Hipokrisi Kesejahteraan, Pajak Berbuah Penderitaan

Hipokrisi Kesejahteraan pajak berbuah penderitaan.

Ide gila pemungutan pajak terhadap rakyat dilahirkan oleh sistem kapitalisme yang berasaskan manfaat. Sebuah pelayanan harus berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Apabila negara tekor dalam menjamin dan membiayai urusan rakyat maka itu tidak layak dilakukan. Justru negara harus disantuni dengan sumbangan wajib dari rakyat berupa pajak ini.

Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Penulis Inti NarasiPost.com)

NarasiPost.Com-"Orang bijak taat bayar pajak." Slogan manis yang digaungkan oleh lembaga pajak negeri ini berhasil menghipnotis rakyat. Tak dimungkiri, pajak seakan menjadi urat nadi pembangunan negeri. Slogan tersebut seakan memberikan motivasi untuk taat membayar pajak. Selain itu, slogan tersebut juga seakan memberikan apresiasi bagi rakyat yang taat bayar pajak dengan predikat "bijak".

Hipokrisi Kesejahteraan dengan Adanya Pungutan Pajak

"Gemah ripah loh jenawi, toto tentrem kerto raharjo." Semboyan ini juga begitu melekat dengan kehidupan penduduk negeri Zamrud Khatulistiwa. Tidak ada yang keliru dengan semboyan tersebut karena memang negeri ini begitu kaya akan sumber daya alam, baik di daratan, lautan, bahkan di dalam perut bumi. SDA ini merupakan nikmat yang patut disyukuri sebagai rahmat dan karunia dari Sang Maha Pencipta dan Maha Pemberi Rezeki.

Namun sayang berjuta sayang, meski negeri ini kaya akan sumber daya alam, Indonesia sedang berhadap-hadapan dengan masalah besar yang tak kunjung selesai, yakni kemiskinan yang menanggalkan kesejahteraan. Hal itu diperparah dengan cara pandang para pemangku kebijakan yang terkesan tidak serius dalam mengatasi kemiskinan. Belum lagi, saat rakyat miskin harus taat membayar pajak, rasa peduli seakan menghilang ditelan bumi, seakan pergi entah ke mana.

Ambyar, semboyan "gemah ripah loh jinawi" ini akhirnya hanya sekadar semboyan. Kekayaan alam yang terhampar di seluruh wilayah Indonesia, tidak dikelola oleh negara seutuhnya. Investasi dan eksploitasi dibiarkan mewarnai hiruk pikuk permasalahan negeri ini.

Negara justru asyik berperan memungut pajak sana, pajak sini, pajak itu, pajak ini kepada rakyat yang kebanyakan sudah sekarat. Ada upaya serius dari negara menjadikan pajak sebagai pendapatan utama alias urat nadi pemasukan negara. Pajak menjadi primadona dan jalan keluar untuk memperoleh kentungan materi sebanyak-banyaknya.

Pengertian pajak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya. Ambisi pemungutan pajak begitu mencekik rakyat. Apalagi ketika rakyat tengah megap-megap justru pungutan wajib terus menghantui kehidupan yang terimpit. Pajak terus digenjot dan dimutakhirkan demi menambah tumpukan cuan. Alih-alih rakyat hidup sejahteta, pungutan pajak justru membuat rakyat kian menderita. Kesejahteraan seakan menjadi sebuah hipokrisi.https://narasipost.com/opini/05/2021/pajak-naik-rakyat-tercekik/

Duhai, keberadaan pajak memang penting bagi eksistensi negeri ini. Hal itu diperkuat dengan sebuah berita yang dilansir liputan6.com (16/8/2023), bahwasanya pemerintah menargetkan Pendapatan Negara pada 2024 mencapai Rp2.781,3 triliun. Jumlah tersebut terbagi antara Penerimaan Perpajakan sebesar Rp2.307,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 473,0 triliun. Di luar itu, penerimaan dari Hibah ditargetkan sebesar Rp0,4 triliun.

