"Salah satu naskah Challenge ke-3 dalam rubrik True Story dengan nilai yang cukup tinggi dari juri"
Bedoon Essem
NarasiPost.Com-Aku adalah perempuan biasa. Namun, aku mempunyai cita-cita yang bagiku sungguh luar biasa. Aku berasal dari keluarga broken. Masa kecilku diasuh oleh nenek setelah orang tuaku berpisah, sementara ibuku memilih menjadi pekerja migran di Saudi Arabia. Aku bersama dua saudaraku, satu kakak perempuan dan satu adik laki-laki yang masih balita. Waktu itu, usiaku baru delapan tahun.
Kehidupan kami jauh dari kasih sayang orang tua. Namun, alhamdulillah, setiap satu bulan sekali, Ibu selalu berkirim surat karena waktu itu belum zamannya HP. Beliau menanyakan kabar dan menyelipkan pendidikan tauhid bagi anak-anaknya. Ini menjadi titik awal bagiku untuk mengenal Islam lebih luas dari sekadar agama turunan dan satu mazhab. Bahkan buku-buku keagamaan adalah hadiah untuk anak-anaknya pada setiap kepulangan beliau.
Di bawah pengasuhan nenek inilah, aku dan kakak pindah sekolah ke Madrasah Ibtidaiyah. Di sana, kami menimba banyak ilmu agama. Salah satunya adalah pelajaran Sejarah Islam yang menjadi favoritku.
Aku mempelajari sejarah Islam dengan luar biasa semangat, kagum, dan penuh kerinduan tanpa kumengerti. Akan tetapi, yang kupelajari adalah sejarah Islam yang masih lengkap, yang belum termakan rayap pendistorsian sejarah maupun silet moderasi ajaran Islam. Sejarah yang sangat detil menggambarkan kisah-kisah heroik pahlawan Islam, juga masa kegemilangan Islam, yang disampaikan oleh guruku inilah, yang kelak akan menjadi titik balikku ketika mulai bersentuhan dengan dakwah ideologis.
Masa remajaku tak begitu berwarna. Aku adalah seorang yang introvert, tertutup dan minder, seorang yang susah berteman. Aku juga dikenal sebagai seorang yang kaku, dan terkesan perfeksionis. Hidupku kuhabiskan di dalam rumah, membaca buku. Namun, ini adalah salah satu perlindungan Allah untukku, dari pergaulan bebas dengan nonmahram.
Semasa kecil hingga lulus Madrasah Aliyah, aku tidak pernah keluar dari kampung halaman, benar-benar cupu kata orang. Hingga pada akhirnya, aku mulai berani keluar sendirian, mendaftar di perguruan tinggi negeri di pusat kota, di provinsiku. Dan ternyata, inilah awal dari perjalanan hidupku yang sebenarnya.
Semasa awal mengenyam bangku kuliah inilah, aku berteman dengan seorang yang kuanggap lebih introvert dariku. Sebutlah ia Ummu Zahra. Namun, dialah yang dengan gigih dan telaten mengajak dan mengenalkan Islam sebagai ideologi kepadaku. Ia seorang sahabat yang sangat berharga, yang menunjukkanku pada perjalanan dan tujuan hidup yang lebih bermakna.
Akan tetapi, pengaruh pendidikan dari keluarga pesantren yang konservatif, membuat diri ini begitu alot menerima pemikiran baru. Bagiku, Islam saat ini sudah benar, sudah damai dan aman. Namun, Ummu Zahra tak pernah menyerah hingga ia pertemukanku dengan teman-temannya. Maka, terjadilah diskusi yang luar biasa seru dan menantang, dan membuka kepingan-kepingan puzzle baru bagiku dalam kurun waktu hampir dua tahun lamanya.
Pada akhirnya, aku pun menyerah, tunduk dengan hadits Rasulullah Salallahu alaihi wasallam,
"Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud ath-Thayalisi dan al-Bazzar).
Sedikit demi sedikit, aku mulai memahami arti kerinduanku di masa kecil, rasa rindu ketika mendengar sirah Rasulullah, para sahabat, dan para Khalifah yang memimpin dunia dengan Islam, rasa rindu yang tak kumengerti ketika mendengar kisah perang Badar hingga Haji Wada'. Aku rindu pada kejayaan Khilafah, yang memimpin dua per-tiga dunia. Aku rindu ketika mendengar kisah Muhammad Al Fatih menakhlukkan Konstantinopel, dan lainnya.
Kepingan puzzle itu mulai memperlihatkan sketsa baru bagiku. Maka, akhirnya aku melengkapi rasa rindu kepada kejayaan Islam dengan berazam untuk ikut menjadi bagian perjuangan kebangkitan Islam ini.
Dalam perjuangan inilah, aku menempa kemampuan dalam menulis. Aku juga mulai berani berbicara dengan orang lain, sekaligus berjuang keluar dari zona introvert. Aku terus eksis menulis sampai sekarang, di tengah rutinitas dakwah di tengah-tengah umat.
Namun, bukan perjuangan jika tak dihiasi rintangan. Perjuangan inilah kelak yang akan mengantarkanku pada posisi dikucilkan oleh keluarga besar, juga masyarakat sekitar. Aku dianggap sesat, khawarij, hingga fitnah-fitnah keji lain pun disematkan. Akan tetapi, langkah ini tak akan pernah surut. Semangat ini tak akan pernah padam. Melalui kajian hingga tulisan, terus menerus kugempur pemikiran kufur di tengah-tengah umat, untuk membumikan opini Islam di sekitarku.
Hingga ketika lulus dari perkuliahan, dan Ibu pulang dari Arab Saudi setelah lima belas tahun bekerja di sana, aku pun begitu penasaran tentang keadaan beliau di sana sebagai pekerja migran karena wanita terkasih itu tak pernah bercerita apa pun. Itulah yang membuatku penasaran dan mencoba bekerja di sana, selain mengejar cita-cita hajiku.
Fakta yang semakin memantapkan tsaqofahku, bahwa tak ada satu pun negara yang mengemban Islam sebagai ideologi di dunia saat ini. Alhamdulillah, selama dua tahun menjadi pekerja migran, telah kutulis 200 puisi, baik dari terjemahan puisi Arab maupun puisi karanganku sendiri.
Setelah menyelesaikan masa kerja, akhirnya aku pulang dan meneruskan perjuangan dalam kelompok dakwah ini. Qadarullah, jodoh pun datang, seorang ikhwan saleh. Itulah ta'aruf pertama dan terakhirku.
Seperti judul film yang booming saat itu, tiga puluh hari mencari cinta, begitulah kisahku. Pertemuan pertama adalah saat nadhor dan interview, dua minggu masa istikharah, dua minggu kemudian khitbah dan menikah. Pertemuan kedua sudah sah menjadi suami istri. Begitulah kuasa Allah.
Sebuah pernikahan impian, pernikahan sederhana yang jauh dari kemewahan, tetapi sesuai syariah. Impianku dipinang dengan Al-Quran pun terkabul walaupun tanpa meminta kepada sang ikhwan.
Jangankan meminta dan bernegosiasi, sekadar bicara pun tidak kami lakukan. Itu karena kami sudah paham pergaulan dalam Islam hingga membatasi interaksi, walaupun sudah status khitbah. Mahar itulah yang kelak menciptakan cita-cita baru bagiku, yaitu pencetak generasi qur'ani.
Hingga sepuluh bulan kemudian, lahirlah putri pertamaku, Najwa, seorang putri yang kuazamkan untuk dakwah dan Al-Qur'an, yang kudidik sendiri bersama suami hingga menjadikannya seorang hafidzah cilik mutqin 30 juz pada usia delapan tahun. Sekarang ia sedang dalam proses menyelesaikan kitab hadis Bulughul Maram. Ini adalah karunia Allah untuk kami dan menjadi hadiah untuk adiknya yang bertepatan setahun usianya. Anak-anakku inilah yang akan kucetak menjadi mutiara umat, penerus perjuangan Islam, anak yang kuharapkan menjadi syafaatku kelak di hadapan Tuhanku.
Inilah kisahku, yang tentu jauh dari sempurna. Namun, kisah hidup dalam perjuangan ini, bagiku bagaikan kepingan-kepingan puzzle yang saling melengkapi dan menjadi bukti Kemahakuasaan Allah. Puzzle-puzzle ini senantiasa kusyukuri dan menjadi penyemangat dalam menghadapi tantangan dan hambatan di jalan dakwah. Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]