"Naskah peserta Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam rubrik True Story yang mendapatkan nilai cukup tinggi juga"
Oleh : Komala Sutha
NarasiPost.Com-Surat kabar harian masih menempel di tanganku. Mata ini terus mengamati rubrik lowongan kerja, mencari dan terus mencari. Aduhai, pekerjaan apa yang bisa kulamar? Sepertinya, nyaris sembilan puluh lima persen tak ada yang cocok dengan kriteriaku.
Ijazahku manajemen perusahaan dari sebuah fakultas ekonomi kampus X. Harusnya aku bekerja di perusahaan, tetapi jika mengingat usia, juga pengalaman kerja yang nol, kecil kemungkinan ada peluang untukku.
Lalu, tetiba mataku menangkap barisan yang sangat menarik perhatian, dibutuhkan guru privat SD hingga SMA. Sudah beberapa tahun aku menjadi guru honor di sebuah sekolah dasar.
Aku memang sangat membutuhkan pekerjaan demi membantu perekonomian keluarga. Kala anakku baru satu, suami pernah membuka toko alat tulis kantor, juga melayani jasa fotokopi. Usaha itu berkembang pesat. Namun, beberapa tahun kemudian, usaha kami mengalami kemunduran hingga kami pun dengan sangat terpaksa menjual aset. Suka atau tak suka, suami harus rela menjadi pegawai di tempat orang yang membeli aset kami.
Aku benar-benar membutuhkan uang! Dengan penghasilan suami yang tak bisa memenuhi kebutuhan hidup_sementara kini anak kami sudah tiga_aku tak mau mengeluh, apalagi menuntut suami untuk mencari penghasilan lain. Sementara, kebutuhan hidup terus mendesak dan aku harus punya pilihan.
Dua hari kemudian, aku pergi ke kota, ke sebuah lembaga bimbingan belajar yang khusus mengajar anak-anak berkulit putih dan bermata sipit.
“Bu, soal-soal Matematika SD sekarang susah, lho,” ucap perempuan berjilbab, pemilik lembaga. Aku mengiyakan. Soal-soal itu memang terasa asing olehku.
“Tadi, Ibu kan sudah jelaskan pada saya jika Ibu tak punya pengalaman sebagai guru bimbel. Ibu juga sudah mengakui kemampuan Ibu dalam pelajaran Matematika, khususnya untuk SMA, masih kurang. Jadi, bagaimana Ibu mau mengajar murid-murid di lembaga bimbel ini, jika Ibu belum siap?” Perempuan itu menatapku tanpa bermaksud menyudutkan.
“Saya siap belajar lagi, Bu!” ucapku optimis. Namun, keputusan pemilik lembaga mengecewakan. Aku tak diterima mengajar di sana.
“Sudah kau pikirkan menjadi guru privat di kota?” tanya suamiku. “Rumah kita di luar kota, butuh waktu dua jam menuju kota.”
“Tidak masalah, Kang. Insyaallah, saya sanggup,” ucapku selalu optimis dan tak mau melemahkan semangat sendiri. Hingga minggu berikutnya, aku berhasil diterima menjadi guru privat di tempat baru.
“Tapi Ibu harus melewati tes dulu,” begitu kata pemilik lembaga yang kutahu bernama Edi Siswanto, pria yang cukup ramah dan enak diajak bicara.
Aku menyepakatinya. Namun, otakku nyaris rontok. Tak ada satu pun soal Matematika dan Fisika yang mampu kupecahkan. Ironis. Aku yang sudah menjadi guru selama lima tahun, hari ini tak bisa mengerjakan soal untuk anak kelas delapan.
Kuseret langkah meninggalkan ruang diklat yang telah membuat kepalaku pusing tujuh keliling.
“Saya mengundurkan diri,” putusku pada pimpinan lembaga.
Barangkali, mengundurkan diri lebih baik daripada memaksakan sesuatu di luar batas kemampuan. Malah, bisa jadi reputasi lembaga jatuh karena telah menugaskan seorang guru privat amatir alias tak berpengalaman seperti aku. Aku akan menjadi manusia terbodoh di hadapan calon murid-murid privatku nanti.
Bagaimana mungkin, aku yang hanya keluaran perguruan tinggi swasta tak terkenal, yang sehari-harinya mengajar murid di daerah terpencil, harus mengajar siswa-siswa terbaik dari sekolah ternama? Terdapat perbedaan yang sangat mencolok.
Berhari-hari aku merenung, memikirkan bagaimana keputusanku. Aku tidak yakin bisa mengejar perbedaan standar pengajaran di lembaga itu. Akan tetapi, aku sangat membutuhkan pekerjaan itu. Beruntung, aku mendapat dukungan sepenuhnya dari pimpinan lembaga. Ya, aku bisa belajar lagi! Aku ingin sukses jadi guru privat di kota besar.
Di lembaga, hampir semua guru berasal dari PTN dan PTS ternama. Aku yakin mereka sangat pintar, jauh berbeda denganku. Terbukti, mereka mengerjakan sola-soal diklat dalam waktu yang cepat. Mereka terbiasa mengajar dalam fasilitas modern, sementara, aku hanya bergelut dalam berbagai keterbatasan. Ilmu mereka semakin terasah menghadapi murid-murid yang sudah pasti lebih pintar dibanding murid-muridku.
Akan tetapi, bayangan murid kota yang akan memberondong dengan sejuta pertanyaan maha sulit yang menyudutkan, sedikit demi sedikit kutepis. Kupersiapkan segalanya, baik penampilan maupun materi pelajaran yang akan kusampaikan. Aku harus tampil memikat. Tak lupa, bibir pun tak henti berdoa. Dalam sujud, aku memohon pada Tuhan.
Aku pun menjalani profesi sebagai guru privat. Rumah semua murid cukup jauh dan memakan waktu lumayan.
Sebulan berlalu. Kini, saatnya aku menerima gaji pertama. Sudah kubayangkan, nominal yang akan hinggap di tangan berlipat-lipat dari gaji guru honor di daerah. Namun, apa yang kudapatkan? Pimpinan lembaga yang kupikir baik, ternyata tak amanah. Ia tak mau memberikanku hak yang seharusnya kuterima dengan mencari-cari kesalahanku.
Aku dituding mencuri siswa lembaga! Betapa kecewa, pengorbananku selama sebulan, meninggalkan anak-anak dalam asuhan orang lain yang harus kubayar, belum lagi waktu yang terbuang, ternyata sia-sia.
Secara tak hormat, aku melepaskan diri dari lembaga itu dengan bantuan orang tua siswa. Semua murid juga lepas dari lembaga dan balik simpati padaku. Mereka menjadi murid tetapku. Semua kelas akselerasi. Kekecewaan karena perlakuan menyakitkan dari Edi Siswanto, terbayar sudah.
Kuhela napas lega ketika semua orang tua siswa menyukai caraku mengajar. Hati ini gembira ketika semua murid merasa cocok dengan caraku mengajar, yang menurut mereka menyenangkan dan mudah dipahami. Rasanya tak percaya, hampir semua murid dan orang tua menyatakan hal yang sama.
Ternyata, betapa pun pintarnya anak-anak di kota, tetap saja mereka memerlukan bimbingan yang sesuai. Aku menemukan perbedaan cara mereka belajar dan menyerap ilmu yang diberikan. Secara tidak langsung, aku pun belajar dari mereka. Kutiru cara belajar mereka, lalu kuterapkan pada murid-murid di daerah.
Kini, aku bisa tampil percaya diri. Padahal, sebelumnya aku sempat merasa minder keluar masuk rumah murid-murid yang kebanyakan dari kalangan orang berada. Akan tetapi, aku kagum melihat mereka yang rajin, pintar, juga saleh.
Ternyata, kunci dari semua itu adalah disiplin. Semenjak awal, orang tua mereka menerapkan disiplin tinggi dalam segala hal. Pantas saja aku dan murid-muridku tertinggal jauh karena sikap itu belum tertanam dengan benar dalam diri kami.
Mengajar di lembaga bimbel dan privat di kota memberiku banyak pengalaman berharga. Pengalaman itu kemudian kubagi pada murid-murid binaanku di daerah.
Aku yakin, fasilitas seadanya bukan lagi hambatan karena aku bisa menerapkan cara belajar yang jauh lebih efektif, menyenangkan, dan mudah dipahami. Aku bangga karena kemudian banyak murid binaanku bisa lolos di sekolah lanjutan favorit di kota. Ini membuat reputasiku sebagai guru bimbel semakin meroket di daerah sehingga banyak orang tua yang menitipkan anaknya untuk mendapat binaan. Hingga akhirnya, aku dijuluki ‘Jago Matematika’***
Bandung Barat, 8 April 2021[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]