Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik perempuan yaitu seorang perempuan yang jika engkau memandangnya, engkau merasa gembira. Jika engkau memerintahnya, dia akan mentaatimu. Dan apabila engkau tidak ada di sisinya, dia akan menjaga hartamu dan dirinya”.
( HR Ahmad, Hakim, Nasa'i, dan Thabrani )
Oleh. Miliani Ahmad
( Kontributor Tetap NarasiPost.Com )
NarasiPost.Com-وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah Dia menciptakan bagimu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sungguh, yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mau berpikir.” (Q.S ar-Rum : 21)
Begitu agungnya Allah Swt menurunkan syariat tentang pernikahan. Syariat yang ditujukan agar tercipta ketenangan, kasih sayang, harmoni dan saling kasih di antara dua individu yang mengikat janji suci dalam sebuah biduk perkawinan. Namun, apa jadinya jika realitanya banyak rumah tangga yang tak mampu menggapai itu semua?
Saat ini, ketahanan keluarga banyak terkikis oleh beragam faktor. Bisa dari faktor internal ataupun eksternal. Pada faktor internal, bisa jadi disebabkan karena minimnya pemahaman tentang konsep berkeluarga yang benar. Namun pada faktor eksternal, faktor ini justru bisa lebih berbahaya. Di antaranya muncul konsep-konsep beracun yang mencoba menggerogoti tujuan berkeluarga. Salah satunya adalah anggapan syariat 'melayani' suami dianggap sebagai sebuah bentuk pengekangan. Jika dilakukan dengan paksaan maka suami dapat dikatakan melakukan pemerkosaan dan bisa diancam dengan pidana kurungan penjara 12 tahun lamanya.
Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sekarang ramai menjadi perbincangan. Istilah pemerkosaan dalam rumah tangga (marital rape) tersebut mencuat serta tak bisa diterima dengan logika. Akan tetapi, Theresia Iswarini selaku Komisioner Komnas Perempuan menyebutkan bahwa memang ada aduan yang dilakukan oleh para istri yang mengungkapkan bahwa mereka diperkosa suaminya.
Sebelumnya, aturan terkait perkosaan suami ini (marital rape) sudah pernah diatur dalam UU PKDRT, yakni pasal 53 UU 23/2004 yang ditambahkan dalam pasal 479. Pasal 53 UU 23/2004 tersebut berbunyi :
Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suamo terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan.
Sedangkan pasal 46 sendiri menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Sementara itu, dari fakta lapangan, Komnas Perempuan telah melaporkan dalam Catatan Tahunan 2021 setidaknya di tahun 2019 data pemerkosaan suami terhadap istri mencapai 192 kasus yang dilaporkan dan terjadi lagi di tahun 2020 dengan angka 100 kasus. Menurut Komnas Perempuan, data tersebut semakin menunjukkan secara fakta bahwa kasus pemerkosaan suami terhadap istri memang ada.
Kasus yang pernah terungkap dan dilaporkan di antaranya adalah kasus marital rape yang terjadi di Denpasar. Siti, seorang istri dikabarkan meninggal dunia akibat diperkosa Tohari suaminya dalam keadaan sakit-sakitan. Ada pula kasus Hari Ade Purwanto yang dikatakan melakukan pemerkosaan kepada istrinya di dalam hutan di Pasuruan pada 2011 silam. Ade akhirnya dijatuhi hukuman 16 bulan penjara.
Cacat Logika Marital Rape
Menurut pandangan pengusung kesetaraan gender, budaya patriarki telah membangun konstruksi sosial yang menjadikan kaum perempuan berada pada strata yang rendah termasuk dalam perkawinan. Dalam perkawinan, hubungan seksual bisa dilakukan sekehendak suami bahkan bisa dilakukan berulang-ulang. Kondisi ini dianggap sebagai sebuah kelaziman dalam masyarakat dan bukan termasuk kejahatan. Tentu hal ini membuat telinga pengusung ide kesetaraan menjadi panas. Bagi mereka, kondisi ini akan membuat nasib perempuan semakin termarginalkan.
Maka muncullah istilah marital rape. Secara makna, marital rape sendiri merupakan sebuah tindakan kekerasan seksual yang menimpa istri. Dapat dikatakan bahwa marital rape merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri untuk melakukan aktivitas seksual tanpa mempertimbangkan kondisi istri (Maria, 2007).
Dalam teori nurture dikatakan bahwa istri merupakan pelayan kebutuhan suami. Sehingga jika terjadi kekerasan seksual maka hal tersebut dianggap sebuah kewajaran. Bagi feminisme, kekerasan atas nama gender ini lebih sering disebabkan adanya ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam keluarga. Dapat disebut pula bahwa marital rape merupakan manifestasi ketidakadilan gender yang termasuk dalam "gender related violence".
Pandangan-pandangan demikian jelas merupakan pandangan yang batil. Dalam konsep Islam, justru istilah marital rape tidak diakui. Ketimpangan relasi atau ketidaksetaraan kekuatan merupakan makna-makna khas yang sering dinisbatkan kelompok-kelompok feminis kepada masyarakat agar masyarakat sepakat dengan ide perlawanan mereka.
Secara umum feminisme beranggapan bahwa budaya patriarki lebih disebabkan oleh doktrin-doktrin agama. Bagi mereka, budaya patriarki ini telah memberikan bentuk penjajahan terhadap perempuan. Perempuan tak memiliki pilihan. Perempuan selalu dipaksa untuk tunduk serta perempuan harus selamanya hidup dalam ketaatan. Tentu harus ada upaya untuk melepaskan diri dari itu semua. Sehingga jalan yang paling memungkinkan untuk lepas dari itu semua adalah dengan mengajak perempuan untuk berani melawan dan mendobrak konstruksi sosial dan agama. Namun sayangnya, kaum feminis telah terperangkap dalam pemikiran yang salah.
Jika dikaji dengan pandangan ideologi yang sahih, sejatinya marital rape merupakan sebuah kondisi yang muncul akibat kerusakan tatanan sosial di dalam masyarakat. Hal ini lebih dimotori oleh sistem sekuler yang telah lama menggerogoti tatanan kehidupan global. Pada sistem ini, pemahaman masyarakat terhadap perkawinan hanya dianggap sebagai sebuah ritual dan sahnya sebuah hubungan. Padahal kondisinya tidaklah seperti demikian.
Sesungguhnya, perkawinan tak bisa hanya dimaknai sebagai hubungan antara dua kekuatan yang berbeda. Akan tetapi, perkawinan merupakan penyatuan kedua insan yang memiliki status yang sama. Keduanya merupakan makhluk yang diciptakan dengan berbagai kelebihan dan disatukan untuk menciptakan kehidupan manusia yang berkesinambungan. Keduanya memiliki posisi dengan hak dan tanggung jawab masing-masing. Tidak ada yang berkedudukan lebih tinggi atau lebih rendah.
Hanya saja, pemahaman ini telah lama tereduksi akibat lemahnya pemahaman umat terhadap syariat. Sekularisme perlahan tapi pasti telah menghapus pemahaman umat tentang esensi pernikahan, hak dan kewajiban masing-masing pasangan, serta bagaimana cara membangun hubungan yang baik di antara pasangan. Allah Swt telah mengingatkan dalam firman-Nya,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Hai orang-orang beriman! Tidaklah halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu membuat susah mereka karena hendak menarik kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (Q.S an-Nisa : 19)
Jelas pada ayat ini, Allah memerintahkan para suami untuk berlaku ma'ruf dalam bergaul terhadap istrinya. Suami diharapkan dapat berlaku lembut, berkata sopan dan tidak boleh melakukan berbagai tindakan yang memberi kesan intimidasi, menakut-nakuti, mengancam bahkan melakukan kekerasan.
Sebaliknya, seorang istri pun harus mampu menjalankan segala kewajibannya dengan penuh rasa rida dan ikhlas. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga ia tidak akan merasa dijadikan bawahan atau pembantu atau bahkan merasa menjadi budak atas suaminya. Semua itu haruslah dilandasi oleh satu hal, yaitu keimanan. Keimanan ini menuntut para istri untuk dapat memberikan pelayanan terbaik bagi suaminya.
Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik perempuan yaitu seorang perempuan yang jika engkau memandangnya, engkau merasa gembira. Jika engkau memerintahnya, dia akan mentaatimu. Dan apabila engkau tidak ada di sisinya, dia akan menjaga hartamu dan dirinya”.
( HR Ahmad, Hakim, Nasa'i, dan Thabrani )
Dalam hal pelayanan privat, istri pun diarahkan untuk dapat mengejar surganya dengan menaati kehendak suaminya. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Kitab Sistem Pergaulan dalam Islam (an-Nizham al-Ijtimaa'iy fi al-Islam) menyebutkan, bahwa ketaatan terhadap suami merupakan kewajiban pokok bagi istri. Dalam hal ini Rasulullah Saw pun bersabda,
"Jika di malam hari seorang istri tidur meninggalkan tempat tidur suaminya, maka niscaya para malaikat melaknatnya sampai dirinya kembali." (Muttafaq 'alaih dari jalur Abu Hurairah)
Sehingga dengan kesadaran akan iman di antara keduanya maka terciptalah pergaulan keakraban layaknya sahabat. Suami menyayangi sekaligus mengerti istrinya, begitu pula sebaliknya. Suami memenuhi hak istrinya, begitu pula istri dengan lapang dada menjalankan kewajibannya. Dengan pemahaman yang demikian tak akan ditemukan istilah pemerkosaan dalam rumah tangga.
Sungguh kejahiliyaan yang nyata jika keluarga-keluarga muslim hari ini harus terjerumus pada kubangan kesesatan yang dibuat oleh feminisme. Istilah ini jika dipaksakan dipakai dalam kehidupan rumah tangga justru akan menghancurkan tatanan keluarga itu sendiri.
Perempuan (istri) yang terdorong mengadopsi pemikiran batil ini akan sangat mungkin membangkang terhadap perintah suaminya. Atas nama kesetaraan, perempuan akan melakukan perlawanan bahkan tanpa adanya malu, mereka berani menceritakan ranah privasi mereka. Sikap demikian tak layak dilakukan oleh seorang istri. Apalagi jika sampai suami dipidana karena kasus marital rape, lalu pertanyaannya, siapa yang akan bertanggung jawab terhadap keluarga dan anak-anaknya? Sementara jaminan negara terhadap kebutuhan pokok rakyatnya jelas tak bisa diharapkan.
Inilah sengkarut problem kehidupan yang diakibatkan oleh sekularisme. Semua tata kehidupan menjadi semakin rusak, mulai dari kehidupan individu rakyatnya, keluarga hingga tatanan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Maka, sudah saatnya keluarga-keluarga yang ada pada hari ini mengembalikan tujuan serta visi misi berkeluarga hanya pada landasan syariah Islam. Jika syariah itu belum terlaksana sempurna dalam sebuah sistem bernegara, sudah selayaknya umat memahami posisi mereka. Umat harus berupaya memperjuangkannya sesuai dengan thariqoh yang dicontohkan Rasulullah Saw. Meskipun berat, akan tetapi kehidupan Islam akan segera kembali. Yakinlah, itu semua sudah Allah Swt janjikan kepada orang-orang yang beriman, yang atas izin-Nya waktu itu akan segera tiba.
Wallahua’lam bish-showwab[]
photo : pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]