Mendekap Asa di Ruang Nicu

"Pemenang pertama naskah Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam rubrik True Story "


Oleh: Eno Wasiat

NarasiPost.Com-Aku masih belum percaya jika bayi laki-laki berbobot 5,7 kg ini adalah bayi yang kemarin kulahirkan. Tangan, kaki, dan hidungnya terpasang selang infus dan oksigen, bahkan di mulut mungilnya terpasang selang berukuran sangat kecil untuk memasukkan cairan ke perutnya.

Sejak hari pertama, anakku belum mendapatkan asi, bahkan belum dimandikan.

"Ya, Allah, kuatkan anakku." Sekuat tenaga kutahan bulir di mata agar tak jatuh.

"Tuuuuuuuutttt …." Tiba-tiba suara alat pendeteksi jantung berbunyi, pertanda denyut jantungnya melemah. Suster langsung bergerak cepat.

"Bangun, Dek … Adek …." Suster jaga dengan sigap menggoyang-goyangkan badan anakku dengan lembut.

"Nak, bangun, Nak … ini Mama, Nak …." Aku pun ikut memanggil-manggil anakku dengan gemetar.

Menurut dokter, setiap dua menit bayiku lupa bernapas dan harus dibangunkan. Dia bilang, anakku dalam kondisi koma, jantungnya bocor, HB rendah, dan paru-paru belum berfungsi sempurna. Si kecil juga belum bisa menghirup udara secara bebas. Hal ini disebabkan karena ia belum cukup bulan saat dilahirkan, tetapi sudah membesar di dalam perutku.


Sudah lima hari anakku menjalani perawatan di ruang NICU. Kondisinya masih naik turun.

Setiap pagi, aku berjaga di ruang tunggu hingga menjelang maghrib. Setelah itu, bergantian dengan suamiku. Kami tinggal di perantauan jauh dari sanak famili.


Hari ke-7.

Seperti hari-hari sebelumnya, setelah menitipkan si sulung ke tetangga, aku diantar suami ke rumah sakit.

Kusapa dan kudoakan beberapa bayi di ruangan NICU satu-persatu, kemudian memasuki ruangan khusus tempat anakku dirawat.
Kusapa anakku dengan penuh keceriaan dan berbagai doa untuknya, walau pedih terasa di hati ketika melihat selang-selang itu masih terpasang di tubuh merahnya. Entah sudah berapa puluh jarum menancap dan meninggalkan bekas hitam di kulit yang masih lembut itu.

"Aku tahu perasaanmu, Nak, pasti sakit, walau kamu hanya diam, pasrah, bahkan tidak menangis." Aku membatin.

"Adek anak yang kuat. Sabar, ya, Sayang. Kami semua menunggumu pulang. Kakak juga pengen segera bermain sama Adek. Mama punya baju lucu buatmu." Kucoba berdialog dengannya, walau sesak dada ini karena menahan rindu.

Aku disarankan untuk keluar oleh suster karena dokter akan menyuntikkan jarum lagi. Kali ini harus melalui sedikit pembedahan di selangkangan untuk mencari pembuluh vena.

Ya, Allah. Tubuhku makin lemas, tak sanggup rasanya memandang bayi tak berdosa itu.
Seandainya aku bisa menggantikan rasa sakit itu, biar aku saja, ya, Rabb ….

Aku segera keluar menuju ruang tunggu. Sepi, hanya aku sendiri di tempat itu. Kupasang earphone, mendengarkan murotal dari smart phone. Terbayang kembali wajah anakku …. Bulir-bulir di mata kubiarkan jatuh deras membasahi kerudung.

"Kumohon kekuatan dari-Mu, ya, Allah. Kuatkan anakku, hilangkan rasa sakitnya, ya, Rabb …."


Hari ke -10.

Hari ini, untuk yang ketiga kalinya anakku harus cek lagi ke rumah sakit spesial jantung. Semua prosedur dan biaya administrasi harus kami tanda tangani. Aku, suami, didampingi dokter dan beberapa suster membawanya menggunakan ambulance. Anakku tetap di dalam boks khusus dan semua perlengkapan oksigen tetap ikut serta.

"Maaf, saya harus mengatakan yang sebenarnya. Kondisi anak Ibu belum stabil, bahkan sangat buruk," kata dokter spesialis jantung ternama di kota ini sambil menunjukkan hasil echo scan jantung anakku.

Ingin marah rasanya, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Anakku harus segera kembali ke rumah sakit sebelumnya karena tidak bisa berlama- lama di ruang terbuka.

Dalam perjalanan kembali ke rumah sakit, aku hanya bisa menggenggam tangan suamiku. Kami mencoba saling menguatkan.

"Iklhaskan, ya, Ma. Sabar," kata suamiku lirih. Dia tak sanggup menatapku.

Aku tahu, pasti ia juga merasakan hal yang sama denganku. Ia lalu kembali ke rumah untuk mengurus anak sulungku dan beberapa pekerjaan di toko. Aku segera kembali ke ruang tunggu.

Sama seperti kemarin, melalui informasi seorang suster jaga, ada titipan dari seseorang untukku.

Masyaallah … kulihat ada seonggok besar daun katu, dua boks kue merk ternama, dua paket kado, dan paket makan tiga kali dengan porsi besar untukku.


Hari ke-11.

Aku baru bersiap ingin berangkat ke rumah sakit ketika bunyi panggilan darurat di ponsel membuat jantungku berdebar hebat.

Seorang suster menyampaikan kabar jika kami harus segera berangkat ke rumah sakit karena kondisi anakku semakin memburuk.

"Aku pengen lihat adek, Ma …," rengek anak sulungku yang baru kelas dua SD.

Kupeluk anak pertamaku itu di depan ruang NICU, mencoba menguatkan diri sambil menunggu suami yang sedang menemui dokter. Tak lama, suami keluar dari ruangan diikuti dokter.

"Mohon maaf, Bu. Kondisi adek sekarang sangat kritis. Kami sudah melakukan yang terbaik," kata dokter itu sambil mempersilakan saya masuk.

"Maaf, Adek tunggu sini, ya," kata seorang suster kepada si sulung.

"Tolong, Dok, sekali ini saja biarkan kakaknya bertemu adeknya," pintaku.

Akhirnya kami bertiga diizinkan masuk ruang NICU.

Bunyi khas alat pendeteksi detak jantung terdengar menakutkan di telinga. Seorang suster berdiri di dekat inkubator.

Aku dan suami mendekat, tetapi tak bisa mengucapkan sepatah kata pun, selain doa yang kami gumamkan.

Anak sulungku langsung mendekati lubang di samping inkubator dan mengulurkan tangannya, mengelus-elus paha adiknya.

"Adek … ini Kakak. Ayo, kita pulang, Dek …," kata sulungku yang ternyata cukup tegar.

Air mata ini semakin tak tertahan. Tiba-tiba bayiku mengeluarkan cairan dari kemaluannya.

Dokter dan suster langsung bertindak cepat dan segera membersihkan si kecil.

"Ini pertanda baik, Bu. Adek bisa pipis," kata dokter.

Tiba-tiba sebuah tangisan cukup keras keluar dari mulut bayiku. Selama ini, ia belum bisa menangis.

Kami dipersilakan keluar dari ruangan. Hanya ucapan syukur, haru, dan bahagia yang bisa kami rasakan saat itu. Kupeluk anak sulungku dengan deraian air mata haru.


Hari ke-12.

Selang oksigen dari hidung bayiku dilepas berganti dengan satu selang kecil saja.


Hari ke-13.

Selang oksigen dilepas semua. Alhamdulillah … anakku bisa menghirup udara bebas. Oksigen yang harganya fantastis itu sekarang tak harus dibayar lagi.

Ya, Allah … baru terasa nikmat yang luar biasa. Anakku bisa merasakan oksigen gratis dari-Mu.


Hari ke-14.

Kami harus menandatangani beberapa surat pernyataan dari rumah sakit karena anakku dalam kondisi banyak luka lebam bekas jarus suntik. Kepala bagian belakang luka dan tulang hidung bagian tengah bekas selang oksigen juga masih belum pulih seperti semula.

"Alhamdulillah … aku bisa menggendongmu, Nak."

Kudekap erat bayi besarku sepanjang perjalanan. Kusentil sendiri hati ini, "Insyaallah kami iklhas dengan apa pun yang Engkau amanahkan, ya, Rabb."

Denpasar, 14 Mei 2016.[]


photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Semburan Gas dan Lumpur Ganggu Kenyamanan, Warga Bekasi Bagai Anak Kurang Perhatian
Next
Kenapa Allah menitipkan Semuanya?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram