Salah satu naskah Challenge ke-3 NarasiPost.com dalam rubrik True Story yang mendapatkan nilai cukup tinggi.
Oleh : Luthfia Shezan El-Banjary
NarasiPost.Com-Memiliki keluarga utuh dan harmonis tentu impian setiap anak seusia Khadafi. Kehidupan yang membahagiakan ialah anugerah terbesar dari Sang Mahakuasa.
Adalah Dafi, salah satu hamba-Nya yang mendapat anugerah itu. Ia bukan anak orang kaya. Orang tuanya juga tidak memiliki tahta apa-apa. Mereka hanya keluarga sederhana dengan harta yang apa adanya. Dafi anak semata wayang dan jelas, ia menjadi anak kesayangan orang tuanya.
Sehari-hari, Dafi dikenal sebagai anak yang religius dan cerdas dalam menghafal setiap pelajaran. Wajar, bapaknya dulu juga cerdas dan gesit. Namun, karena ketidakmampuan dalam finansial, terpaksa bapaknya harus berhenti kuliah, lalu mencari pekerjaan sebagai kuli bangunan. Sementara ibunya, bekerja sebagai penjual nasi kuning.
Di usia sepuluh tahun, Dafi cukup mengerti keadaan ekonomi keluarga. Ia tak pernah meminta barang apa pun, kecuali ingin orang tuanya selalu perhatian padanya. Baginya, hidup seperti ini sudah sangat ia syukuri, sebab, ia tak pernah merasa kekurangan terhadap kehidupan yang ia jalani saat ini. Menurutnya, nikmat kesehatan serta ketenangan jiwa sudah lebih dari cukup.
Suatu ketika, ada sebuah keberuntungan besar yang menimpa keluarga Dafi. Bapaknya diangkat menjadi arsitek karena keahlian yang dimiliki dalam merancang konstruksi bangunan. Secara tidak langsung, pangkat bapaknya pun naik drastis.
Tawaran kerja sama dari pihak manapun silih berganti. Tidak hanya itu, keluarga yang kesehariannya hidup pas-pasan, yang tadinya tidak punya tahta, kini mudah mendapat apa pun, termasuk harta.
Bukan sulap bukan sihir, tiba-tiba keluarga Dafi mendadak kaya. Ekonomi keluarganya meningkat pesat. Bapaknya juga telah membeli rumah mewah dan mobil. Khadafi merasa sangat bersyukur atas nikmat Tuhan yang baru ia dapatkan itu.
Tadinya, Dafi tidak bisa seperti anak-anak lain, memiliki barang yang diinginkan, tetapi kini dalam sekejap apa pun yang ia kehendaki, lekas terpenuhi.
Hari demi hari, Dafi mulai merasa ada yang berbeda pada kedua orang tuanya. Sekarang, mereka jarang berkumpul bersama. Bahkan untuk makan bersama pun rasanya sulit sekali. Setiap hari, di rumah mewah tersebut, Dafi hanya ditemani oleh asisten rumah tangga. Buat apa di rumah sebesar itu jika hanya ada dia seorang? Dafi berpikir begitu.
Bapaknya selalu sibuk dengan pekerjaan barunya, hingga tak bisa berkumpul seperti dulu lagi. Sedangkan ibunya, malah sudah benar-benar berubah. Gaya hidupnya glamor dan selalu menghabiskan waktu di luar rumah. Kedua orang tuanya sudah terlena dengan kekayaan dan pangkat yang dimiliki. Sampai mereka juga lupa jika ada anak yang seharusnya lebih mereka perhatikan. Kondisi keluarga itu terus berjalan seperti itu, sampai bertahun-tahun lamanya.
Lima tahun kemudian, ketika sikap orang tuanya belum juga berubah, Dafi memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya ke pesantren tahfiz. Dari dulu, ia bercita-cita ingin menjadi seorang penghafal Al-Qur'an. Ia ingin membangun istana megah di surga serta jubah agung untuk orang tuanya. Itu sebenarnya yang ia inginkan, bukan hidup mewah dengan harta bergelimangan. Dafi pernah bertanya mengenai harta kepada Ustadz Khairul—guru tahfiznya di pesantren.
“Hakikatnya, harta adalah titipan Allah yang perlu kita waspadai. Sebab, harta begitu besar tanggung jawabnya di akhirat kelak. Kita diberi harta melebihi yang lain. Akan tetapi, dengan harta itu malah menjadikan kita kufur dan takabur. Apa kata Allah?
"Wa iż ta'ażżana rabbukum la'in syakartum la'azīdannakum wa la'ing kafartum inna 'ażābī lasyadīd."
Jika bersyukur, maka Allah akan tambah selalu nikmat-Nya. Namun, apabila kufur, maka azab Allah sangatlah pedih,” jelas Ustadz Khairul kala itu.
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Tak disangka-sangka, ekonomi keluarga Dafi perlahan merosot karena adanya arsitek baru yang lebih hebat dari bapaknya.
Perlahan-lahan, harta mewah yang dimiliki orang tua Dafi ludes dijual untuk membayar utang dan kebutuhan lain. Secara cepat pula, kondisi keluarganya kembali seperti dulu lagi. Bahkan, lebih parah dari yang dulu. Mereka sekarang jadi keluarga miskin, tidak lagi punya apa-apa.
Setelah mengetahui kondisi keluarganya, Dafi pulang ke rumahnya yang dulu. Ia yakin, orang tuanya pasti sangat tertekan dengan keadaan sekarang ini. Di sisi lain, Khadafi juga cukup lega, sebab keluarganya akan berkumpul seperti dulu lagi.
Namun, apa yang dipikirkan Khadafi tidak sesuai ekspektasinya. Sesampainya di rumah, ada suara keras yang memekakkan telinga. Tidak ia duga, orang tuanya bertengkar hebat sampai tidak tahu bahwa dirinya sudah pulang ke rumah untuk menjenguk.
Permasalahan ekonomi dan sikap glamor ibunya yang tak kunjung usai menjadi penyebabnya. Akhirnya, kedua orang tuanya terpaksa berpisah, dikarenakan tidak sanggup menerima keadaan yang dihadapi. Hal itu sangat menyakitkan hati Dafi. Tak cuma itu, kedua orang tuanya juga benar-benar tak memedulikan Dafi lagi. Kini ia telah menjadi anak broken home.
Orang tuanya masing-masing pergi mencari kehidupan baru. Masalah yang ia hadapi begitu rumit. Jiwa Dafi sungguh terguncang dahsyat. Ia seperti tak punya harapan apa-apa lagi. Keluarga utuh dan harmonis itu telah hancur berkeping-keping. Ibarat kaca bening nan kuat, seketika retak tak tersisa.
Dafi sangat tertekan. Tak ada lagi sosok penyemangat dalam dirinya. Rasanya, ia ingin sekali mengakhiri hidupnya. Buat apa hidup? Orang tuanya saja tidak lagi peduli terhadapnya.
Bertahun-tahun Dafi tinggal di pesantren, tak pernah sekali pun, orang tuanya datang ke sana, apalagi mengajaknya pulang ketika libur tiba. Saat acara haflah dan pembagian raport, Dafi mewakilkan pada kakak kelasnya. Sangat miris hatinya, tatkala melihat teman-temannya pulang dijemput oleh orang tuanya. Sedangkan ia?
Ketika libur, Dafi hanya pulang sendiri ke rumahnya yang dulu. Entah, di mana sekarang bapak dan ibunya berada? Pernah terdengar dari mulut tetangga, bahwa bapak dan ibunya sudah punya keluarga baru. Akan tetapi, bagaimana pun juga, Dafi tetap harus berbakti pada orang tuanya.
Dalam kehidupan Khadafi yang sebatang kara, ia bertekad untuk menjadi orang sukses serta berilmu agama yang baik. Setiap harinya, Dafi semakin tekun dan gigih dalam belajar. Ia juga tak pernah melewatkan untuk selalu membaca Al-Quran. Hafalannya pun juga makin bertambah. Lama-kelamaan, Dafi mulai bangkit kembali setelah sekian lama terpuruk dalam kesendirian. Ia berusaha untuk melupakan semua kejadian yang pernah ia alami, mencoba untuk ikhlas atas apa yang sudah Allah tetapkan.
Sampai pada akhirnya, Dafi dapat meraih impiannya menjadi Hafiz Qur'an mutqin 30 Juz. Di saat wisuda tahfiz pun, orang tuanya tetap tidak hadir sama sekali. Ah, betapa ruginya! Padahal, itulah sesuatu yang Allah gantikan dengan yang jauh lebih baik, yakni kenikmatan hakiki memiliki anak saleh.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]