"Kasus KDRT yang menimpa perempuan tak dapat dicegah hanya dengan menegakkan UU yang notabenennya tak dapat menyelesaikan persoalan yang ada."
Oleh. Qisti Pristiwani
(Mahasiswi UMN AW)
NarasiPost.Com-Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) kembali menuai polemik di kalangan masyarakat. Pasalnya, ada pasal yang tertuang dalam rancangan tersebut mengenai pemerkosaan suami kepada istri, ataupun sebaliknya. Hal tersebut tertuang dalam pasal 479 RKUHP. Sebelumnya, delik ini sudah ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). (detikNews, 14 Jun 2021)
Adapun RUU ini dibuat, berangkat dari adanya data aduan yang diungkap Komnas Perempuan bahwa, "Berdasarkan Catatan Tahunan 2021, jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk 2020. Tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan," ucap komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini. (detikNews, 16/6/2021)
Terlebih lagi, data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkap terkait dengan angka pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 tercatat 299.911 kasus. (CNN Indonesia, 16/06/2021)
Maka dengan adanya RUU KUHP yang baru ini, diharapkan Indonesia mampu keluar dari jebakan kekerasan kejahatan seksual. Benarkah RUU KUHP tersebut mampu menjadi payung pelindung atas kasus kekerasan terhadap perempuan?
Tindak kekerasan pada perempuan, khususnya dalam rumah tangga, memang tak dapat dielakkan di sistem kehidupan kapitalisme-sekuler saat ini. KDRT kerap terjadi begitu mudah sekali. Jika ditelusuri, problem ini terjadi lantaran dipicu berbagai persoalan yang sistemik, mulai dari kurangnya keimanan yang dimiliki antara pasangan suami-istri, stress karena faktor ekonomi, faktor sosial, kurangnya pemahaman tentang tujuan pernikahan, hak dan kewajiban suami-istri, serta kurangnya perhatian negara pada keluarga-keluarga Indonesia.
Kehidupan sekuler telah melunturkan keimanan seseorang. Ketika pemikiran ini bercokol dalam benak-benak kaum muslimin, maka setiap perbuatan yang dilakukan tak lagi berdasarkan wahyu, melainkan hanya menuruti hawa nafsu. Sehingga, tak heran, rasa emosional, ancaman, tekanan, pemaksaan menjadi jalan pintas yang ditempuh untuk menyelesaikan segala ‘percekcokan’. Keadaan ini mustahil melahirkan keluarga yang harmonis. Malah akan melahirkan rasa kebencian antaranggota keluarga.
Pun demikian, sekularisme-kapitalistik melahirkan individu-individu yang hanya memikirkan kenikmatan duniawi belaka. Sehingga, apa yang menjadi tujuan pernikahan dan membangun sebuah keluarga menjadi kabur lantaran visi-misi utamanya telah disilaukan dengan kesenangan dunia. Dapat kita saksikan di kehidupan masyarakat hari ini. Suami-istri sibuk memperkaya dan mencari kesenangan diri sampai abai terhadap hak dan kewajibannya sebagai suami-istri. Suami tak lagi utuh menunaikan kewajibannya dan memenuhi hak istrinya secara lahir dan batin.
Demikian pula, dengan seorang istri. Para istri kini sibuk bekerja di luar rumah demi menggapai karir setinggi langit atau turut membantu perekonomian keluarga. Sehingga, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, menjadi tulang punggung perekonomian ketimbang di dalam rumah. Mereka beranggapan harus setara dengan para suami agar tak dipandang sebelah mata, tak direndahkan dan lebih dihargai. Sehingga terbebas dari ‘cemoohan sosial’ dan terbebas dari kekerasan rumah tangga. Pada akhirnya, mereka mengabdikan diri menjadi budak-budak kapitalis dalam kancah kehidupan dan mendukung suksesnya aktivitas feminisme, buah pemikiran dari kapitalisme-liberal.
Hal ini berakibat pada goyangnya kehidupan rumah tangga karena para istri/ibu tak lagi berperan utuh sebagai pengatur rumah tangga. Mereka juga tak dapat melayani suaminya sepenuh hati, sebab telah terkuras energinya di luar rumah. Tak jarang, masalah ranjang pun bisa menimbulkan pertikaian hebat yang berakhir pada kekerasan terhadap perempuan. Inilah pokok persoalan yang seharusnya menjadi fokus utama negara dalam membangun kemuliaan rumah tangga.
Negara harusnya memahami akar permasalahan yang sistemik ini dan mulai membenahi dari dasar. Sistem tatanan kehidupan kapitalisme-sekuler yang sedang diterapkan negara dalam semua lini kehidupan adalah biang kerok dari kerusakan keluarga Indonesia hari ini. Kasus KDRT yang menimpa perempuan tak dapat dicegah hanya dengan menegakkan UU yang notabenennya tak dapat menyelesaikan persoalan yang ada. RUU KUHP pasal 479 ini malah hanya akan memunculkan persoalan baru lainnya, misalnya perempuan tak melayani kebutuhan biologis suaminya dengan alasan yang dibenarkan UU. Padahal, ini adalah bentuk ketidakpatuhan istri terhadap suami jika alasannya tak sesuai hukum syara’. Lantas, bagaimana sistem Islam menyelesaikan persoalan kekerasan pada perempuan?
Dalam Islam, istri dan suami memiliki porsi kewajiban dan hak masing-masing yang telah diatur menurut agama. Tugas menafkahi lahir dan batin dibebankan kepada suami dan tugas mengatur rumah tangga serta melayani suami adalah kewajiban utama seorang istri. Dengan memahami tugas mulia ini, maka istri dan suami tak perlu bertukar peran hingga meninggalkan kewajibannya masing-masing. Namun, kesadaran ini hanya akan terwujud bila pasangan tersebut memiliki keimanan kepada Allah, sehingga kehidupan rumah tangganya diatur menurut pedoman Al-Qur’an dan Sunnah.
Islam memerintahkan agar suami mempergauli istri dengan cara yang baik. Allah Swt. berfirman :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
“… dan bergaullah dengan mereka secara baik (makruf).” (QS An-Nisa [4]: 19)
Dengan demikian, para suami hendaknya bersikap lemah lembut dan sering mengajak istri berkomunikasi dalam hal apa pun. Sehingga, apa keinginan dari kedua belah pihak dapat dimengerti dan meminimalisasi pertikaian. Dengan demikian, muncullah keharmonisan dalam hubungan.
Demikian pula seorang istri. Allah Swt memerintahkan agar istri mematuhi suami selama tak ada perintah darinya yang melanggar hukum syara’. Rasulullah Saw. pernah bertanya kepada seorang wanita, “Apakah engkau sudah bersuami?” Wanita itu menjawab, “ya.” Beliau lantas bersabda, “Sesungguhnya ia (suamimu) adalah surga atau nerakamu.” (HR. Al–Haakim dari jalur bibinya Husain bin Mihshin)
Maka, jika suami menginginkan untuk dilayani, seorang istri hendaknya melayani suami semampunya. Bila istri berhalangan karena suatu hal, maka hendaknya ia memberitahu kondisinya atau bersabar karenanya. Begitulah tuntunan Islam dalam membangun keharmonisan suami-istri. Tak ada istilah marital rape (pemerkosaan dalam perkawinan) dalam kamus Islam terhadap hubungan yang sah. Islam memiliki aturan yang menentramkan jiwa dalam rumah tangga. Maka hendaknya aturan Islam inilah yang dijadikan sandaran dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan bernegara.
Negara juga memiliki peran yang tak kalah penting demi mewujudkan keharmonisan dalam keluarga ini. Negara sebagai peri'ayah/pengurus urusan rakyat wajib memenuhi kebutuhan vital penduduknya. Pemimpin juga memberi pekerjaan kepada laki-laki agar ia dapat menunaikan kewajiban memberi nafkah keluarganya, sehingga, perempuan tak perlu terjun menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Dengan demikian, perempuan bisa fokus terhadap perannya sebagai pengatur rumah tangga dan bisa melayani suami sepenuh hati. Wallahua’lam bisshowab.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]