Tinggal di Rumah Pelayan Tuhan

(Pemenang ketiga dari Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam Rubrik True Story)


Oleh: Rosmiati

NarasiPost.Com-Bulan Juni 2016, saya menjalani masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu daerah terpencil di Papua. Kami berangkat di tengah suasana Ramadhan dan lebaran tinggal  seminggu lagi.

Meski begitu, semua tak menyurutkan semangat. Kapal feri penyebrangan rute Manokwari-Numfor menjadi kendaraan yang kami tumpangi. Tepat pukul delapan pagi,  kapal mengangkat jangkar menuju Pulau Biak, Numfor, tempat kami akan menghabiskan waktu selama kurang lebih dua bulan lamanya.

Lautan biru menemani perjalanan kami yang nyaris seharian. Pukul enam sore, kapal feri yang membawa banyak penumpang itu tiba di Pelabuhan Numfor. Kami pun terlebih dahulu berbuka puasa sebelum memutuskan turun.
Selepas menunaikan salat, kami pun mendapat arahan dari supervisi. Dua kelompok harus berangkat duluan. Kami pun saling melambaikan tangan, memberi semangat, menguatkan satu sama lain. Benar-benar malam itu, rasa takut dan khawatir tentang kelompok bersenjata, OPM, dan lainnya sedikit pun tak mampir ke alam pikiran.

***
Perlahan pelabuhan mulai sepi. Kapal yang tadi mengantarkan kami telah kembali ke kota, menunggu jemputan datang. Saya mencoba berbincang dengan sosok Ibu yang sedari tadi senyum-senyum melihat ke-riweh-an kami. Tak disangka, sang Ibu adalah salah satu warga di desa yang akan kami tuju.

Tak lama, selepas berbincang, mobil ambulans putih datang. Tentu saja, itu adalah kendaraan yang menjemput kami. Sepanjang perjalanan, kami melalui hutan belantara dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi.

Setelah sekian lama memacu kecepatan, mobil pun berhenti di depan sebuah rumah berukuran sedang. Di sana telah berdiri sepasang suami-isteri yang menyambut kami dengan senyuman. Mereka adalah orang nomor satu di kampung ini. 

Setelah berbincang beberapa menit, kami pun diantar ke rumah yang akan menjadi posko atau tempat tinggal kami selama kurang lebih enam puluh hari ke depan. Tak lama berjalan, sampailah kami di depan sebuah rumah panggung berukuran minimalis.  Sang Kepala Desa memanggil si penghuni rumah. Tak lama,  seorang wanita tua muncul menyambut kami dengan senyuman hangat. 

“Oh, Anak. Mari, mari naik. Mama sudah tunggu dari tadi sampe ketiduran,” sambutnya dengan penuh antusias. 

Kami pun segera melepas alas kaki dan naik menapaki anak tangga. Baru beberapa langkah, betapa terkejutnya saya. Tepat di depan, samping kiri, dan kanan, tergantung gambar sosok yang amat dielu-elukan oleh mereka. Ya, siapa lagi kalau bukan gambar sang Juru Selamat bersama sosok wanita yang menimang bayinya. Gambar-gambar itu terhias indah di setiap sudut rumah.

Hal itu tentu membuat sedikit tak nyaman, wajar, mengingat ini adalah kali pertama. Meski begitu, saya tetap melangkah masuk hingga sampailah di sebuah kamar tempat kami beristirahat.

***
Setelah beberapa hari berada di kampung, barulah saya sadari kalau rumah yang kami tempati itu adalah rumah dari seorang pelayan di gereja. Ya, sosok Mama yang begitu hangat menyambut kedatangan kami malam itu, adalah orang penting di rumah Tuhan.

Saya pun menghela napas panjang-panjang, membisikan pada diri bahwa di sinilah ilmu toleransi yang selama ini diserap, diaplikasikan.

Dan benar saja, baru seminggu berada di kampung, tiba giliran ibadah sore di rumah Mama. Akan tetapi, ini masih bisa dikelabuhi. Ujian luar biasa itu datang ketika acara potong rambut dari cucu Mama tiba.

Mama meminta kami untuk terlibat, membuat sejumlah kue, undangan, serta keperluan lain. Kami pun mulai dilema. Bukankah kita tak dibolehkan untuk saling membantu jika itu menyangkut peribadatan?

Selepas Magrib, kami pun berembuk (khusus kami yang muslim). Dan keputusannya, kami harus berterus terang menyampaikan kepada Mama, agar semuanya jelas. Karena di antara kami yang paling dekat dengan Mama adalah saya, maka saya yang ditugaskan untuk menyampaikan langsung padanya.

Dengan penuh kehati-hatian, saya membuka pembicaraan malam itu.

“Mama, sebelumnya saya dan teman-teman mohon maaf. Ini ada hal yang ingin saya sampaikan.”

“Iya, Kak Ros, apa itu?” tanya Mama sambil memegang kedua telapak tangan saya.

“Jadi begini Mama, besok kan, ada acara ibadah potong rambut. Kami mohon maaf sekali, tidak bisa membantu kalau itu menyangkut urusan ibadah. Karena di dalam ajaran agama kami, aktivitas itu tidak dibolehkah,” terang saya dengan penuh kehati-hatian, sambil menundukan pandangan.

Di kampus mungkin sudah sering beradu argumen. Namun, menjelaskan hal yang diharamkan kepada sosoknya langsung, ini kali pertama.

“Oh, iya, Kaka. Mama sangat bersyukur, Kaka mau jujur seperti ini. Selama ini Mama selalu bertanya-tanya dalam hati, kira-kira apa saja yang boleh dan tidaknya dari adik-adik ini. Kalau teman-teman yang lain 'kan, Mama sudah paham. Tapi untuk Kaka dan kawan-kawan yang muslim ini, Mama masih belum paham. Ya, mau bagaimanapun juga, kita memiliki pemahaman yang berbeda dan itu memang tak bisa kita paksakan satu sama lain.”

Mendengar ucapan Mama yang sangat jauh dari apa yang dibayangkan, membuat badan saya lemas. Air mata pun mengucur deras. Saya jabat tangannya, sambil memohon maaf, apabila selama bersama, ada tingkah, dan kata kami yang melukai hatinya.

Singkat cerita,  malam itu kami tak lagi membuat kue. Yang terlibat penuh ialah kawan-kawan kami yang Nasrani. Akan tetapi, keharuan itu belum berakhir. Pada pagi hari,  beberapa jam sebelum acara dimulai,  warga membawa beberapa ekor hewan sembelihan ke rumah untuk dibuat santapan babi guling. Namun, Mama tak mengizinkan, dengan alasan, di rumah ini ada anak-anak yang berkeyakinan beda dengan mereka.

Mama tidak ingin membuat kami merasakan ketidaknyamanan selama berada di rumahnya. Mendengar ucapan beliau, warga tentu tak bisa menolak. Alhasil,  sembelihan tersebut dikembalikan ke kandangnya.  Acara potong rambut sang cucu pun tak ditemani daging yang mungkin sangat mereka nantikan.

***
Selepas kejadian itu, saya mengalami pergolakan batin yang luar biasa. Muncul dalam diri ini rasa tak enak hati, merasa bersalah, takut dinilai buruk oleh masyarakat, dan lain sebagainya.  Akan tetapi, sebisa mungkin rasa itu saya tepis karena dalam ketaatan, kita tidak boleh bermain perasaan, apalagi ini menyangkut akidah/keyakinan. Sungguh tak dibenarkan ada kompromi di sana. Memang berat, terlebih sudah akrab. Akan tetapi, batasan toleransi itu jelas, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

Hari pun berlalu. Masyarakat ternyata tak seperti yang kami bayangkan. Mereka malah semakin care kepada kami. Mereka malah terlihat mulai menjaga batasan. Tak ada lagi makanan siap saji yang diantar ke rumah, melainkan bahan makanan yang belum terolah. Syukurku pada-Nya tiada tara karena Dia-lah yang memudahkan semuanya.

**
Inilah kisahku, semoga bisa diambil pelajaran.  Untuk saudara-saudaraku di Pulau Numfor, Papua, semoga cahaya keadilan segera menyapa bumi, agar sirna drama ketidakadilan yang selama ini mengusik hari. []


Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Kenapa Allah menitipkan Semuanya?
Next
Saatnya Perempuan Berdaya dalam Perjuangan Tegaknya Khilafah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram