Matinya Keadilan di Negeri Pewaris Hukum Penjajah

"Hukum tak lebih dari alat bagi negara untuk melestarikan kekuasaan. Hukum jelas tebang pilih, tajam ke bawah tumpul ke atas!"


Oleh. Rengganis Santika A,STP

NarasiPost.Com-"Sampai berjumpa lagi di pengadilan akhirat!" Itulah kata-kata yang meluncur dengan tegas menghujam hati dari lisan Habib Rizieq Shihab (HRS), yang sontak membuat bapak hakim pucat pasi. Tak perlu menjadi seorang hakim atau ahli hukum untuk merasakan adanya ketidakadilan atas kasus ini. Cukuplah seorang rakyat awam, namun menggunakan hati nuraninya sebagai seorang manusia waras untuk melihat kasus yang terang benderang ini. Sejatinya apabila publik jujur dengan nuraninya pasti sepakat bahwa semua ini adalah ketidakadilan!

HRS divonis empat tahun penjara dalam kasus berita bohong yang mengakibatkan keonaran, terkait hasil swab HRS di RS Ummi Bogor. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon yang juga anggota DPR RI mengatakan, "Apa yang dikenakan pada HRS, sungguh menggelikan, karena jelas ada perasaan ketidakadilan di masyarakat, dan ini sangat berlebihan atas apa yang dituduhkan dan dijatuhkan hukuman kepada HRS, hanya gara-gara kasus swab ini. Kemudian hukum dianggap sudah menjadi subordinasi politik atau kepentingan politik sehingga hukum sesuai dengan selera penguasa," ungkap Fadli Zon, yang juga mengkritisi penggunaan Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946, yang merupakan pasal warisan kolonial Belanda (penjajah), dikutip dari unggahan video YouTube pribadinya Fadli Zon Official, Jumat (25/6/2021).

Koordinator Forum Rakyat, Lieus Sungkharisma, juga mengatakan bahwa putusan majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah melukai rasa keadilan. "Bagaimana mungkin seorang yang hanya didakwa menyebarkan kebohongan melalui YouTube dan menyebabkan keonaran (padahal tidak terbukti) divonis lebih berat dari kebanyakan vonis bagi koruptor.
Sementara banyak pihak, disebut Lies, berharap HRS divonis bebas karena jelas tak bersalah. Kalau pemerintah benar-benar ingin menegakkan hukum, maka semua kebohongan yang banyak terjadi selama ini, dan membuat gaduh di masyarakat harus ditindak juga," (Kantor Berita Politik RMOLID, Jumat (25/6)).

Ketidakadilan Ciri Hukum Kapitalisme Demokrasi

Rakyat bagai disuguhkan "sinetron kejar tayang" ironi peradilan di negri yang mengaku sebagai negara hukum. Setiap episode justru mempertontonkan ketidakadilan secara nyata. Belum lama kita disuguhkan dengan episode diskon masa tahanan dari sepuluh tahun menjadi empat tahun terhadap Jaksa Pinangki. Seharusnya sebagai abdi hukum, ia memberi teladan penegakan hukum bagi rakyat. Namun justru malah mencoreng institusi penegak hukum, berkomplot dengan buronan koruptor kelas kakap. Episode lain yang tak kalah miris, orang nomor satu negeri ini terang-terangan menciptakan kerumunan di NTT, namun bebas jerat hukum. Demikian pula dengan kelakuan para pejabat, selebritis yang menggelar hajatan tanpa prokes. Termasuk kasus BTS meal kemarin, pihak McDonald hanya minta maaf atas kerumunan di banyak titik. Bandingkan dengan tuntutan hukum yang menimpa HRS. Belum lagi kebohongan-kebohongan dan janji-janji yang terus dilakukan rezim terhadap publik yang realitanya nihil!

Rezim, pejabat negara dan publik figur, mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan, memiliki imun terhadap hukum, tak tersentuh undang-undang dan jerat hukum. Sebaliknya pihak yang dianggap lawan atau bersebrangan dengan rezim, hukum bisa direkayasa begitu rupa sehingga menjeratnya. Hukum tak lebih dari alat bagi negara untuk melestarikan kekuasaan. Hukum jelas tebang pilih, tajam ke bawah tumpul ke atas! Sungguh semua ini sangat menyakiti nurani rakyat sekaligus menjungkirbalikkan akal sehat. Publik sudah muak dengan ketidakadilan ini. Siapa pun pemimpinnya, sejak dulu rakyat selalu jadi tumbal hukum warisan penjajah Belanda yang dibingkai sistem kapitalisme demokrasi yang diterapkan saat ini.

Hukum hanya berpihak pada kapitalis si pemilik modal. Bukan rahasia lagi, fakta suap bagi penegak hukum, sudah jadi fenomena. Hukum bisa dibeli oleh si kapitalis oligharki kepada penegak hukum. Anggota DPR adalah kelompok terbesar pelaku OTT korupsi. Ada anekdot "maju tak gentar membela yang bayar", maka jangan harap hukum seperti ini berpihak dan membela rakyat kecil, sebab demokrasi itu mahal dan kekuasaan tak murah.

Berpuluh tahun hidup di bawah ideologi kapitalis demokrasi, bangsa dan rakyat ini tak ada perubahan, hukum jauh dari kata adil. Negeri ini seperti tak punya pilihan tetap setia pada hukum kolonial. Jangan heran ketidakadilan adalah ciri hukum kapitalis demokrasi. Lantas sampai kapan semua ini terus terjadi? Saatnya rakyat harus berpikir kemudian bangkit untuk berubah!

Keadilan Hanya Ada dalam Islam

Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 58, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Allah juga berfirman dalam surat An-Nisa ayat 135 bahwa hukum Islam tak pernah pandang bulu. Ayat-ayat ini menggambarkan keadilan adalah jiwa sekaligus syarat wajib kepemimpinan secara umum. Satu-satunya kriteria hakim yang akan masuk surga hanyalah hakim yang adil yang memutus hukum sesuai kebenaran syariat-Nya, tidak terintimidasi kekuasaan dan kekuatan selain Allah, steril dari hawa nafsu materi dan dunia, karena takut murka dan azab Allah Ta'ala.

Keadilan Islam telah dibuktikan terwujud dalam peradaban Islam yang agung. Sejarah mencatat hakim atau qodhi Syuraih begitu independen, adil, bahkan disegani dan dihormati oleh nonmuslim. Mereka tidak hadir dari ruang hampa, namun didukung support system syariah Islam kafah dalam wadah khilafah, yang menjadikan ideologi Islam sebagai asas. Bila ada yang berteriak hukum Islam kejam dan barbar, tapi menutup mata atas kenyataan sejarah minimnya kriminalitas, mungkin karena tidak paham atau salah paham, hanya merujuk contoh salah yang sengaja diopinikan musuh-musuh Islam untuk mengotori benak kaum muslimin.

Kasus HRS seharusnya menjadi pelajaran, bisa membuka mata hati akan kebenaran bahwa semua hukum produk manusia apalagi warisan penjajah yang asasnya demokrasi terbukti gagal menciptakan keadilan. Mereka yang mempertahankan kondisi saat ini tak lebih hanya manusia yang masih haus kekuasaan. Mengapa fobia dengan syariat Allah yang maha Rahman dan Rahim? Padahal solusi dalam syariat-Nya terdapat keadilan hakiki . Wallahu 'alam.[]


photo : google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Ancaman dalam Mencetak Generasi Terbaik
Next
Bijak Bertindak Hadapi Covid yang Melonjak
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram