Tak Senikmat Merah Jambu

Salah satu naskah Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam rubrik True Story


Oleh: Choirin Fitri

NarasiPost.Com-"Maaf Na, ayah tak bisa menjadi wali dalam pernikahanmu."
Seraut kegusaran tergambar jelas di wajah pria setengah abad itu. Sebuah beban berat akan pertanggungjawaban sebagai seorang ayah membuat sebaris kalimat yang diucapkannya terdengar bergetar. Ada nada sesal yang tak bisa digambarkan.

"Kenapa Ayah?" Aina menatap ayahnya penuh tanya.

Ayah yang dikenalnya  amat bertanggung jawab dan penuh cinta kasih, kini menghantamnya dengan sebuah fakta pilu, fakta yang tak pernah ia sangka, fakta yang meruntuhkan impiannya.

Mata Aina tak berhenti menetes kala cerita demi cerita kedua orang tuanya di masa lalu terdengar pilu. Wanita perkasa yang rela meregang nyawa agar ia bisa melihat dunia dan mendidiknya itu memeluk Aina erat sambil berlinang air mata. Suaranya bergetar.

"Maafkan kami, Nak! Nafsu atas nama cinta sesaat telah membutakan mata dan hati kami. Maafkan kami, Nak, atas kesalahan dan dosa besar yang telah kami lakukan."

Mulut Aina terkunci. Tak ada kata yang sanggup ia ucapkan. Bahkan, kata maaf yang amat ringan  diucapkan pun tak dapat ia sampaikan. Hanya mata gadis itu yang bicara. Suara isak tangis kedua wanita itu terdengar memilukan.

Matahari sudah jauh tertelan malam. Namun, mata Aina tak bisa terpejam. Ingatannya berkelindan pada seorang laki-laki saleh yang telah meminangnya awal tahun ini. Akhir bulan ini adalah hari H yang telah ditentukan sebagai hari bahagia untuk keduanya. Akan tetapi, fakta yang terpampang di hadapannya saat ini membuat impian untuk mendampingi lelaki saleh itu seakan pudar.

Tak ada kata cinta. Tak ada sekuntum mawar merah. Tak ada seikat bunga. Tak ada sekotak coklat. Tak ada cincin berlian. Yang ada, lelaki itu datang pada ayahnya dan meminangnya pasca pertemuan perdana saat acara training kepenulisan akhir tahun lalu. Pertemuan singkat, tetapi amat membekas.

Tak ada satu alasan pun yang bisa diunggah Aina untuk menolak lelaki itu. Pekerjaan sebagai seorang dosen cukup mapan bagi seorang pria berumur tiga pulu tahunan. Kiprahnya dalam organisasi jurnalistik kampus juga tersohor. Bahkan, dari banyak pernyataan, dia adalah seorang yang rupawan baik fisik maupun agama. Sungguh, ia merasa beruntung jika kelak bisa menggenapkan agama bersamanya.

Akan tetapi, kini setelah apa yang terucap dari lisan kedua orang tuanya, sanggupkah ia menegakkan kepala di hadapan lelaki itu? Sanggupkah ia mendampingi lelaki saleh itu? Sanggupkah ia menjadi ibu yang melahirkan putra-putri lelaki rupawan itu?

Berbagai tanya berkecamuk dalam kepala Aina. Tak ada satu jawaban pun yang mampu hadir dalam benaknya. Hingga ia tahu bahwa dirinya harus menghadap Zat yang Maha Besar, Zat yang mampu memberikan titik terang atas apa yang ia rasakan, Zat yang mengujinya dengan masalah dan pasti menyiapkan seperangkat aturan untuk menyelesaikan. Ia tinggal bersabar dan berusaha untuk memecahkan.

Anggota wudu ia basahi dengan sempurna. Doa selepas wudu ia baca dengan takzim. Mukenah putih susu ia kenakan. Kini, ia tumpahkan segala rasa di atas sajadah hijau yang menghadap ke arah Ka'bah.

Tak ada suara selain isak tangis yang mampu ia sampaikan pada Rabb semesta alam. Ia yakini bahwa apa pun yang diungkapkan hatinya, Allah pasti mendengar. Karena Dialah Yang Maha Mendengar.

Malam merangkak pergi. Semalam ia hanya bisa mengeja doa, merangkai harap, dan mendendangkan tilawah untuk menetralisir hati yang harus sanggup menghadapi hari-hari ke depan. Ia tak boleh patah atau terjungkal pada keputusasaan. Meski sakit dan tertatih, ia harus bangun.

Pagi itu mentari seakan kompak dengan suasana hati Aina. Mentari bermalas-malasan. Ia enggan menampakkan sinarnya. Entah malu pada siapa. Muka bercahayanya ia sembunyikan di balik awan hitam.

Ibu Aina mengetuk pintu kamar bercat coklat.

"Na, ada surat untukmu. Ibu selipkan di bawah pintu ya, Nak!"

Terdengar langkah kaki menjauh. Aina berjalan gontai demi melihat sepucuk surat yang terbujur kaku di lantai kamarnya. Gadis berparas ayu itu menatap lekat. Ia seperti tidak asing dengan amplop itu. Tak ada nama hanya, sebuah tanda tangan dengan tinta hitam bertengger di pojok kanan atas.

"Mas Hamdan," nama itu ia sebut. Ada segurat senyum yang muncul ketika ia memberanikan diri membuka amplop putih polos itu.


Assalamu'alaikum..

Dek Aina yang semoga selalu dalam lindungan Allah, Laa tahzan! Hapus air matamu!

Niatku untuk menyempurnakan agama bersamamu takkan aku ubah. Walaupun ayahmu telah menceritakan semua padaku, bahwa cinta tak halal tak senikmat merah jambu. Maaf, aku tidak bisa menemuimu secara langsung. Aku takut setan akan menunggangi perjumpaan kita sebelum halal. Yakinlah! Adik dilahirkan dalam kondisi suci. Jika orang tuamu melakukan dosa, takkan Allah timpakan dosa itu padamu. Merekalah yang menanggungnya sendiri. Maafkanlah mereka! Allah saja Maha Pengampun. Jangan kaubebani mereka dengan sikapmu. Mereka sudah menanggalkan ego, malu, dan kehormatan mereka untuk menjaga kehormatanmu. Bayangkan! Andai ayah tidak mengaku padamu dan bersikeras menjadi walimu dalam pernikahan kita, bukankah itu malah akan merusak kehormatanmu, merusak kehormatan niat kita untuk berumah tangga sehidup sesurga? Ikhlaskanlah! Dan melangkahlah bersamaku meraih surga-Nya. Insyaallah akhir bulan ini adalah takdir yang Allah semai agar aku bisa menjadi imam hidupmu. Bersabarlah meniti ujian Allah dan bertawakallah!

Salam,
Hamdan[]


photo : google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Bullying Merusak Diri dan Orang Lain
Next
Nikmat Terbesar
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram