"Bagai racun berbalut madu. Hari kasih sayang yang dipuja dunia ini sejatinya telah mengoyak akidah umat muslim, khususnya generasi dan mendorong mereka pada jurang kemaksiatan serta degradasi moral. VD ini menjadi momen pelegalan free sex."
(Pemenang Naskah Opini Terbaik Challenge ke-2 NP dengan Tema "Valentine dalam Perspektif Islam)
Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
NarasiPost.Com-Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim pantas berbangga karena akan mendapatkan bonus demografi pada rentang waktu mulai 2010-2025 hingga tahun-tahun setelahnya. Akan tetapi, jangan terlampau senang, karena tantangannya pun tak kalah besar. Generasi berada di persimpangan, dihantam derasnya arus perang pemikiran. Barat dengan ideologi kapitalismenya tidak akan tinggal diam. Berbagai upaya dikerahkan demi kehancuran generasi Islam.
Dilansir dari nomorsatukaltim.com (16/02/2020) berbagai surel pers otoritatif menyimpulkan penjualan coklat laku keras di Valentine's Day. Secara bersamaan, angka penjualan kondom meningkat fantastis. Mirisnya, yang membeli alat kontrasepsi itu adalah pemuda usia 17-23 tahun. Sejalan dengan itu, survei Kristen Mark pada 2017 menyebutkan, 85 persen responden menganggap seks sebagai perkara penting para perayaan Valentine's Day.
Valentine’s Day adalah momen untuk menggenjot belanja ritel dunia. Para kapital mereguk untung besar dari penjualan produk di momen ini. Setiap tahun angkanya selalu meningkat. Bahkan masyarakat Hongkong rela merogoh kocek sekitar $243 dolar/orang untuk belanja Valentine. Sementara orang Indonesia sekitar $16 dolar (tirto.id, 15/02/2015).
Valentine’s Day (VD) merupakan salah satu ritual tahunan yang dirayakan oleh banyak orang secara serentak di berbagai belahan dunia, termasuk negeri muslim. Bagai racun berbalut madu. Hari kasih sayang yang dipuja dunia ini sejatinya telah mengoyak akidah umat muslim, khususnya generasi dan mendorong mereka pada jurang kemaksiatan serta degradasi moral. VD ini menjadi momen pelegalan free sex.
Bukan hanya itu, VD menjadi momen berharga bagi para kapitalis untuk meraup pundi-pundi emas demi memasarkan produk-produk industri mereka. Sebut saja coklat, bunga, boneka, kartu ucapan, kondom, dan segala pernak-pernik khasnya. Cafe, resto, dan hotel yang menyediakan fasilitas plus-plus. Indonesia menjadi pasar yang sangat menggiurkan.
Indonesia Terancam Lost Generation
Indonesia menduduki peringkat ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Kekayaan alam berlimpahruah. Uniknya negeri kepulauan nan seksi ini mayoritas penduduknya muslim. Bonus demografi merupakan fenomena usia produktif (15-64 tahun) lebih dominan dibandingkan dengan usia non-produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun). Potensi kuantitas penduduk usia produktif ini seharusnya penjadi peluang emas bagi kemajuan negeri, jika generasi yang ada berkualitas, bermoral, dan visioner.
Sayangnya kita masih menyaksikan generasi saat ini masih latah. Berbangga dengan hal-hal yang nirfaedah, terlebih di bulan Februari ini identik dengan satu momen yakni Valentine’s Day atau hari kasih sayang yang jatuh setiap tanggal 14 Februari. Euforia penyambutannya menggema seantero dunia, termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Padahal bila menilik sejarahnya, perayaan ini tidak pernah dilahirkan dari rahim Islam. Sebaliknya, lahir dari kebudayaan Barat yang bukan Islam. Setidaknya ada 2 cerita masyhur yang melegenda. Pertama, kisah tragis pendeta Valentine yang dieksekusi Raja Claudius II karena menikahkan pasangan muda dari kalangan militer, yang notabene mendapat pelarangan menikah dari Kaisar demi memperkuat militer saat itu. Kedua, festival Lupercalia yang merupakan tradisi Romawi kuno yang identik dengan hal yang berbau seks.
Semenjak itu dunia, khususnya para remaja turut merayakannya dengan ritual romantis hingga erotis. Ungkapan kasih sayang dengan memberikan pernak-pernik VD bahkan kehormatannya kepada pasangan bukan halal. Seakan free sex menjadi legal di momen ini.
Valentine’s Day bukan urusan kasih sayang semata, karena rasa kasih sayang bagian dari fitrah manusia, tidak ada dosa di dalamnya jika disalurkan pada orang dan cara yang benar. Persoalannya tidak sesederhana itu. Ada tabir kegelapan yang harus disingkap dari perayaan VD ini, yakni :
Pertama, pendangkalan akidah umat serta pengaruh budaya liberal. Mengikuti suatu ritual dan budaya yang tidak berasal dari Islam, hukumnya haram. Di akhirat nanti seseorang akan dikumpulkan dengan kaum yang diikuti (gaya hidup)nya semasa di dunia. Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda: “
"Barangsiapa yang mengikuti suatu kaum, maka dia termasuk golongan kaum tersebut.” (HR. Ahmad)
Sekularisme sepertinya telah menjadi akidah baru bagi mayoritas kaum muslim saat ini. Paham yang memisahkan antara agama dan kehidupan ini telah merasuki benak umat sehingga budaya liberal nan permisif mendarah daging. Generasi seakan amnesia pada identitas dirinya. Rela mengekor Barat demi sebuah eksistensi. VD yang berujung pergaulan bebas nan bablas dilakoni. Free sex becomes life style.
Kedua, peranan media dan ambisi para kapital dalam memasarkan VD sebagai komoditas bisnis. VD tidak tercatat dalam sejarah bangsa ini, baru di era 80-an budaya Barat merangsek ke negeri ini melalui media dan teknologi. Sehingga memengaruhi cara pandang dan gaya hidup generasi. VD merupakan produk bisnis demi mengelabui banyak kalangan, khususnya generasi agar terbius dengan ritual dan simbol yang direkayasa para kapitalis (pengusaha) untuk mengeruk keuntungan semata. Inilah watak asli ideologi kapitalisme.
Ketiga, keimanan yang lemah dan ketakwaan yang menipis pada diri individu, keluarga yang tidak membentengi, kontrol masyarakat yang mengendur, dan abainya negara dalam menjaga generasi. Negara memiliki peranan terbesar dan terpenting dalam membendung budaya Barat termasuk VD ini. Jika ini diabaikan, maka jebol semua pertahanan.
Nyatanya, negara menjadikan persoalan moral sebagai urusan personal, tanggungjawab keluarga semata. Kebijakan yang diambil pun bukan bersifat preventif, yaitu membina dan melindungi generasi dari budaya barat. Malah fokus pada tindakan kuratif, menangani korban free sex, aborsi, penularan penyakit kelamin dll. Alih-alih melarang pergaulan bebas, negara justru mengampanyekan bahaya pernikahan dini.
Demikianlah kita melihat bahwa fenomena VD bukan ritual satu hari belaka. Tapi dampaknya berkepanjangan. Negara telah gagal melindungi generasi dari kerusakan budaya Barat dan keserakahan para kapitalis. Sebabnya, negara telah memberlakukan sistem sekuler kapitalisme yang sarat dengan liberalisme. Sistem ini meniadakan agama dalam aturan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, generasi jauh dari agama, padahal seharusnya agama menjadi pedoman dalam pola pikir dan pola sikap mereka.
Bonus demografi, alih-alih menjadi generasi emas pemahat peradaban, malah terancam lost generation. Rusak tersebab budaya liberal, permisif dan konsumtif. Bukan suatu kebetulan, Barat memang merasa terganggu dengan potensi yang dimiliki negeri ini yang mayoritas muslim, karena bila dibiarkan akan menjadi kekuatan raksasa yang akan menyaingi bahkan mengancam eksistensi Barat sebagai negara adidaya. Oleh karenanya, sekuat tenaga mereka kerahkan untuk mematikan benih-benih kebangkitan Islam dengan menghancurkan generasi muslim dengan budaya liberal.
Say No to Valentine’s Day, Generasi Songsong Kebangkitan Khilafah
Setelah mengetahui gelap dan bahayanya VD, maka secara tegas kita ikrarkan: Say no to Valentine’s Day!
Generasi harus menyadari identitas mereka yang sebenarnya, yakni Islam, bukan Barat. Rujukan literasi mereka adalah Al-Qur'an dan Hadis. Role model mereka adalah Rasulullah, juga para Sahabat Nabi sebagai generasi terbaik sepanjang masa. Budaya mereka adalah Islam, yang pernah mengungguli peradaban manapun di dunia ini.
Islam hadir sebagai mabda, bukan agama semata. Mabda (ideologi) adalah pandangan mendasar dan menyeluruh mengenai manusia, alam semesta dan kehidupan; keterkaitannya dengan sebelum dan sesudah kehidupan. Mabda mampu menjawab segala persoalan kehidupan. Termasuk bagaimana penjagaan terhadap generasi. Setidaknya ada 3 pihak yang bertanggungjawab pada generasi yaitu: Pertama: keluarga, menjadi madrasatul ula (sekolah pertama) bagi pembentukan generasi islami, melalui pendidikan dari orangtua. Di sinilah generasi akan dibina dan dibiasakan melakukan segala aktivitas yang sesuai hukum syara berlandaskan idrak silah billah (kesadaran akan hubungannya dengan Allah).
Kedua: masyarakat, menjadi bi’ah (lingkungan) yang kondusif untuk terbentuknya kontrol sosial melalui aktivitas dakwah. Aktivitas amar ma’ruf nahyi munkar menjadi budaya yang dilestarikan.
Ketiga: negara, berperan dalam menerapkan mabda Islam. Inilah negara Khilafah yang didambakan. Menjadi garda terdepan yang akan menjadi junnah (perisai) bagi masuknya budaya Barat yang merusak dan ambisi keserakahan ideologi kapitalisme dan pengembannya. Jadi VD tidak bebas melenggang di negeri ini sebagai budaya impor yang membawa mudarat. Apalagi membiarkan kaum muslim menjadi pasar potensial bagi para kapitalis. Khilafah akan menjadikan generasi sebagai khairu ummah (umat terbaik).
Generasi harus memiliki keyakinan yang teguh bahwa Khilafah akan tegak pada masa mereka, sebagaimana janji Allah dan bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah.
Ikut dalam perjuangan dan bergabung dengan kelompok yang berkomitmen dalam membina dan menegakkan syariah Islam kaffah dan Khilafah. Inilah bonus demografi yang penuh keberkahan. Generasi emas yang akan memimpin dunia, menjadi trendsetter. Kebangkitan yang ditakuti Barat. Karena hanya Islam dengan Khilafahnya saja yang mampu membebaskan negeri-negeri muslim dari cengkeraman sekulerisme, liberalisme, dan kapitalisme. Sehingga abad ke-21 menjadi harapan kemenangan untuk Islam dan kaum muslim.
Wallahu ‘alam bi ash-showwab[]
Photo : Pinterest