Musibah Membawa Hikmah

Salah satu naskah Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam rubrik True Story yang mendapatkan nilai cukup baik


Oleh: Ima Khusi

NarasiPost.Com-Usiaku baru 16 tahun kala tragedi itu terjadi. Namaku Ima, lahir dan besar di Sampit, Kotawaringin Timur, meski aku bersuku Madura. Aku lima bersaudara, tiga laki-laki, dua perempuan. Bapakku bekerja sebagai penebas hutan. Karena hidup kami pas-pasan, akhirnya Umak berjualan makanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Malam itu, aku tidak menyangka akan menjadi awal malam kelam yang akan membawa perubahan pada kami. Seperti malam sebelumnya, Umak tetap berjualan seperti biasa, di tempat mangkal kami, Jl. S. Parman di lapangan Tenis belakang kediaman Bapak Bupati Sampit.

Suasana malam itu sangat lengang dan sepi, tidak seramai biasanya. Entah mengapa hampir semua orang yang kutemui berkomentar sepi. Tempat Umak jualan pun sepi, hanya sedikit pembelinya. Seakan-akan, kami berada di kota mati yang tidak berpenghuni.

"Ayo pulang saja," kata Umak sembari memintaku membereskan lapak kami.

"Mau pulangkah, Mbak?" Bulek penjual bakso di sebelah lapak kami bertanya pada Umak.

"Iya, Bulek, wong dari tadi sepi. Kayaknya, tidak ada yang keluar," jawab Umak sambil terus membereskan lapak.

"Kamu tidak pulang, Dul?" tanya Umak pada Paman Abdul, tetangga lapak sekaligus tetangga rumahku.

"Pulang Kak Dina, dari tadi sepi," jawabnya.

Akhirnya, seluruh penjual di sekitar lapangan Tenis itu pun menutup lapaknya. Aku bergegas mendorong gerobak jualan karena suasana malam yang mencekam, seperti akan ada yang terjadi.

Sampai di rumah, aku pun segera beristirahat. Entah kenapa rasanya tubuh ini lelah berlebihan. Apa karena seharian aku sibuk membantu Umak jualan, padahal biasanya tidak selelah ini? Atau karena hal lain? Yang jelas, malam ini suasana tempat tinggalku memang nampak berbeda.

Aku merasa baru beberapa menit memejamkan mata, terdengar suara Umak yang nampak panik.

"Bangun Mah, bangun Ani, ada pembunuhan!" seru Umak sambil bergegas keluar rumah.

Aku pun bergegas bangun dan mengikuti Umak keluar. Kulihat suasana begitu ramai. Hampir seluruh penghuni di gang tempatku tinggal keluar dari rumah. Langit tampak terang benderang, padahal ini masih jam tiga pagi. Jalan di depan rumah tampak ramai dengan hilir mudik para lelaki yang membawa pentungan dan celurit.

Api kebakaran dari jauh nampak kemerahan, seperti suasana senja. Dari obrolan orang-orang, aku mengetahui bahwa telah terjadi pembataian satu keluarga di daerah Pelalangan. Satu keluarga yang bersuku Madura telah dibantai oleh seseorang yang katanya bersuku Dayak. Itulah berita yang sampai ke telingaku.

Hari itu, sejak subuh hingga malam, suasana makin tidak kondusif. Hari Minggu itu menjadi hari kelabu bagi kota Sampit. Kota yang biasanya aman damai, kini sudah tidak lagi.

Situasi makin tidak terkendali. Pembataian dan pembakaran di mana-mana. Siang jadi malam, malam jadi siang. Begitulah kotaku kini.

Aparat yang ada tak cukup mengendalikan karena beberapa hari sebelumnya, pasukan keamanan di kirim ke Maluku dan Aceh. Jadi, bisa dikatakan kota Sampit kekurangan pasukan keamanan.

Sudah empat hari suasana kota Sampit berubah mencekam. semua orang sudah banyak mengungsi. Tinggallah aku dan keluargaku. Kami kemalaman untuk pergi ke tempat pengungsian. Akhirnya, kami berempat, yaitu Umak, aku, Abang Hadi dan Mbak Ani bertahan di lapangan Tenis, tempat Umak biasa berjualan.

Dua adikku di bawa ibu tiriku mengungsi di Masjid, sedang Bapak dan Kai (Kakek) masih tertahan di pondok pinggir hutan. Awal yang pilu karena keluargaku terpisah-pisah.

Malam itu menjadi titik tolak, betapa Allah masih menyayangiku, yang bahkan tidak pernah salat. Betapa Maha Rahman dan Rahimnya Allah karena masih mendengar doa dari diri yang berlumur dosa ini, sekaligus membuktikan bahwa doa dari orang yang teraniaya dan menderita itu langsung diijabah Allah.

Kami berempat masih di lapangan tenis, sembunyi di sela-sela kursi yang ada di sana. Di seberang lapangan tenis, ada rumah yang penghuninya memelihara anjing. Insting anjing tentu saja tajam. Saat merasa ada orang di sekitarnya, ia akan mengonggong. Begitu pun anjing itu, terus saja  menggonggong karena adanya kami yang sedang bersembunyi. Sedangkan dari kejauhan, pawai orang Dayak yang menyisir kota makin mendekat.

Dalam kondisi ketakutan, bibir ini melantunkan doa,

"Ya Allah, jika anjing ini sama-sama makhluk-Mu dan aku beserta keluargaku ditakdirkan untuk selamat, tolong diamkan dia, ya, Allah, agar kami tidak ketahuan."

Itulah doa yang kulangitkan dan betapa ajaibnya, anjing-anjing itu tiba-tiba diam dan merunduk tenang, seakan tidak ada apa-apa. Alhamdulillah, malam itu kami selamat.

Pagi hari, kami bergegas pergi ke tempat pengungsian. Kami sekeluarga dan orang-orang yang masih belum ke tempat pengungsian, berkumpul di depan kediaman Bapak Bupati.  Tiba-tiba ada orang yang berteriak,

"Cepat lari, Dayak sudah mendekat, jangan berkumpul di sini."

Kami pun berlari tunggang-langgang. Aku terus memegang kedua tangan adikku yang kala itu masih berusia tiga dan lima tahun. Aku terus berlari sambil memegang tangan mereka tanpa menoleh kebelakang,  terus berlari hingga sampai ke tempat pengungsian.

Aku baru sadar bahwa kami terpisah dengan keluargaku yang lain, hanya tinggal aku dan adik-adikku yang masih kupegang erat. Napasku masih ngos-ngosan. Mataku nanar menatap jalan yang tadi kulewati. Pikiranku berkecamuk. Bagaimana nasibku dan kedua adikku? Akan kemana kami?

"Masuk … masuk, cepat masuk ke dalam!" seru orang di dalam pengungsian.

Aku pun masuk membawa adik-adikku, terduduk lemas sambil memeluk keduanya. Aku langitkan kembali doa dalam hati.

"Ya, Allah, pertemukan kembali kami sekeluarga, ya, Allah. Aku janji, jika kami berkumpul dan selamat, aku akan menutup auratku dan melaksanakan salat," lirihku dengan terus memeluk adik-adik yang hanya memandangiku dengan tatapan polosnya sambil terus mengusap air mataku.

Dan subhanallah, Allah kembali meng-ijabah doaku. Hanya dalam hitungan detik, aku dipertemukan kembali dengan keluargaku. Akhirnya, kami berkumpul di pengungsian, menunggu bantuan tiba dengan terus melangitkan doa.

Dari situ, aku semakin yakin dan benar-benar amazing akan kebesaran Allah. Diri yang berlumur dosa, bahkan yang selalu lalai akan kewajiban ini, masih disayang Allah dan diijabah setiap doa yang kulangitkan.

Aku sekeluarga akhirnya selamat dan berkumpul kembali, meski kami harus pergi dari tanah kelahiran, kembali ke Pulau Garam, Madura dan menjalani kehidupan baru yang Insyaallah lebih baik.

Perang suku yang di kenal dengan "Tragedi Sampit" mengantarkanku ke jalan hidayah. Aku yang lalai akan salat, alhamdulillah, sekarang senantiasa mengerjakannya. Aku yang tidak menutup aurat, alhamdulillah, sekarang sudah menutupinya. Semoga istikamah dan Allah senantiasa mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepadaku dan keluarga.

Sejatinya, jika kita mau membuka mata hati, tidak putus asa akan Rahmat Allah, insyaallah, apa pun bentuk cobaan atau ujian dalam hidup, pasti selalu mengandung hikmah. Inilah musibah yang membawa hikmah bagiku.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Benarkah Agama Mengakui Sistem Politik Mana Pun?
Next
Ramadhan, Bulan Madrasah Wujudkan Takwa
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram