudah berusaha Mak, Noor juga capek, Mak ” balas Nooran lirih berusaha menahan kepedihan hatinya yang tak seorang pun paham.
“Emak lebih capek!” gertak wanita berdaster tersebut dengan tatapan sinisnya. “18 tahun Mak ngurus kamu, Mak kerja tiap hari banting tulang buat kamu . Ayahmu ada tapi kayak orang mati. Dan sekarang tinggal tugas kamu, Noor. Kamu cuma perlu lulus Al Umm. Kita dapat rumah dan setelah itu selesai, kamu bisa santai.” emak selalu tak pernah bisa dikalahkan.
Nooran pasrah, kehidupan seakan tak pernah berpihak padanya. Emaknya pun sampai nekat datang ke dukun meminta jimat kesehatan dan kesuksesan untuk anaknya. Meski dengan harga mahal, benda jimat itu pun berhasil emak dapatkan. Nooran pun terpaksa memakainya, hatinya masih ragu antara boleh dan tidaknya memakai jimat tersebut. Karena emaknya membeli itu dari seorang ustaz berpeci.
Nooran merasakan keanehan sejak memakai jimat itu, ia jadi lebih bertenaga dan bugar. Namun di satu sisi perlahan keimanannya mulai rontok, ia sudah jarang salat dan berzikir dan terkadang ia sudah tak malu lagi keluar rumah tanpa kerudung membalut kepalanya. Namun, gadis tersebut seakan tersihir dan tak menyadari keadaan jeleknya tersebut. Ia hanya fokus pada ujiannya.
Menjelang ujian penamatan di sekolah tiba, beredar gosip soal kedekatan Bagyo dengan salah satu teman Nooran yaitu Ika. Ika adalah gadis cantik berkerudung panjang yang juga cerdas dan merupakan saingan terberat Nooran di sekolah dan juga saingan terberat untuk masuk Al Umm. Hati Nooran tak karuan mendengar berita panas tersebut, Bagyo adalah pangerannya dan tak seorang pun boleh merebutnya dari Nooran.
Ujian penamatan pun tiba. Anak-anak SMA Negeri 107 pun menjalani masa ujian selama seminggu tersebut dengan antusias. Nooran dan Ika pun demikian. Pihak sekolah bahkan menjagokan mereka berdua untuk masuk Al Umm. Namun pada kenyataannya hanya 1 yang akan terpilih.
Hati Nooran bukan lagi hati yang polos dan indah seperti dahulu. Tempaan kehidupan dan jimat sakti tersebut telah mengubah dirinya menjadi pribadi yang berbeda. Entah sejak kapan Nooran pandai menyogok orang. Dengan bantuan uang emaknya, Nooran menyogok seorang staf di kantor Dinas Pendidikan di kotanya untuk mendapatkan bocoran soal-soal ujian dan bocoran soal nilainya dari pusat. Dan alangkah terkejutnya Nooran mengetahui bahwa nilainya dan nilai ujian Ika adalah seri alias sama.
“Ini nggak boleh terjadi!” gumam hatinya menahan luapan kekesalan.
Nooran pun berpikir keras untuk menyelesaikan masalahnya itu. Ia sudah melangkah sejauh ini dan datang seorang penghalang. Ini sungguh menyebalkan.
Hari itu Nooran datang ke musala sekolah, berharap bertemu Bagyo. Sudah lama sekali ia tak menemui pemuda tersebut karena kesibukannya ujian. Tampak di teras musala, Bagyo dan Ika serta beberapa kawan Ika yang lainnya tengah asyik mengobrol. Nooran tak jadi mendekat, ia hanya bersembunyi di balik pepohonan rimbun.
“Semangat ya ujiannya, Dik Ika.” Ucap Bagyo malu-malu seraya menunduk tersenyum.
“Ciee !” sorak kawan-kawan Ika berbarengan sambil tertawa riuh.
“Insyaallah, Kak. Makasih.” Ika membalas dengan tertunduk tersipu malu juga
“Kapan dihalalin nih, Kak Bagyo! Jangan kelamaan entar diambil orang loh!” tanya teman-teman Ika dengan lantang sembari menyikut lengan gadis cantik di sampingnya.
“Apa sih, malu tau!” kata Ika dengan lirih dan perasaan malu yang campur aduk di mimik wajahnya.
Bagyo tersenyum manis melihat ke arah Ika sesekali. Remuk rasanya hati Nooran melihat ini semua, jiwanya seakan terbang jauh entah ke mana.
“Lulus sekolah bisa dong!” tanya mereka antusias.
“Insyaallah lebih cepat lebih baik ‘kan ” balas Bagyo.
“Aamiin” serentak kawan-kawan Ika mengucapkan itu dengan semangatnya. Rona bahagia menyelimuti wajah-wajah mereka semua.
Tapi tidak untuk hati Nooran. Air matanya berlinang perlahan lalu jatuh membasahi wajah putih pucatnya. Mengapa Ika yang merebut Bagyo? Mengapa bukan Nooran yang dipilih Bagyo? Setelah tersaingi secara akademis, kini Ika pun turut menyaingi Nooran dalam hal percintaannya.
Sekelebat pemikiran muncul mendarat di otak gadis tersebut, Nooran menghentikan tangisnya. Menghapus air matanya dan berusaha tersenyum dalam rapuhnya. Ia merogoh jimat dalam saku bajunya, dipandangnya jimat itu agak lama lalu ia pun berlalu.
Beberapa hari kemudian, ujian sekolah telah berlalu. Anak-anak sekolah menikmati masa liburannya. Nooran dan kawan-kawan satu kelasnya termasuk Ika mengadakan acara nonton bioskop bersama di salah satu teater di kota mereka. Saat film tengah diputar, Nooran ingin ke kamar kecil dan meminta Ika untuk menemaninya. Ika pun menyanggupi dan mereka berdua pun bersama-sama masuk ke kamar kecil yang terletak jauh di ujung ruangan gedung.
“Ika, saya dengar kamu mau taaruf dengan Bagyo. Kalian serius mau nikah?” tanya Nooran yang tengah mencuci tangannya di wastafel selepas dari buang hajat.
“Hmm ... Insyaallah.” Balas Ika tersipu malu.
“Oh iya selamat, ya.” ucap Nooran datar. Lalu gadis itu mengeluarkan botol minuman dari dalam tasnya. Sebuah minuman jus jeruk.
“Hmm aneh banget rasanya.” Nooran meneguk air botolnya dengan muka kecut keheranan.
“Loh kenapa Noor? Udah expired kali.” Ungkap Ika cemas
“Coba aja. Entah lidah aku yang lain mungkin” Nooran menyodorkan botol tersebut pada Ika.
Ika pun meminum seteguk air di botol tersebut.
“Hmm enak gini kok!” celetuknya tersenyum.
“Oh gitu, berarti lidah aku lagi sensitif ini. Hmm ,kalau enak habisin aja.” Balas Nooran seraya memandang cermin besar di depan wastafel dan merapikan hijabnya.
Ika mengangguk, rasa jus jeruk yang segar mengalir di tenggorokannya mengobati haus dahaganya sejak tadi karena sibuk melihat layar film.
Pandangan mata Nooran tiba-tiba menusuk. Dilihatnya pantulan wajah Ika di cermin dengan tatapan penuh benci. Lalu kemudian, wajah kusutnya berubah menjadi senyum menyeringai.
Tiba-tiba botol tersebut tumpah ke lantai, isinya berhamburan keluar termasuk seikat benda kecil yang terbungkus kain putih. Ika terkejut dan menatap was-was ke arah Nooran.
“Kamu kasih apa ke minuman itu?!”
“Saya kasih santet di minuman itu.” Balas Nooran berbalik dengan wajah polosnya yang kini berubah jadi mengerikan.
Ika ketakutan bukan main. Ia bergegas hendak lari namun tangannya dicengkeram amat kuat oleh Nooran yang telah kerasukan Iblis. Ika dilempar ke lantai dengan keras hingga berdarah gusi dan dagunya.
“Tolong!! Tolong!!” jerit Ika sekencang-kencangnya.
Nooran tak memedulikan jeritan tersebut. Ia pergi menutup pintu dan menguncinya. Lalu pergi menyeret tubuh lemah Ika ke pojok ruangan.
“Tolong jangan begini, Noor ” ucap Ika meminta iba.
“Tadinya saya cuma mau santet kamu pakai jus jeruk itu, tapi ketahuan. Payah!” Nooran berdiri berkacak pinggang penuh kekesalan.
“Kenapa kamu lakukan itu, Noor?” Ika ketakutan dengan berlinang air mata.
“Kenapa?” Nooran balik bertanya seraya berjongkok memandang Ika lebih dekat. “Kamu ... merebut Bagyoku!” pekiknya kuat-kuat di telinga Ika.
Dikeluarkannya sebongkah potongan cermin bersudut tajam dari dalam saku roknya.
“Seharusnya Bagyo buat saya . Cuma dia yang buat hidup saya indah. Hidup saya penuh derita. Saya capek ... saya capek harus selalu bersaing!” teriak Nooran emosional dengan air mata yang jatuh berderai di wajahnya yang memerah menahan amarah.
“Noor, kita bisa bahas ini baik-baik. Ambil aja Bagyo kalau kamu mau.” Ika terpaksa mengatakan itu untuk bisa selamat.
“Diam!!” Nooran menusukkan potongan cermin itu ke perut Ika dengan cepat. “Kamu menghalangi aku bahagia, kamu menghalangi saya masuk Al Umm. Kamu menghalangi saya dengan Bagyo!!”
Ika terkejut dengan yang dilakukan kawannya tersebut. Ia hilang kesadaran diri, darah mengucur deras membasahi gamis putihnya. Rasanya sakit sekali, cermin sekecil itu mampu merobek perutnya. Ika mengerang kesakitan tanpa suara lalu badannya ambruk lunglai begitu saja. Matanya berkedip-kedip sesaat lalu terpejam. Napasnya memendek dan lalu suasana hening seketika.
Nooran terbelalak melihat Ika tak sadarkan diri. Tangannya bergetar kencang. Air matanya semakin berhamburan. Ketakutan menyelimutinya dan sudah terlambat untuk lari.
Wanita muda itu memandang wajahnya di cermin. Wajah monster mengerikan yang bersimbah darah dan air mata. Mengapa setelah melakukan kejahatan, ia baru sadar. Siapa yang mengendalikan hatinya dan tangannya tadi?
Orang-orang di luar toilet tampak riuh ramai menggedor-gedor pintu dan berteriak. Nooran berjalan lemah dengan tatapan kosong membuka pintu.
Orang-orang penghuni teater dan kawan-kawan Nooran terkejut dan menganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Saya pelakunya.” ucap Nooran pelan.
...
Kembali ke masa sekarang, di depan jeruji besi yang memagar dunia luar yang indah dan dunia narapidana yang sepi.
Ika masih menangis, dan Nooran masih tetap bertahan dalam dingin sikapnya.
“Jimat pemberian dukun tersebut membuat saya jadi kehilangan diri. Setan menjadi teman saya dan ia membisikkan kejahatan di hati saya.” ungkap Nooran memandang langit-langit ruangan.
“Orang tua saya menghilang. Mereka tak pernah datang menjenguk. Apalagi teman-teman sekolah. Akhirnya saya terbiasa sendirian.” Nooran tersenyum pada Ika di hadapannya.
Ika menyodorkan sebuah bungkusan bening berisi Al-Qur’an, buku tuntunan salat dan seperangkat alat sembahyang yang indah. Nooran tak bergeming dari tempatnya, ia malah memilih berbaring memunggungi Ika dan opsir tersebut.
Ika pamit mengucap salam dan berlalu.
...
Inilah akhir gadis berdasi yang terjebak dalam lingkaran kesyirikan. Keimanan yang lemah mengantarkan pada kebinasaan. Hidup mengejar impian yang tak kunjung diraih. Hidup sederhana tanpa obsesi berlebihan apa salahnya. Banyak di luar sana orang tua yang terlalu menggantungkan harapannya pada anaknya hingga harus dituntut sukses. Dan anak banyak terbebani untuk menjadi berprestasi dan mendapat pekerjaan bagus serta menjadi mapan. Semestinya, orang tua haruslah menjadi sahabat bagi anak-anak mereka agar kelak anak-anak bisa tumbuh menjadi generasi berakhlak dan berkualitas.
Tiap orang memiliki penderitaannya masing-masing. Namun bagi Nooran kini, penjara ini kini bukanlah tempat yang menyengsarakan tapi tempatnya lepas dari derita.[]
..
Tamat
Masyaallah, keren cerpennya. Miris sih tapi begitulah realitas kebanyakan orang di sekitar kita. Karena ujian berat mendera tapi kurang iman sehingga rela melakukan segala cara sampai berbuat syirik.
Duh, sedih bacanya. Jika ada yg bernasib miskin dengan iman setipis kulit bawang. Di dunia sempit, apalagi di akhirat.
Masyaallah kisah yang menghanyutkan hati. Serasa terbawa dalam alur cerita. Betul dibalik kisah yang bkita jalani terdapat hikmah yang indah
Cerpen yang menggambarkan lemahnya keimanan seorang gadis. Ditambah lagi dengan beban berat yang harus ditanggungnya ketika orang tua meminta balas jasa karena sudah membiayai hidupnya dari lahir. Sungguh miris.
Jazakillah Khoir mba@Endang.
Cerpen yang keren
inilah secuil kisah yang mewakili realita saat ini, bahkan yang lebih buruk pun banyak. Sayangnya, masih banyak dari kaum muslimin yang berprofesi sebagai wartawan, pengamat sosial, pejabat, dll, masih melihat problem seperti yang disampaikan di akhir oleh penulis, disebabkan oleh individu yang lemah iman dan ortu yang materialistis, tapi lupa tugas dan tanggung jawab mereka kepada anak-anaknya. Padahal, jika solusinya pun menjadikan anak-anak soleh dan ortu yang bertanggung jawab, belum tentu masalah semacam ini bisa selesai.
ibarat pabrik kerusakan, Nooran-Nooran di luar sana dan ortu seperti ortunya terus diproduksi....maka, jika kita tidak menutup pabrik kerusakan, yang bernama sekilerisme kapitalisme, percaya, deh kita pun akan seperti Nooran. Sampai di ambang keputusasaan.
Ayo, berjuang bersama membangun "pabrik kehidupan" dengan dasar akidah Islam. Tempat yang paling layang untuk manusia bernaung, Khilafah Islamiyah.
Maa syaa Allah ikut kebawa emosi jiwa. Bahasanya santai tapi ngena. Baarakallahu fiik mba Penulis
Cerpen yang penuh hikmah. Ketika keimanan dibutakan oleh cinta, harta, dan tahta, maka akan mudah lepas dari pemiliknya. Semoga kita semua dihindari dari segala hal yang bisa melemahkan iman. Amin.
MasyaAllah, cerpennya keren. Hidup di alam kapitalisme membuat orang tua hilang akal, demi ambisi segala cara dihalalkan. Kasihan anak jadi korban akhirnya karena lemah iman juga anaknya jadi pelaku kejahatan.
Alhamdulillah terima kasih atas apresiasinya kakak-kakak semua. Sejujurnya cerpen saya sangat jauh dari kata sempurna terutama pemakaian dialog dan narasi yang kurang tajam belum lagi ditambah ke-gaptek-kan saya dalam memakai android membuat naskah ini susah payah saya buat. Terima kasih pula untuk Kak Andrea dan Kak Putri yang telah membimbing saya sampai cerpen ini bisa dimuat.
Dengan literasi kita berdakwah!
By Endang Wardani
ibunya sudah membebani anaknya dengan obsesinya dan memilih dengan jalan kemusyrikan,.. malangnya nasib nooran
terima kasih apresiasinya kak. Realitas memang begitu kak terutama kalangan orang kecil yang kurang ilmu agama. Lebih-lebih orang kaya, tapi intinya mereka sama, sama-sama kurang ilmu agama jadi mudah dijerat obsesi.
Sedih banget..gadis polos dipaksa oleh obsesi orang tua..keren mb cerpennya
Alhamdulillah terima kasih kak
Waah seru ceritanya..sarat dengan makna, barakallah mba Endang Wardani
Alhamdulillah terima kasih supportnya kak
Bagus sekali cerpennya, Mbak Endang.
Ketika ingin meraih kesuksesan, jauhkan diri kita dari kesyirikan.
Orang tua juga jangan terlalu terobsesi kepada anaknya hingga menghalalkan segala cara.
Alhamdulillah terima kasih kak. Cerpen ini realitas kak, hanya dibumbui drama.
Miris, cerita sedih dari gadis yang lugu. Sehingga menjadi tersesat.
Terima kasih apresiasinya kak. Tapi ini realitas yang saya jumpai.