Dari target pendapatan negara di atas, jelas pendapatan dari pajak memiliki porsi yang sangat besar. Betapa pajak menjadi sandaran bagi sendi kehidupan perekonomian negeri Zamrud Khatulistiwa yang kaya akan sumber daya alam ini. Dengan demikian, pajak menjadi sebuah keniscayaan yang harus ditunaikan seluruh rakyat. Adapun kesejahteraan ibarat peribahasa "jauh panggang dari api" atau "pungguk merindukan bulan."

Biang Kerok Pungutan Pajak

Peningkatan pendapatan negara dari jalur pendapatan perpajakan merupakan dampak dari penerapan kebijakan ekonomi kapitalisme. Ekonomi kapitalisme ini terlahir dari ideologi kapitalisme yang menihilkan peran agama dalam kehidupan (asas sekularisme). Selain itu, sistem ini juga meniadakan peran negara dalam perekonomian. Walhasil, kesejahteraan rakyat diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar dan pihak pemilik modal. Artinya, kesejahteraan rakyat akan bertarung dengan kekuatan modal dan asas manfaat. Di sinilah, hipokrisi kesejahteraan akan semakin terpampang.

Sistem kapitalisme melarang keras negara menjamin semua kebutuhan rakyat. Dengan kata lain, sistem kapitalisme menceraikan amanah pemeliharaan urusan rakyat dari negara. Negara tak boleh rugi, apalagi sampai membiayai kebutuhan rakyatnya. Paradigma ekonomi kapitalisme menjadikan negara berlepas dari tanggung jawab sosialnya secara keseluruhan dan melepasnya kepada individu ataupun swasta skala perusahaan.

Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa ide gila pemungutan pajak terhadap rakyat dilahirkan oleh sistem kapitalisme yang berasaskan manfaat. Sebuah pelayanan harus berdasarkan perhitungan untung dan rugi. Apabila negara tekor dalam menjamin dan membiayai urusan rakyat maka itu tidak layak dilakukan. Justru negara harus disantuni dengan sumbangan wajib dari rakyat berupa pajak ini.

Paradigma Pajak dalam Sistem Islam

Islam merupakan agama sekaligus ideologi kehidupan yang bersumber dari Sang Maha Baik dan Maha Benar. Dalam sistem Islam, kesejahteraan adalah hak setiap individu rakyat secara syar'i. Keberadaan syariat Islam memang memastikan kesejahteraan rakyat bisa dicapai dengan sempurna, antara lain melalui penerapan strategi politik ekonomi Islam.

Dengan strategi ini, individu diharapkan dan dipastikan bisa mengakses sumber-sumber kekayaan, minimal untuk memenuhi kebutuhan pokok individu. Mereka juga memperoleh ruang besar untuk meraih taraf hidup yang lebih baik dan lebih tinggi tanpa mengabaikan pedoman halal dan haram yang ditetapkan syariat Islam. Dalam Islam, kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab negara, khalifahlah yang wajib memelihara urusan rakyat. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya:

"Imam atau kepala negara adalah pemelihara (pengatur) urusan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Semua pemeliharaan ini dilekatkan kepada pemimpin negara. Dengan demikian, semua amanah itu ditopang negara yang berperan sebagai pengurus dan penjaga/perisai (junnah). Untuk menjadi pe-riayah, negara tentu membutuhkan pembiayaan dalam memenuhi atau memelihara urusan rakyat. Oleh karena itu, negara harus memiliki modal untuk merealisasikan seluruh amanah atau tanggung jawabnya. Salah satunya melalui sebuah mekanisme pengaturan pembagian kepemilikan harta yang ada dalam sistem ekonomi Islam.

Dalam sistem ekonomi Islam, ada tiga kepemilikan. Salah satunya adalah harta miliki umat, yakni berupa sumber daya alam. Namun demikian, meski SDA adalah kepemilikan umum, pengelolaannya ada di tangan negara. Syariat Islam mengharamkan negara untuk menjualnya atau memberikan kekuasaan pasa pihak swasta atau individu untuk mengelolanya.

Selain itu, ada distribusi harta yang juga menjadi tanggung jawab negara. Distribusi harta di sini bukan seperti produsen yang mendistribusikan produknya pada konsumen. Namun, distribusi harta ini adalah pendistribusian harta oleh negara kepada rakyat tanpa kompensasi apa pun. Seluruh kebutuhan pokok personal dan komunal harus dipastikan terpenuhi. Negara memiliki dua mekanisme, langsung dan tidak langsung, dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat.https://narasipost.com/teenager/06/2022/pajak-demokrasi-vs-islam/

Selain harta kepemilikan umum, ada pula harta kepemilikan negara dari berbagai pos pendapatan syar'i. Pos pendapatan negata yang akan mengisi kas baitulmal negara, antara lain berupa fai, ganimah, jizyah, kharaj, usyur, rikaz,dan zakat. Khusus pos pemasukan zakat, ada skema khusus pendistribusiannya. Zakat hanya akan didistribusikan kepada delapan asnaf atau golongan sebagaimana termaktub dalam surah At-Taubah ayat 60:

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana."

Amil zakat di sini bukan seperti lembaga amil zakat seperti yang ada saat ini. Amil zakat merupakan petugas zakat yang memang menjadi bagian petugas baitulmal pada pos zakat secara khusus. Tidak termasuk amil zakat para pemungut zakat selama negara tidak menerapkan syariat Islam secara kaffah.

Dengan harta milik negara plus zakat untuk delapan asnaf, mampu menjadikan negara kuat dan berdaulat. Dalam tatanan syariat Islam, negara tidak akan menarik pungutan apa pun secara zalim. Negara tak akan sembarangan menarik sumbangan wajib semacam pajak yang terdapat dalam sistem kapitalisme saat ini. Apabila kas baitulmal kosong melompong, maka pemenuhan kebutuhan akan berpindah kepada kaum muslim. Dari sana, negara akan menerima sumbangan dari kalangan kaum muslim untuk meringankan beban negara. Apabila belum tercukupi, negara akan menarik pungutan yang disebut dharibah, sesuai syariat Islam.

Pada faktanya, dharibah berbeda dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme saat ini. Dharibah hanya dipungut saat kas negara benar-benar kosong dan upaya lain telah ditempuh, tetapi tidak mencukupi. Dharibah juga tidak dipungut atas sembarang orang, hanya orang kaya dari kalangan kaum mukmin saja yang akan dipungut dharibah. Kaya di sini, ada kelebihan harta setelah pemenuhan kebutuhan asasi, sekunder, dan tersiernya.

Sudah terang benderang, bahwasanya pajak yang menjadi primadona dalam sistem kapitalisme tidaklah ada dalam sistem Islam. Dengan seluruh pendapatan dari pos kepemilikan umum ataupun kepemilikan negara, baitulmal akan terpenuhi untuk pembiayaan urusan pemeliharaan rakyat. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam institusi negara akan menjadikan rakyat hidup bergelimang kesejahteraan dan terlebih lagi akan mendatangkan keberkahan.

Khatimah

Maka dari itu, kaum muslim seyogianya memahami bahwa tingginya tarif pajak dan banyaknya objek pajak adalah sumber penderitaan rakyat. Kondisi itu semua karena ulah sistem kapitalisme yang diterapkan dalam seluruh sendi kehidupan. Sistem rusak dan merusak ini harus segera dimusnahkan dari muka bumi oleh kaum muslim. Perjuangan dakwah harus digalakkan sebagai konsekuensi keimanan untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam. 

Wallahu a'lam bishawab.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Inti NarasiPost.Com
Afiyah Rasyad Penulis Inti NarasiPost.Com dan penulis buku Solitude
Previous
Tanaman Surgawi
Next
Saudara Seiman, Aman
4 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

6 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Sartinah
Sartinah
1 year ago

Pajak itu bagi rakyat kecil ibarat kanker. Makin dipungut, makin membuat rakyat tambah sakit. Tapi itulah realitas di negeri ini. Barakllah mbak Afiyah ...

Sherly
Sherly
1 year ago

Benar, pajak hanya membenai rakyat yang kian sekarat. Tingginya pajak, tak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyat. Sungguh pilu nasib rakyat.

Mimy Muthamainnah
Mimy Muthamainnah
1 year ago

Semboyan, "gemah rifah loh jinawi" kandas sejak penerapan politik ekonomi ala kapitalsime. Bukan memberikan hak rakyat yg ada justru menjerat dg berbagai pajak.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram