Di pundak ibu terdapat amanah dan tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anak mereka dengan aturan Islam. Pendidikan dalam keluarga yang sesuai Islam nantinya akan mampu menghasilkan sosok-sosok istimewa pejuang peradaban yang bersedia berkorban di garda terdepan sebagai pembela Islam.
Oleh. Atien
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-"Seorang ibu adalah tonggak suatu keberhasilan di dalam keluarga."
Kata mutiara di atas memang tidak berlebihan untuk menggambarkan ketegaran, kekuatan, dan kemampuan kaum perempuan saat mereka menjadi istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya. Siapa pun pasti sepakat dengan kepiawaiannya yang luar biasa dalam menangani urusan domestik di dalam rumah tangganya. Bukan itu saja, seorang ibu juga mempunyai andil dan pengaruh yang besar dalam mendidik putra-putrinya.
Tugas seorang ibu memang tidak sekadar mengurusi keperluan seluruh anggota keluarga kecilnya. Dia juga harus siap menjadi guru utama dan pertama bagi buah hatinya. Dua peran ini identik dengan fitrahnya sebagai seorang perempuan. Fitrah tersebut merupakan anugerah dari Allah Swt. yang akan mengantarkannya kepada jalan kemuliaan.
Ketika Peran Perempuan Ditinggalkan
Namun sayang, fitrah tersebut kini tercerabut oleh ide-ide menyesatkan yang muncul di tengah-tengah kehidupan.
Bagi sebagian orang, peran seorang ibu sebagai pemegang segala urusan rumah tangga dianggap sesuatu yang membelenggu kaum perempuan. Menurut mereka, perempuan berhak untuk berkarya dan membangun karier di luar rumahnya. Begitu juga dengan hak untuk menikmati kebahagiaannya sendiri tanpa dibebani urusan anak dan suami. Oleh karena itu, perempuan jangan terus-terusan di bawah kendali laki-laki. Sudah bukan zamannya lagi perempuan hanya pasrah dan sendiko dawuh. Kini saatnya mereka "unjuk gigi" dan menampakkan bakat yang dimiliki. Intinya, mereka jangan mau diatur ini itu, harus begini dan begitu tanpa memiliki kebebasan untuk memilih apa yang menjadi keinginannya.
Anggapan tersebut mengemuka karena penganut ide ini berpendapat bahwa kehidupan perempuan tak sebatas mengurus suami dan anak-anaknya. Bukan pula sekadar tentang dapur, sumur dan kasur. Pemikiran seperti itu dinilai sudah uzur. Bagi mereka perempuan di era modern harus punya power. Bukankah kedaaan sudah jauh berubah? Pemikiran yang demikian hanya ada di era jahiliah. Oleh karena itu, perempuan jangan hanya tinggal di rumah. Namun, dia harus mampu berkiprah di luar rumah sebagaimana laki-laki.
Perempuan punya peluang dan potensi yang sama dengan laki-laki di semua aspek kehidupan. Jika laki-laki bisa mencari nafkah, perempuan juga tak mau kalah. Ketika laki-laki punya karier dan kedudukan yang cemerlang, perempuan pun merasa tertantang. Bukankah kedudukan perempuan dan laki-laki di hadapan Allah Swt. tidak ada perbedaan? Maka dari itu, sudah selayaknya posisi mereka bisa setara dengan laki-laki di segala lini kehidupan ini. Itulah ide kesetaraan gender. Ide ini pula yang dikenalkan, dikampanyekan, dan ditancapkan oleh pengembannya ke dalam benak kaum perempuan.
Parahnya, ide kesetaraan gender terbilang sukses "mencuci otak" para ibu. Ide tersebut dibalut begitu indah dan dibuat seolah-olah menempatkan kaum perempuan di posisi yang tinggi. Hak-hak mereka diperhatikan, nasibnya dibela, perasaannya dijaga, dan hidupnya dilindungi. Lantas, masih kurang apa lagi? Bukankah itu yang diinginkan oleh semua perempuan di dunia ini? Maka tidak heran ketika para ibu bisa tertipu oleh ide tersebut. Daya pikatnya yang luar biasa membuat mereka terhipnotis. Tak disangka, semua itu hanya sekadar pemanis. Sejatinya hal itu merupakan sebuah jebakan yang disiapkan untuk merusak fitrah ibu dari perannya yang strategis. Miris, banyak perempuan yang belum berkeluarga "termakan" ide rusak ini. Hal itu bisa dilihat ketika ada sebagian dari kaum perempuan yang berniat menikah akhirnya menunda pernikahannya dan memilih untuk tetap bekerja. Sebab, dirinya merasa belum siap dengan segala konsekuensinya saat nanti menjadi seorang ibu rumah tangga.
Bagi perempuan yang sudah menikah, banyak yang merasa minder dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga. Kondisi yang demikian menjadikannya berupaya untuk keluar dari fitrahnya. Para ibu tidak lagi bangga dengan peran ganda yang disandangnya. Sebab peran yang mulia tersebut dianggap sebagai beban ganda yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali rasa lelah belaka. Mereka lupa bahwa tanggung jawab besar di balik dua peran yang disematkan kepadanya yaitu urusan rumah tangga dan pendidikan anak-anaknya.
Hal tersebut terdapat dalam sabda Rasulullah saw. yang artinya:
"Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang Dia amanatkan (titipkan) kepadanya." (HR. At-Tirmidzi)
Mungkinkah para ibu sudah lupa dengan posisinya sebagai pengurus keluarganya? Bukankah dia pemimpin bagi anak-anaknya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sudah tidak terlintas lagi di dalam benak para ibu. Tanpa sadar mereka berusaha menjauh bahkan lari dari tugas utamanya.
Keputusan Salah Arah
Keputusan seorang ibu untuk keluar rumah dalam rangka mencari nafkah tidak dibisa dilepaskan dari ide yang salah kaprah tersebut. Kaum perempuan diarahkan untuk berdaya di semua sektor kehidupan. Dengan begitu mereka mampu menghasilkan uang dan bisa diandalkan untuk menjadi "tulang punggung" keluarga. Walhasil, predikat ibu rumah tangga yang disandangnya secara pelan-pelan ditanggalkan. Begitu juga dengan peran vitalnya sebagai pendidik pertama bagi buah hatinya, lambat laun ditinggalkan. Kini yang ada hanya posisi bergengsi atas nama eksistensi diri. Akhirnya anak-anak tak terurus, pendidikannya terabaikan, dan urusan rumah tangganya pun dilupakan. Begitulah, cara kesetaraan gender menyebarkan fitnah keji pemikiran kufur. Fitnah tersebut telah berhasil mencabik-cabik fitrah seorang ibu tanpa ampun.
Langkah yang diambil oleh ibu berakibat fatal bagi diri, keluarga dan anak-anaknya. Akhirnya keharmonisan dan keutuhan keluarga yang dibangun selama ini, hancur berkeping-keping akibat fitnah pemikiran asing. Keluarga berantakan. Imbasnya, anak menjadi korban dari kegagalan yang berpangkal dari langkah ibu yang salah arah. Bukan itu saja, anak-anak yang terbiasa mendapatkan dukungan, kasih sayang, perlindungan dan perhatian dari ibunya kini seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Mereka tidak punya tempat bersandar, berbagi dan bercerita saat masalah menerpanya. Bisa ditebak, emosi anak-anak yang masih labil membuat mereka limbung. Kondisi tersebut memaksa anak-anak ini mencari pelindung. Tak ayal, mereka akhirnya berkenalan dengan dunia di luar rumahnya yang sangat tidak ramah untuknya.
Buah Tangan Sistem Rusak
Ya, dunia indah di luar rumah yang dijadikan oleh anak-anak untuk mencari kasih sayang yang hilang ternyata hanya sekadar pelarian yang membuatnya salah jalan. Nasib mereka pun tidak kalah memprihatinkan. Pergaulan bebas, narkoba, dan kenakalan remaja menjadi menu harian yang menambah suram masa depannya. Malangnya, mereka akhirnya terjebak dalam lingkaran kejahatan yang berbanding lurus dengan sistem rusak pendukung kebebasan yang ditempuh oleh anak-anak maupun remaja. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya para pelaku kejahatan dan kemaksiatan yang rata-rata masih berusia belia.
Ide rusak kesetaraan gender memang pandai sekali memutarbalikkan fakta. Bagaimana tidak? Peran perempuan yang mulia sebagai ibu sejati dibilang profesi yang hina. Alasannya pun tak masuk akal karena profesi tersebut tidak mendapatkan imbalan apa-apa. Dengan bekerja, perempuan mungkin berjaya secara finansial. Predikat perempuan tangguh, mandiri, dan berprestasi pun disematkan. Siapa menyangka, predikat tersebut ternyata membawa bencana. Faktanya bisa dilihat ketika para ibu keluar dari rumahnya. Masa depan anak-anak hancur karena terkubur ide persamaan gender. Itulah "buah tangan" sistem rusak yang harus dibawa pulang ketika seorang ibu pergi menjauh dari fitrahnya. Begitulah ide yang datang dari aturan manusia. Ide tersebut tidak akan bisa memberikan apa-apa selain penyesalan belaka.
Islam Pelindung Fitrah
Oleh karena itu, harus ada pemahaman yang benar agar kaum perempuan tidak menjauhi fitrahnya. Mereka harus yakin dan bangga dengan perannya yang mulia. Berikut ini, hal-hal yang bisa dilakukan oleh kaum perempuan dalam rangka menjaga fitrahnya, yaitu:
Pertama, menambah pemahaman dengan jalan mengkaji Islam. Ilmu-ilmu yang didapatkan akan membuat seorang ibu nantinya mampu mengatasi masalah yang menimpa diri maupun keluarganya. Di samping itu, dengan belajar agama seorang ibu akan menyadari betapa mulia profesi yang disandangnya. Allah Swt. akan memberikan balasan istimewa kepada seorang ibu hingga tiga kali lipat untuk perannya tersebut.
Dalam hal ini Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya:
"Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,' Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Kemudian ayahmu'." (HR Al Bukhari dan Muslim).
Kedua, berteman dan berkumpul dengan orang-orang bertakwa. Adanya teman-teman satu pemahaman nantinya akan bisa saling mengingatkan ketika suatu saat dirinya merasa lelah dan menjauh dari aturan Allah Swt. karena beratnya permasalahan hidup yang dihadapinya. Lingkungan yang kondusif membuat diri seorang ibu akan mendapatkan semangat baru untuk tetap bertahan dalam ketaatan.
Ketiga, ikut andil dalam aktivitas dakwah Islam kaffah dalam rangka mengedukasi para muslimah tentang pentingnya menjaga dan melindungi fitrah. Ketika perannya sesuai fitrah niscaya masa depan generasi bersinar cerah.
Semua upaya di atas tentu merupakan sebuah keniscayaan.
Di pundak ibu terdapat amanah dan tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anak mereka. Seorang ibu yang paham Islam tentu akan mendidik anak-anaknya dengan aturan Islam. Pendidikan dalam keluarga yang sesuai Islam nantinya akan mampu menghasilkan sosok-sosok istimewa pejuang peradaban yang bersedia berkorban di garda terdepan sebagai pembela Islam. Tentu bukan sebuah kebetulan ketika seorang penyair muslim bernama Ahmad Syauqi rahimahullah pernah menuturkan:
"Ibu adalah madrasah (sekolah), jika engkau mempersiapkannya dengan baik, maka engkau telah mempersiapkan sebuah bangsa yang luhur karakternya."
Itulah rahasia kekuatan seorang ibu tangguh lagi taat. Kembalinya fitrah seorang ibu tentu membutuhkan sebuah dukungan dan perlindungan yang besar dari sebuah sistem. Dukungan dan perlindungan tersebut hanya bisa terwujud dalam sistem Islam yang berasal dari Zat Yang Maha Sempurna yaitu Allah Swt. Wallahu a'lam bi
Bagi yang tak memahami Islam, kesetaraan gender adalah latar belakang wanita berkiprah di ranah publik. Namun tak dimungkiri untuk yang memahami tugas ibu pun, karena dorongan sistem kapitalis lah memaksa tetap ikut keluar rumah mengais rezeki. Karena hidup di alam kapitalis begitu mahal. Sementara jaminan kesejahteraan sangat jauh dari harapan.
Semoga fitrah para ibu tidak tercabik fitnah di zaman ini. Beban dan tanggung jawab seorang ibu sangat berat, apalagi di sistem rusak seperti sekarang. Rusaknya anak-anak menjadi tanggung jawab para ibu sebagai pendidik pertam dan utama.
PR kita sebagai ibu sangat besar. Berpeganglah pada Islam, agar kita bisa melewati semua ini.
Barakallah, mbak..
Ketika ibu melepaskan diri dari fitrahnya, anak dan keluarga pun akan berubah menjadi kondisi yang tidak baik-baik saja
Alhamdulillah. Akhirnya bisa menumpahkan unek-unek yang sudah lama nyesek di dada. Banyak fakta yang terjadi di sekitar kita ketika perempuan dianggap mandiri saat bisa memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Kita-kita yang milih jadi ibu rumah tangga dianggapnya tidak produktif, jadi beban dan lain-lain.
Ide kesetaraan gender sejatinya bukan untuk menaikkan martabat seorang wanita/ibu, melainkan untuk menjatuhkan martabat wanita/ibu sehingga rusaklah rumah tangga dan peradaban..
Benar banget mba. Tetapi masyarakat sudah termakan ide tersebut. Mereka lebih menghargai perempuan yang bekerja di luar rumah. Sedihnya hati melihat kenyataan ini.
Ide kesetaraan gender sebenarnya lahir dari penerapan sistem kapitalisme. Kapitalisme memang memandang perempuan hanya sebagai penggerak ekonomi. Makanya gak heran, perempuan terus didorong untuk terjun sebagai pekerja di luar rumah meski menyalahi fitrahnya.
Ide kesetaraan juga membuat muncul para lelaki lemah yang akhirnya mengandalkan sang istri mencari nafkah di luar rumah.
Memilih berkiprah di luar rumah bagi seorang wanita tentu tidak boleh mengabaikan tugas utamanya sebagai pendidik keluarga.
Ide kesetaraan gender laksana racun berbalut madu..terlihat manis namun sejatinya pahit dan beracun. Tapi sayangnya ide ini menjadi kewajiban yang harus diemban oleh negara-negara kapitalis termasuk negeri ini, terus diarusderaskan..padahal dampaknya sudah jelas rusak, termasuk munculnya generasi stroberi adalah salah satu akibat dari racun feminisme ini