"Di tengah ancaman kolapsnya berbagai sektor di negeri ini, tak hanya sektor kesehatan tetapi juga sektor ekonomi, para tokoh politik negeri ini justru sibuk berstrategi demi meraih suara rakyat di pesta demokrasi mendatang.Miris !"
Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Redaktur Pelaksana NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Menjelang pesta demokrasi 2024, kampanye politik mulai digelar. Para tokoh politik ramai-ramai go public demi menaikkan elektabilitas. Salah satu bentuk kampanye yang mereka lakukan adalah dengan mamasang foto diri dan sekelumit kata-kata manis dalam bentangan baliho.
Adapun sejumlah tokoh politik yang paling banyak memasang baliho di antaranya Puan Maharani, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, hingga Agus Harimurti Yudhoyono. Foto-foto mereka di atas baliho raksasa terpampang di sejumlah lokasi di Indonesia. Sungguh, kontestasi politik sudah terasa, meski panggungnya baru dibuka 3 tahun lagi.
Namun demikian, banyak kalangan menilai bahwa maraknya baliho kampanye politik tersebut tak menunjukkan empati terhadap kondisi masyarakat saat ini. Menurut Irfan Wahyudi, pengamat Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair), bertebarannya papan reklame berisikan politikus yang berkampanye, telah mencederai semangat masyarakat yang sedang berjuang dari pandemi Covid-19. (Republika.co.id/15-08-2021)
Begitu pun yang dikatakan oleh Pengamat Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes), Cahyo Seftyono, bahwa pemasangan baliho dengan kondisi sekarang (pandemi) sebenarnya kurang pas. Akan tetapi, menurut beliau di sisi lain kalau berbicara konteks kebutuhan mereka sebagai politisi sah-sah saja. (Kompas.com/13-08-2021)
Pencitraan di Tengah Kegagalan
Masyarakat negeri ini masih berkubang derita akibat kegagalan penguasa negeri ini menangani pandemi. Betapa tidak, dunia pun mengakui bahwa Indonesia adalah negara yang paling tinggi tingkat kematiannya akibat Covid-19. Itu artinya, sistem kesehatan negeri ini tak cukup siap menghadapi pandemi. Sebaliknya sistem kesehatan hampir kolaps. Demikianlah, akhirnya Indonesia dinyatakan sebagai episentrum penularan Covid-19 di dunia.
Namun, mirisnya di tengah ancaman kolapsnya berbagai sektor di negeri ini, tak hanya sektor kesehatan tetapi juga sektor ekonomi, para tokoh politik negeri ini justru sibuk berstrategi demi meraih suara rakyat di pesta demokrasi mendatang. Pencitraan demi pencitraan ditebar di atas jeritan rakyat yang kian terpuruk akibat ketidakseriusan pemerintah menangani pandemi. Di manakah empati? Apakah sudah terkalahkan rasa empati itu dengan ambisi berkuasa?
Rakyat Tak Butuh Janji
Sejatinya, rakyat negeri ini tak butuh obral janji. Yang mereka butuhkan adalah bukti pemeliharaan penguasa atas diri mereka secara nyata. Faktanya, rakyat justru berkali-kali menelan kecewa atas janji manis yang tak pernah terealisasi. Suara mereka laksana mutiara yang berharga hanya di saat pemilihan saja, setelahnya suara rakyat tak sama sekali didengar. Jadi, cukuplah bagi kita untuk meyakini bahwa sistem demokrasi melahirkan orang-orang yang kental akan syahwat kuasa. Mereka mengeluarkan berbagai jurus demi menaikkan citra diri di hadapan rakyat. Termasuk mereka berkolaborasi dengan pengusaha demi mendapat sokongan dana segar yang akan melancarkan kampanyenya.
Demokrasi memang mahal, konsekuensinya pun tak main-main. Para tokoh yang kelak naik ke kursi jabatan akan berusaha sekuat daya untuk mengembalikan 'modal' kepada korporasi yang telah menyokong mereka. Maka, di sinilah perilaku korupsi begitu menggiurkan. Bahkan dana bantuan untuk rakyat ikut diembat seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Ya, bukankah sudah sering rakyat menyaksikan para pejabat publik terjerat kasus korupsi, suap, dan sejenisnya?
Inilah potret buram demokrasi yang sungguh memuakkan rakyat. Janji-janji kosong kerap diumbar demi mengantarkan mereka ke kursi panas kekuasaan. Dari sini patutnya rakyat menyadari bahwa sesungguhnya sistem yang dipakai hari ini tak layak digunakan lagi.
Sistem Islam Lahirkan Pemimpin Antipencitraan
Dalam Islam, jabatan itu tidak diminta, melainkan diberikan kepada orang yang dipandang layak mengemban amanah kekuasaan. Jika seseorang meminta jabatan, justru itu berbahaya, bisa jadi ada maksud terselubung di baliknya. Maka Islam telah mengantisipasi yang demikian.
Suatu hari, Abu Said Abdurahman bin Samurah mengatakan bahwasannya Rasulullah Saw menyampaikan, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kekuasaan, karena sesungguhnya jika engkau diberi kekuasaan tanpa memintanya, engkau akan ditolong untuk menjalankannya. Namun, jika engkau diberi kekuasaan karena memintanya, engkau akan dibebani dalam menjalankan kekuasaan tersebut.” (HR.Muttafaqunalaih)
Maka, sepanjang sejarah tegaknya sistem Islam dalam naungan Khilafah, jabatan dalam struktur pemerintahan khilafah, termasuk jabatan khalifah, diangkat berdasarkan penunjukkan oleh Khalifah (untuk jabatan wali, qodhi, amil) atau pemilihan oleh rakyat (untuk jabatan khalifah).
Individu rakyat dalam sistem Islam tak ada yang berambisi naik ke tampuk kekuasaan karena sistem Islam telah menanamkan ketakwaan yang menghujam di dada setiap individu rakyatnya. Sehingga mereka paham bahwa jabatan yang diemban
kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Dengan begitu, mereka akan memiliki pemahaman bahwa sebuah jabatan merupakan amanah yang harus ditunaikan dengan adil, bukan sebagai kendaraan untuk memperkaya diri.
Pernah terjadi dalam sejarah bahwa Umar bin Abdul Aziz menangis ketika diamanahi jabatan sebagai Khalifah. Beliau menggigil karena tak kuasa membayangkan betapa beratnya pertanggungjawaban kepemimpinannya kelak di hadapan Allah. Sungguh bertolak belakang dengan kondisi hari ini, jabatan justru dikejar setengah mati sebab menjanjikan materi.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita berpaling kepada sistem Islam, karena hanya dengannya lah lahir pemimpin antipencitraan. Justru yang akan terlahir adalah pemimpin yang sibuk melayani rakyatnya sepenuh hati, seperti Umar bin Khattab yang sibuk mengontrol kondisi rakyatnya dan memastikan tidak ada satu pun dari rakyatnya yang menderita. Jelaslah bahwa para pemangku kekuasaan dalam sistem Islam lebih gemar membuktikan keseriusannya mengemban amanah, daripada sekadar pencitraan di hadapan manusia. Wallahu'alam bisshawab.[]