Si Mutiara Hitam yang Berhati Mulia

Si Mutiara HItam

Inilah, Rio. Si Mutiara hitam dari Papua yang berhati mulia. Badannya kecil tapi kuat menarik sampan, mendayung, hingga menarik jaring.

Oleh. Rosmiati
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Hujan menari sedari pagi. Menuai keributan di atap-atap rumah warga. Membangunkan siapa pun di pagi itu.Di luar, dedaunan juga basah karenanya. Jalan-jalan yang belum teraspal juga mulai becek dibuatnya. Tak ada yang menarik di pagi itu. Kecuali penduduk kampung yang penuh semangat, sebab akan beribadah pada hari itu.

Saya pun coba mengusir kebosanan dengan meraih telepon genggam. Saya lupa, kalau tak akan mungkin notifikasi WA dan FB bisa masuk. Sementara, di kampung ini tak ada jaringan.

Segera kubangunkan badan. Saya pun berjalan ke arah jendela kayu lalu membukanya. Sontak saya pun berpapasan dengan warga yang juga tengah melihat ke arah jendela. Dengan senyum yang terkembang, ucapan selamat pagi sampai ke telingaku, dengan sigap saya membalasnya. Begitulah penduduk kampung. Mereka selalu ramah kepada pendatang.

Mereka adalah warga yang tinggal di pantai. Dan pagi itu mereka tengah berjalan menuju tempat ibadah. Sepintas saya teringat dengan sejarah asal-usul lahirnya kata Minggu untuk menyebut hari suci bagi umat Nasrani.

Di mana itu berasal dari nama orang suci di zaman Portugis saat masih di Nusantara. Yakni, Santo Dominggo. Dahulu, setiap Ahad orang-orang Portugis selalu datang untuk beribadah bersamanya. Dan lama kelamaan dari kata Dominggo bertransformasi menjadi Minggu oleh lidah penduduk lokal. Maka lahirlah kata Minggu di mana menjadi hari suci bagi umat Nasrani. (Sripoku.com)

Tak lama berdiri di depan jendela. Saya pun memutuskan ke dapur. Mengingat saya yang bertugas memasak nasi setiap pagi dan sore hari. Sementara, teman-teman yang lainnya, sudah dengan tugasnya masing-masing pula.Kompor Hock mulai kunyalakan. Lalu kuambil wajan dan memasukkan beberapa liter air.

Tinggal di daerah terpencil yang tak memiliki penerangan memadai 24 jam, memaksa kami harus memasak nasi dengan cara manual. Ya, kami hanya menikmati listrik pada malam hari. Itu pun listrik ada dari pukul 18.00-22.00. Selebihnya, kami menyalakan lampu pelita untuk menghabiskan malam.

Pagi itu di kampung kami yang jumlah KK-nya tak sampai seratus itu masih cukup sepi. Tak ada aktivitas apa pun dari warga. Karena mereka semua ke gereja. Kampung di mana kami ditempatkan untuk Kuliah Kerja Nyata (KKN) ini memiliki aturan yang disepakati bersama oleh masyarakat bahwa di hari Minggu semua aktivitas harus dihentikan baik itu ke kebun maupun ke laut. Semua warga harus menghadiri aktivitas ibadah di gereja. Apabila ada yang melanggar maka akan dikenai sanksi sosial.

Ya, setelah beberapa menit berlalu, nasi yang kutanak pun mulai mengeluarkan aroma yang membuat perut keroncongan. Saya pun segera mengambil piring dan menyendok beberapa centong nasi untuk disantap sebagai pengganjal perut pagi itu.

Tinggal di daerah terpencil memang cukup menguji kesabaran. Kita diminta puasa dari segala sesuatu yang lumrah ditemui di kota. Ya, betapa tidak, di sini tak ada jajanan yang lewat di pagi hari layaknya di daerah atau di kampung-kampung pada umumnya.

Di kampung kami, warung atau kios untuk sekadar berbelanja kebutuhan harian seperti sabun, pasta gigi, dan lainnya tak ada. Kami harus ke kampung tetangga jika ingin berbelanja. Dan ini harus melewati jalanan yang sepi hutan belantara. Itulah mengapa, nasi putih ini menemani sarapan pagiku selama berada di lokasi KKN.

Namun, sarapan pagiku hari itu harus terhenti kala terdengar sapaan ‘Selamat pagi’ dari seorang anak kecil hitam manis di tangga rumah. Saya pun meletakkan piring nasi yang kugenggam ke lantai. Lalu beranjak mendekat ke muka pintu.

"Eh, Rio! Kamu tidak pergi ibadah?" tanyaku heran pada anak hitam manis di depanku. Karena tadi anak-anak sebayanya ke gereja.

"Tidak, Kakak!" jawabnya singkat.

"Kenapa? ‘Kan hari ini semuanya harus ibadah toh?!" timpalku coba mengulik alasannya. Sayangnya, anak itu tak memberi jawaban.

"Ya, sudah. Mari naik!" ucapku.
Anak kelas 3 SD itu pun segera naik ke rumah. Saya pun izin kepadanya untuk kembali melanjutkan sarapan. Tak lupa pula saya menawarkannya untuk ikut sarapan. Tetapi, bocah Papua itu menolak.
Ia pun duduk tak jauh dari samping pintu utama. Sambil memperhatikan saya melahap nasi putih tadi. Tak sampai beberapa menit lamanya. Si anak hitam manis itu minta izin untuk kembali.

"Kakak, Mario mana kah?" tanyanya sebelum beranjak.

"Kakak, kurang tahu juga. Ke Gereja kapa!" jawabku.

"Oh iya Kakak. Sa pergi dulu!"

Rio si hitam manis pun berlalu. Dan saya kembali melanjutkan sarapan pagiku.

(Beberapa jam kemudian)

"Kakak … Kakak Ros!" Terdengar namaku dipanggil dari kejauhan. Saya pun melihat ke depan pintu. Tak pelak, Rio dan Mario tengah menenteng ember cat berwarna putih dengan berjalan sempoyongan. Saya pun sejurus kebingungan. Apa yang dibawa kedua anak itu? Sampai berjalan sudah sempoyongan begitu? tanyaku dalam hati.

Keduanya pun semakin mendekat.

"Kakak buka pintu belakang!" pinta Rio dengan napas terengah-engah.

"Iya!" jawabku.

Dan tak pelak. Kedua anak itu membawakanku ikan yang mana ember cat yang berwarna putih itu nyaris penuh. Saya pun sejurus terdiam.

"Ambil cepat, Kakak!" ucap Rio.

"Iya!" jawabku yang masih tak percaya. Dari mana kedua bocah hitam manis ini bisa mendapatkan ikan sebanyak ini? Minta kepada nelayan tidak mungkin. Sebab hari ini tak ada warga yang turun ke laut. Memancing sendiri? Apa iya? Kok cepat sekali! Pertanyaan-pertanyaan itu sejenak berkelindan dalam benakku. Kedua anak ini telah membuatku bertanya-tanya siang itu.

"Kakak, torang pergi main dulu e."
"Eh, sabar dulu! Kakak mau tanya! Kalian dapat ikan ini dari mana?"
"Dari laut to, Kakak!"
jawab Mario sambil tertawa.

"Iya. Kakak, tahu dari laut. Tapi, kalian pakai apa? Bukannya hari ini dilarang pi laut?"

"Tong mancing to, Kakak!"

"Hmm, Kakak tara percaya. Rio ni belum lama tadi ada di sini. Masa pergi mancing cepat begitu!"

Kedua anak itu pun terdiam di depanku. Saya pun menunggu siapa yang akan berbicara selanjutnya.

https://narasipost.com/story/01/2024/senandung-pilu-si-gadis-bisu/

Saya sendiri juga menjadi ragu untuk menerima ikan ini. Sebab saya perlu tahu dari mana keduanya memperolehnya? Bukankah kelak semua apa yang masuk ke perut dan menjadi daging akan ditanyai oleh Allah Swt. Bahkan mereka kelak kembali bersaksi?

"Ah, tarada, Kakak. Torang pakai perahu dan jaring di pante. Torang dua Mario tarik akan baru pergi pasang jaring!" jelas Rio mengklarifikasi. Gubrak! Serasa langit runtuh di kepalaku. Bagaimana mungkin kedua anak ini bisa senekat itu.

“Iya, Kakak! Tong biasa pakai perahu dan jaring itu,” sambung Mario.

"Rio, Mario … kam dua tahu to itu kan dilarang. Masyarakat adat larang hari Minggu ke laut. Kalau ketahuan kam dua dapat marah!"

"Habis, sa liat Kakak Ros makan nasi kosong jadi. Makanya sa panggil Mario tong dua ke laut untuk pasang jaring. Biar Kakak dong tara makan nasi kosong lagi!" sambung Rio memberi alasan.

Kini giliranku yang tak bisa berkata-kata. Rupanya, Rio memperhatikanku ketika sedang sarapan pagi tadi. Meski ia tak bertanya alasannya mengapa hingga saya makan nasi kosong dalam istilah mereka. Ia langsung bisa ngeh kalau kami tak ada ikan di rumah. Padahal bukan persoalan ada dan tidak ada ikan di dapur. Saya memang pada dasarnya suka makan nasi putih yang baru matang dan masih panas-panas.

Saya pun hanya bisa menarik napas. Sambil menggeleng-geleng kepala. Sementara, mereka berdua langsung berlari jauh dari rumah. Sungguh, ini momen yang akan selalu kukenang. Betapa pekanya ia. Seorang anak hitam manis yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Inilah, Rio. Si Mutiara hitam dari Papua yang berhati mulia. Badannya kecil tapi kuat menarik sampan, mendayung, hingga menarik jaring. Saat kami kembali ke kota. Ia anak yang paling bersedih. Sampai tak mau mendekat dan melihat kami.

Kini sudah delapan tahun berlalu. Saya berharap, Rio dan semua anak di kampung itu tidak putus sekolah. Dan kelak semoga bisa berjumpa lagi.

Sekian ceritaku, dalam memori Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah pulau terpencil di Papua. Semoga menjadi inspirasi bagi anak-anak lainnya. Agar peka dengan kondisi sekitar. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Rosmiati,S.Si Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Merdeka Belajar & Nasib Generasi di Antara Kebijakan Kapitalistik
Next
Allah Tempat Terbaik Mencurahkan Isi Hati
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
7 months ago

salut sekali dengan Rio dan Mario. anak kecil yang sudah memiliki rasa peka dan peduli kepada sekitarnya. semoga kelak mereka mendapatkan hidayah dari Allah untuk menempuh jalan Islam dan menjadi pejuang Islam yang tangguh. Aaamiin

Wiwik Hayaali
Wiwik Hayaali
7 months ago

Rio istimewa. Jarang anak-anak memiliki kepekaan seperti Rio. Akan tetapi, kepekaan bisa diajarkan pada anak-anak sedari kecil, salah satunya dengan memberikan contoh nyata secara berulang.

Novianti
Novianti
7 months ago

KKN di Papua? Koq, sampai terdampar di sana,ya? Ternyata listrik saja masih jam-jam an. Oh...betapa tidak meratanya pembangunan selama ini.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram