Baha'i Ditoleransi, Moderasi Kian Dipupuki

"Baha'i aliran sesat namun dilindungi di negeri ini.Ide-ide moderasi kian kokoh sehingga Membentuk rantai pengebirian terhadap Islam kafah dan pembendungan terhadap kebangkitan sistem Islam dalam naungan Khilafah."

Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Tim Redaksi Narasipost.com)

NarasiPost.Com-Kebebasan di negeri demokrasi merupakan hal yang lazim adanya. Mengingat demokrasi memang menjadi payung atas eksistensi liberalisme yang mengatasnamakan jaminan hak asasi manusia. Namun bahayanya, kebebasan yang diimplementasikan justru tak sedikit yang malah menabrak rambu-rambu norma di tengah masyarakat, termasuk rambu-rambu syariat. Salah satunya adalah kebebasan beragama yang diakui dalam sistem demokrasi, menjadikan setiap orang bebas mengimplentasikan kepercayaannya meski terang-terangan melenceng dari kebenaran.

Sebagaimana yang belakangan ramai mencuat ke publik, 'agama' Baha'i dibela setengah mati oleh para pengusung liberalisme. Bermula dengan viralnya video ucapan selamat hari raya Naw Ruz dari Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, terhadap Baha'i. Adapun hari raya Naw Ruz merupakan tahun baru Baha'i. Sebelum merayakan Naw Ruz, para penganut Baha'i terlebih dulu melakukan puasa selama 19 hari.

Kontan saja video ucapan selamat dari Pak Menag tersebut menuai beragam kontroversi. Betapa tidak, Baha'i merupakan sebuah aliran menyimpang yang tak layak diakui. Pun Baha'i tidak termasuk ke dalam enam agama yang diakui di negeri ini. Baha'i juga tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari aliran agama Islam. Sebab beberapa ajarannya tampak tidak sejalan dengan Islam.

Dilansir dari Wikipedia.com, ajaran Baha'i di antaranya menyatakan bahwa agama Tuhan itu harus sesuai dengan ilmu pengetahuan. Adapun kepercayaan yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan, maka bukanlah iman tetapi ketakhayulan belaka.

Dalam ajaran Bahá'í, sejarah keagamaan dipandang sebagai suatu proses pendidikan bagi umat manusia melalui para utusan Tuhan yang disebut para "Perwujudan Tuhan". Bahá'u'lláh dianggap sebagai perwujudan Tuhan yang terbaru. Dia mengaku sebagai pendidik Ilahi yang telah dijanjikan bagi semua umat dan yang diwahyukan dalam agama Kristen, Islam, Buddha, dan agama-agama lainnya. 

Selain itu, dalam ajaran Baha'i, ibadah haji bukan ke Baitullah di Mekkah, tetapi ke rumah tempat lahirnya Al-Bab Mirza Ali, ziarah ke tempat penjaranya, dan ke rumah 18 pemimpin lainnya. Setelah tongkat estafet Al-Bab beralih ke Mirza Husain Ali, maka kiblat salat dan tujuan haji mereka ke Haifa di Israel (lokasi kuburan pendiri sekte Baha’i).

Jika menilik sejarahnya, Baha'i pertama kali muncul di Persia pada tahun 1863. Pendirinya adalah Mirza Husayn-Ali Nuri yang bergelar Baha'ullah yang bermakna kemuliaan Tuhan. Aktivitasnya pada saat itu sangat terbatas, sebab wilayah Persia pada saat itu berada dalam genggaman daulah Khilafah Islamiyah.

Adapun Baha'i masuk ke Indonesia pada tahun 1878 dan sempat dilarang eksistensinya oleh pemerintah pada tahun 1962. Namun kemudian larangan tersebut dicabut lewat Keputusan Presiden Nomor 69 Tahun 2000.

Demokrasi Menoleransi Baha'i demi Moderasi

Meski sudah nyata kesesatan ajaran Baha'i, namun masih banyak pihak-pihak yang membelanya, bahkan dari kalangan pemerintah, salah satunya staf Khusus Menteri Agama, Ishfah Abidal Aziz, menyebut bahwa langkah Menag tersebut sudah berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, di antara yang membela Menag adalah juga jaringan Gusdurian. Sebagaimana dilansir oleh Cnnindonesia.com (01-08-2021), mereka mendukung langkah Kementerian Agama (Kemenag) yang membuat ucapan Hari Raya Naw Ruz kepada masyarakat Baha'i. Menurut Gusdurian, langkah Kemenag mempublikasikan ucapan tersebut sudah tepat. Alissa Wahid sebagai Koordinator Jaringan Gusdurian menyatakan bahwa pihaknya mengapresiasi dan mendukung langkah Kemenag mengenai ucapan selamat dalam perayaan hari besar berbagai agama yang ada di Indonesia. Menurutnya hal tersebut merupakan bukti pengakuan pada realitas keberagaman yang ada di Indonesia dan langkah yang penting untuk memberi pengakuan pada semua agama kepercayaan di Indonesia.

Tentu saja, statement-statement pembelaan terhadap Baha'i merupakan wujud atas penguatan moderasi beragama di negeri ini. Sebagaimana kita tahu, bahwa sejak lama pemerintah melalui Kementrian Agama telah memprioritaskan program-program pengarusutamaan moderasi beragama, di antaranya melalui kurikulum pendidikan dan para tokoh agama. Buku-buku pendidikan disesuaikan kurikulumnya dengan ide-ide moderasi. Adapun materi yang dianggap beraroma ekstremisme dihapus, seperti jihad dan khilafah, karena dianggap tak sejalan dengan moderasi beragama. Begitu pun para tokoh agama, diedukasi agar menjadi sosok penyampai ide-ide moderat ke tengah masyarakat.

Ide-ide moderasi juga dikemas dalam seminar-seminar dan agenda-agenda publik lainnya. Salah satu yang masif disuarakan bahwa moderasi beragama berarti menjungjung tinggi toleransi, antikekerasan, cinta tanah air, dan akomodatif terhadap budaya lokal. Dalam implementasinya, ide moderasi ini dipasarkan lewat narasi Islam nusantara. Sekilas tampak bersahaja, sebab bersesuaian dengan kearifan lokal. Namun, isinya jelas berbahaya dan dapat menjauhkan umat dari ajaran Islam yang hakiki.

Lewat Moderasi, Umat Diseret Menuju Liberalisasi

Isu toleransi yang bertalian dengan narasi moderasi, faktanya menyasar pada pembenaran atas semua agama yang ada. Tak ada kebenaran tunggal, yang ada adalah kebenaran relatif. Oleh karena itulah, aliran kepercayaan apa pun dilindungi di negeri ini, termasuk Ahmadiyah dan Baha'i. Padahal sudah jelas ajarannya menyimpang.

Begitulah hakikatnya pengarusan moderasi akan terus dilakukan demi menghadang penerapan syariat Islam yang sempurna. Hal tersebut sejalan dengan proyek war on terorism yang dihembuskan AS pasca tragedi WTC pada 11 September 2001. Tak lepas pula dari adanya analisis lembaga think tank Gedung Putih yang melakukan politik belah bambu lewat pendikotomian kelompok Islam di tengah masyarakat, yakni kelompok radikalis/fundamentalis, kelompok tradisionalis, dan kelompok moderat. Lewat pendikotomian itulah mereka menjalankan program-program tersistematis demi mengangkat salah satu kelompok dan menjatuhkan kelompok lainnya. Yang dijatuhkan tentu saja kelompok fundamentalis/ radikalis yang mereka terjemahkan sebagai kelompok pengusung ideologi Islam dan menginginkan bangkitnya Islam sebagai sebuah institusi.

Akhirnya semua saling berkelindan. Membentuk rantai pengebirian terhadap Islam kafah dan pembendungan terhadap kebangkitan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Semuanya dilakukan lewat narasi moderasi beragama. Lewat narasi moderasi itulah umat diarahkan untuk berpikir dan bersikap moderat ala Barat. Akibatnya, umat akan beragama alakadarnya, disesuaikan dengan zaman, dan mudah berkompromi dengan kekufuran. Sebaliknya, jika terlampai taat pada ajaran agama (baca:Islam), maka langsung dilabeli Radikal, dan distigmatisasi negatif.

Begitulah ide terselubung di balik narasi manis moderasi beragama. Sayangnya, di sistem kehidupan hari ini, ide moderasi terus dipupuk agar subur dan berbuah lahirnya agen-agen liberalis pengadopsi gaya hidup dan pemikiran Barat.

Sistem Islam Menjaga Akidah Umat

Jika Baha'i dibela setengah mati demi menumbuhsuburkan moderasi, maka sistem Islam takkan membiarkan berkembangnya kelompok-kelompok menyimpang di tengah-tengah umat.

Khilafah, sebagai institusi penerap syariat Islam secara kafah akan menjaga akidah umat dari segala sesuatu yang dapat menodainya, termasuk dari keberadaan kelompok menyimpang. Maka, Khilafah akan melakukan sejumlah upaya, di antaranya melakukan pembinaan di tengah-tengah masyarakat agar tak ada pemikiran sesat dan menyesatkan yang berkembang. Jika ada kelompok menyimpang yang terbentuk, maka Khalifah akan membentuk satuan khusus untuk menganganinya. Kelompok tersebut akan langsung dibubarkan sehingga tak berkesempatan menyebarluaskan ajarannya. Sementara, individu pengikutnya akan diajak untuk bertaubat dan kembali ke dalam ajaran Islam yang benar. Jika tak mau, maka Khalifah akan mengambil tindakan tegas, yakni bagi mereka yang murtad, Islam akan menjatuhkan sanksi berupa hukuman mati. Nabi Saw. bersabda, “Siapa saja yang murtad dari agamanya, bunuhlah!” (HR at-Tirmidzi)

Begitulah hakikatnya Islam menjaga akidah umat, sehingga tak ada celah bagi hadirnya para penista agama dan berkembangnya kelompok atau aliran sesat. Maka, semakin nyata bahwa kita membutuhkan tegaknya sistem Islam yang akan menjadi naungan bagi penerapan syariat Islam secara kafah di muka bumi. Hanya dengan itulah, umat manusia hidup diliputi kebaikan, keberkahan, dan kesejahteraan dalam hidupnya, serta keselamatan baginya di akhirat kelak. Lantas, masihkah kita ragu akan kebenaran Islam sebagai sebuah sistem kehidupan? Mari kita buktikan, terapkan syariat, tegakkan khilafah. Allahu Akbar![]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Hana Annisa Afriliani, S.S Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pemutus Kelezatan
Next
Menggenggam Ayat Cinta-Mu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram