Pemenang pertama Challenge ke-3 NarasiPost.com untuk rubrik Opini dengan Tema "Keseteraan Gender dalam Perspektif Islam.
Oleh: Annisa Fauziah, S.Si
NarasiPost.Com-Berbicara tentang perempuan memang selalu menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan. Salah satu narasi yang dimunculkan, yaitu tentang konsep kesetaraan gender. Istilah ini tentu tak asing lagi kita dengar dalam keseharian. Namun, apakah kita sudah memahami esensi dari kesetaraan gender yang diusung oleh kaum feminis ini?
Konstruksi sosial patriarki yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki dianggap berkontribusi terhadap rendahnya kualitas perempuan. Hal tersebut dinilai mengakibatkan banyaknya ketimpangan yang dialami perempuan, baik dalam bidang ekonomi, politik maupun sosial.
Akhirnya, ide ini semakin masif untuk disebarluaskan di berbagai kalangan. Mulai dari institusi pendidikan, birokrat, milenial, bahkan di kalangan ibu rumah tangga. Pertanyaannya, benarkah perempuan membutuhkan kesetaraan gender? Apakah konsep kesetaraan gender benar-benar mampu membawa keadilan bagi perempuan atau justru memunculkan permasalahan baru?
Membongkar Kebobrokan Ide Kesetaraan Gender
Berdasarkan UN Women, kesetaraan gender mengacu pada persamaan hak, tanggung jawab dan kesempatan antara perempuan dan laki-laki dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Isu kesetaraan gender menjadi salah satu poin yang dicantumkan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs). (kumparan.com, 1/11/2020)
Atas dasar pembedayaan ekonomi, perempuan “dipaksa” untuk menjadi pekerja dan meninggalkan peran utamanya di rumah. Begitupun atas dasar mengejar sebuah eksistensi dan apresiasi, perempuan digiring untuk sepakat dengan sekularisasi. Dengan slogan “My body my authority”, menjadi justifikasi bahwa perempuan bebas mengekspresikan diri termasuk mengunggah foto berpakaian seksi. Dalihnya tak lain karena liberalisasi, “Asal gue happy dan tak membuat orang rugi.”
Semua narasi itu menunjukkan bobroknya ide kesetaraan gender sekaligus merupakan penyesatan yang terstruktur dan tersistemastis yang senantiasa dihembuskan penjajah Barat kepada perempuan saat ini. Di bawah sistem demokrasi, ide kesetaraan gender ini semakin masif disebarluaskan.
Dalam sistem kapitalisme sekuler, perempuan dijadikan sebagai komoditas layaknya barang dan jasa, pun perempuan dijadikan mesin ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan industri. Bahkan tak sedikit perempuan masa kini yang merasa bangga dan memiliki prestise tersendiri saat mempunyai penghasilan yang tinggi. Padahal, bukankah ukuran kesuksesan itu tidak diukur berdasarkan standar materi?
Kita harus jeli dan tidak mudah terbuai oleh bujuk rayu kaum feminis yang justru selalu menggambarkan perempuan adalah sebagai korban dan pihak yang selalu dimarginalkan. Bukankah justru konsep ini telah mengantarkan perempuan semakin jauh dari fitrah penciptaannya sebagai seorang insan?
Ide kesetaraan gender lahir dari rahim sistem kapitalisme sekuler yang diusung gerakan feminisme saat terjadi perubahan sosial di Barat, yaitu banyaknya ketidakadilan dan diskriminasi kepada perempuan. Fakta inilah yang menyebabkan perempuan menuntut keadilan dan kesetaraan gender.
Bahkan, ide kesetaraan gender ini akan mengancam struktur bangunan keluarga dan masyarakat hingga tak ada lagi jaminan bagi munculnya generasi terbaik pembangun peradaban. Hal itu dilakukan dengan mengalihkan orientasi peran perempuan dengan berpusat pada peran dalam bidang ekonomi bukan pada peran utama mereka sebagai ummu warabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga).
Ide Kesetaraan Gender Disebarluaskan untuk Menyerang Syariat Islam
Isu kesetaraan gender memang menjadi isu yang “seksi” untuk dibahas di berbagai media. Narasi seputar kesetaraan gender ini tak pernah terlepas untuk dikaitkan dengan syariat Islam yang dianggap mengekang atau membatasi ruang gerak perempuan. Apakah benar demikian ataukah semua ini hanyalah stigma negatif yang sengaja dibuat agar kaum muslimin meninggalkan pengaturan syariat Islam?
Kewajiban mencari nafkah yang dibebankan kepada laki-laki dianggap membatasi perempuan untuk berkarya dan memberdayakan diri. Pemberian warisan kepada laki-laki dengan jumlah yang lebih besar dari perempuan dinilai sebagai bentuk ketidakadilan. Begitupun penempatan laki-laki sebagai imam dalam keluarga digambarkan sebagai tindakan otoriter dan inferioritas posisi perempuan dalam sebuah keluarga.
Hal tersebut wajar menjadi argumentasi dari para feminis untuk menyerang syariat Islam karena mereka hanya melihat sebagian dari hukum Islam dalam kerangka kehidupan sekuler liberal saat ini. Padahal, selamanya penerapan syariat Islam tidak akan pernah kompatibel untuk diterapkan dalam sistem sekuler liberal.
Sudut Pandang Islam terhadap Kesetaraan Gender
Standar yang diberikan oleh Islam dalam melihat dunia bukanlah berdasarkan sudut pandang feminitas atau maskulinitas. Akan tetapi, berdasarkan standar Sang Ilahi, yaitu melihat laki-laki atau perempuan sebagai manusia. Di sisi lain, laki-laki dan perempuan memiliki misi penciptaan untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba serta akan memperoleh balasan berupa pahala atau sanksi sesuai dengan amal perbuatannya.
Allah Swt telah mengatur kehidupan manusia secara adil sesuai dengan tempatnya, yang tidak lain sesuai dengan aturan Sang Pencipta, yaitu syariat Islam. Sebagai manusia, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban yang sama dalam melakukan ketaatan dan ibadah untuk meraih rida Allah Swt. Oleh karena itu, tidak perlu perempuan bersusah payah untuk menuntut haknya. Aturan yang telah Allah Swt tetapkan telah sedemikian rupa mengatur peran laki-laki maupun perempuan sesuai dengan fitrahnya. Dalil hukum syara’ yang dikhususkan bagi perempuan tentu tidak bisa disebut sebagai sebuah diskriminasi sebagaimana yang narasi yang dibangun oleh para feminis dan liberalis selama ini. Allah Swt berfirman dalam Alquran surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu …”
Oleh karena itu, bukan gender yang menjadi standar kemuliaan seorang hamba, tetapi ketaatan mereka di hadapan Allah Swt.
Di dalam syariat Islam, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapat pendidikan, hak kesehatan, hak untuk dipilih dan memilih, hak berpendapat dan sebagainya. Syariat Islam pun hadir untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan (kejahiliyahan) menuju kepada cahaya (Islam). Bukankah sejarah menunjukkan bahwa syariat Islam hadir untuk menghapuskan kebiasaan buruk masyarakat Arab jahiliyah yang gemar membunuh hidup-hidup anak perempuan?
Sistem Islam senantiasa mendudukkan perempuan pada posisi yang mulia tanpa harus diberi label kesetaraan gender. Sebagai seorang perempuan, tentu kita harus memahami peran utama kita di dunia ini. Islam memandang bahwa peran utama perempuan, yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga sekaligus sebagai pencetak generasi pembangun peradaban. Adapun kewajiban-kewajiban berbeda yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan merupakan bentuk tanggungjawabnya sebagai makhluk Allah Swt yang akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Misalnya saja, kewajiban untuk mencari nafkah bagi seorang laki-laki tentu tidak dipandang sebagai sebuah pembebanan dalam menjalankan sebagai seorang qawwam (pemimpin) dalam keluarga. Makna qawwam tidak diartikan sebagai superiortas laki-laki terhadap perempuan. Namun, merupakan pengaturan dan pemeliharaan suami dalam rumah tangganya.
Relasi laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga bukan seperti bos dan karyawan. Bukan pula seperti penguasa dan rakyatnya yang bebas memerintah sekehendaknya. Namun, syariat Islam menempatkan posisi laki-laki dan perempuan (suami-istri) di dalam rumah tangga layaknya sahabat.
Oleh karena itu, kesetaraan dan keadilan dalam kehidupan rumah tangga bukan tentang pembagian tugas yang harus sama, tetapi tentang sinergi dan kolaborasi. Semua aktivitas dilakukan dalam rangka melaksanakan ketaatan seorang hamba kepada Allah Swt. Maka, motivasi yang harus dihadirkan bukanlah hitung-hitungan amalan. Justru semangat berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat) untuk mempersembahkan sebaik-baiknya amalan.
Ketika satu sama lain saling membantu dan menebar kebaikan, maka semua itu dilandasi dengan semangat untuk saling tolong-menolong (taawun) dan meluaskan kebermanfaatan. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk saling bersinergi dalam menjalankan perannya di dunia ini, yaitu dalam rangka beribadah kepada Allah Swt.
Kita bisa melihat secara jelas betapa konsep kesetaraan gender adalah narasi berbahaya yang harus diluruskan. Ide kesetaraan gender ini hanyalah sebuah ilusi, buah penerapan sistem kapitalisme sekuler saat ini. Sistem Islam tidak mengenal dan tidak membutuhkan ide kesetaraan gender untuk memuliakan perempuan. Justru perempuan akan mulia karena keterikatannya kepada hukum syara’ bukan kepada hukum buatan manusia.
Oleh karena itu, jika sistem Islam sudah memiliki seperangkat aturan yang sempurna (kafah), kenapa kita masih terus berharap keadilan dengan mengusung ide kesetaraan gender? Padahal, hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafah maka seluruh permasalahan perempuan termasuk seluruh problematika kehidupan bisa diselesaikan secara tuntas.[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]