Kelebihan utama yang ditawarkan televisi digital di antaranya terkait dengan kualitas audio visual yang lebih jernih dibanding kualitas pada televisi analog.
Oleh. Qaulan Karima
NarasiPost.Com-Digitalisasi penyiaran yang ditandai dengan migrasi televisi analog ke televisi digital merupakan amanat dari Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Migrasi tersebut secara khusus diatur dalam pasal tambahan pada Undang-Undang Penyiaran, pasal 60A ayat 2 yang menyatakan bahwa migrasi televisi dari analog menjadi digital dilakukan selambat-lambatnya 2 tahun setelah Undang-Undang Cipta Kerja diberlakukan. Artinya, proses migrasi tersebut harus sudah dilakukan pada November 2022.
Transformasi Teknologi Penyiaran Televisi Digital
Pemerintah mengeluarkan kebijakan ini dalam rangka transformasi teknologi untuk menyusul ketertinggalan Indonesia dibanding negara-negara Asia lainnya dalam hal penyiaran televisi digital. Migrasi televisi analog menjadi televisi digital diharapkan dapat menciptakan efisiensi penggunaan pita frekuensi sehingga dapat dialokasikan untuk keperluan lain seperti percepatan teknologi 5G di Indonesia. Kelebihan utama yang ditawarkan televisi digital di antaranya terkait dengan kualitas audio visual yang lebih jernih dibanding kualitas pada televisi analog. Kelebihan lainnya dari televisi digital adalah penonton dapat menyaksikan jenis tayangan program yang lebih beragam.
Namun, untuk merasakan kelebihan-kelebihan televisi digital tersebut, masyarakat harus melakukan penyesuaian pada perangkat televisi. Masyarakat yang selama ini masih menggunakan televisi analog harus menambahkan perangkat yang disebut set top box (STB) atau mengganti dengan televisi baru yang dilengkapi perangkat penerima sinyal digital, Digital Video Broadcasting - Terrestrial second generation (DVB-T2).
Beban Anggaran Negara
Bagi masyarakat, penerapan kebijakan ini jelas-jelas akan menambah beban pengeluaran untuk membeli perangkat penunjang siaran melalui televisi digital. Anggaran negara pun akan terbebani karena pemerintah berjanji akan membagikan set top box (STB) bagi masyarakat. Direktur Penyiaran Kominfo, dilansir dari situs Antara News, menyebutkan sebanyak 6,7 juta set top box (STB) akan dibagikan kepada keluarga miskin. Kebijakan ini selain berat diongkos, juga sangat tidak kontekstual.
Kebijakan yang mengatur digitalisasi penyiaran ini lahir dan diterapkan di tengah pandemi, di saat terjadi krisis di berbagai bidang. APBN di tahun kedua pandemi Covid-19 ini dalam kondisi kritis, defisit melebar, utang bertambah, krisis ekonomi di depan mata. Pemerintah harusnya lebih peka, lebih bijak, dan lebih dapat memformulasikan kebijakan yang efektif. Rakyat hari ini lebih butuh negara yang benar-benar dapat memberi jaminan kesehatan dan ketahanan ekonomi ketimbang memberikan seperangkat set top box (STB). Jangan sampai demi gengsi negara, rakyat lagi-lagi jadi korban.
Tidak ada yang salah apabila muncul keinginan negara untuk mengikuti perkembangan teknologi. Kemajuan teknologi juga akan membawa manfaat bagi kehidupan masyarakat. Namun dalam proses pengambilan kebijakan, hendaknya pemerintah perlu memilah dan memilih teknologi yang tepat guna bagi masyarakat. Terkait penyiaran, masyarakat Indonesia lebih butuh peningkatan kualitas program yang ditayangkan di TV (lebih butuh program yang mendidik) daripada peningkatan kualitas siaran TV secara teknis.
Penggunaan Anggaran dalam Sistem Islam
Pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam penggunaan anggaran untuk sebuah kebijakan apalagi di masa pandemi. Kehati-hatian dalam penggunaan APBN diatur dalam sistem ekonomi Islam. Al Qur'an sebagai landasan utama sistem ekonomi Islam merupakan satu-satunya kitab suci yang berisi perintah tentang bagaimana seharusnya negara membuat kebijakan mengenai pendapatan dan pengeluaran. Sistem ekonomi yang sesuai ajaran Islam menerapkan enam prinsip sebagai landasan rasional dan pengatur konsistensi pengeluaran publik. Keenam prinsip tersebut dijelaskan dalam kitab al-Qawâid al-Fiqhiyyah (Jajuli, 2017).
Salah satu prinsip belanja negara dalam sistem ekonomi Islam yang paling relevan untuk membaca wacana penerapan kebijakan digitalisasi penyiaran ini adalah belanja oleh negara diprioritaskan untuk penghapusan kesulitan dan kerugian, bukan penyediaan kenyamanan. Set top box (STB) yang nantinya akan dibagikan pemerintah kepada keluarga miskin merupakan alat penunjang untuk menghadirkan hiburan melalui televisi yang cenderung pada penciptaan kenyamaan. Set top box bukan prioritas dibanding dengan alat-alat dan fasilitas kesehatan yang sangat dibutuhkan di masa pandemi dalam rangka menghapuskan kesulitan dan kerugian yang dialami masyarakat sebagai efek sistemik penularan Covid-19.
Sedemikian detailnya Islam mengatur urusan manusia bahkan sampai pada urusan perekonomian negara. Negara yang menegakkan sistem Islam secara kafah memastikan rakyat tidak ada yang terzalimi karena penyalahgunaan anggaran negara.
وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Q.S. Al Baqarah:188)[]