"Maraknya penghinaan terhadap Islam ini, sejatinya tak melahirkan kebijakan berupa undang-undang yang mampu menghentikan bahkan memberikan efek jera terhadap para pelaku. Meskipun sudah ada aturan berupa UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, namun UU ini belum mampu menjadi solusi."
Oleh. Miliani Ahmad
NarasiPost.Com-Tak terhitung sudah berapa banyak agama ini (Islam) dihina, dinista, bahkan dilecehkan. Baru-baru ini, penghinaan terhadap Islam kembali terjadi. Pelaku melalui akun Instagramnya @farhanah_santoso_2425 melancarkan aksi pembakaran terhadap Al-Qur’an. Selain itu pula, pada lembaran Al-Qur’an yang dibakar terdapat pula tulisan yang tidak pantas.
Namun saat ditelusuri, pemilik akun menyatakan bahwa akunnya telah diretas oleh seseorang. Sejak Oktober 2020 lalu akun tersebut sudah tidak digunakan lagi. Atas hal ini, polisi masih melakukan penyelidikan lebih dalam lagi. (jakarta.tribunnews.com, 24/05/2021).l
Selang beberapa waktu, polisi akhirnya bisa mengamankan seorang pria yang diduga sebagai pelaku pembakaran sebenarnya. Namun belum diketahui kronologi penangkapan pelaku dan motif dari pelaku. (gelora.co, 24/05/2021)
Sekularisme Sumber Akar Masalah
Di negeri yang mayoritas muslim ini, nyatanya umat Islam tak pernah hidup tenang. Banyak simbol maupun syariat Islam yang justru sering dilecehkan, bahkan dinistakan. Kasus penistaan surat Al-Maidah di beberapa tahun lalu sampai saat ini masih membekas di benak umat. Begitu pula kasus vandalisme yang makin marak menimpa tempat ibadah umat Islam.
Apalagi yang berkaitan dengan penghinaan terhadap kemuliaan Rasulullah Saw. Kita masih ingat, bagaimana ada seorang yang berani membandingkan Rasulullah Saw dengan Soekarno. Ada pula Game Remi Indonesia, sebuah game daring yang berisi kata-kata kasar terhadap Rasulullah. Pada akhirnya game ini dihapus dari play store. Lebih lanjut, statement konde lebih baik daripada kerudung makin memperjelas upaya-upaya untuk semakin memojokkan syariat Islam.
Maraknya penghinaan terhadap Islam ini, sejatinya tak melahirkan kebijakan berupa undang-undang yang mampu menghentikan bahkan memberikan efek jera terhadap para pelaku. Meskipun sudah ada aturan berupa UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, namun UU ini belum mampu menjadi solusi. Selama ini, pelaku bahkan tidak diberikan sanksi yang sepadan. Hingga tak heran, peluang penodaan dan penghinaan akan terus muncul ke permukaan.
Dalam sekularisme saat ini amat wajar jika pelaku tindakan penodaan agama tidak akan disanksi dengan sanksi sepadan. Sebab, sekularisme merupakan sebuah sistem yang membuang jauh peran agama dari tata sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada sekularisme, pola relasi dan pengaturan kehidupan individu diatur dengan liberalisme, yaitu paham yang memuja kebebasan yang diwujudkan dalam kebebasan bertingkah laku (freedom of behavior) dan kebebasan berpendapat (freedom of speech). Kebebasan-kebebasan inilah yang pada akhirnya menjadi justifikasi bagi individu-individu tertentu untuk bisa melakukan penghinaan. Ujungnya, penghinaan terhadap Islam makin menjamur dan tumbuh dengan subur. Inilah akar masalahnya.
Sekularisme akan selalu menjadi rahim bagi lahirnya pelaku-pelaku penghinaan. Tak hanya di negeri ini. Secara global pun sekularisme telah menjadi sebab terinjaknya syariat Islam. Umat semakin terhina dimana-mana. Tak ada satupun negara yang mampu menghentikan tindakan tersebut. Sebab, semua negara saat ini tak terkecuali negeri-negeri Islam semuanya mengadopsi sekularisme sebagai asas pengaturan sistem kehidupan.
Penghinaan terhadap Islam dalam Pandangan Syariat
Kasus penghinaan terhadap Islam sudah lama ada, tak terkecuali pada masa Rasulullah Saw. Meskipun telah terang benderang cahaya kebenaran Islam, namun pertentangan antara hak dan kebatilan tak akan pernah terhenti. Adalah seorang Yahudi bernama Finhash yang diajak oleh Abu Bakar ra. untuk masuk ke dalam Islam. Namun, dengan kesombongannya Finhash menolak ajakan tersebut bahkan ia berani berkata, “Demi Allah, Ya Abu Bakar. Sesungguhnya kami tidak membutuhkan Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang memerlukan kami. Tidak akan kami merendahkan diri kepada-Nya sebagaimana Dia merendahkan diri-Nya kepada kami. Jika Allah betul-betul Mahakaya seperti yang dikatakan oleh temanmu, pastilah Allah tak akan meminta pinjaman kepada kita. Allah melarang kamu melakukan riba, tapi memberikan riba kepada kami. Jika Allah betul-betul Mahakaya, Dia pasti tak akan memberikan kepada kami riba.”
Apa yang dikatakan oleh Finhash ini dilatarbelakangi oleh kedengkiannya terhadap firman Allah Swt. yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 245.
“Siapa saja yang meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah pasti akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak…”
Sontak saja Abu Bakar meradang marah lalu memukul wajahnya. Hingga akhirnya Finhash mengadukan perihal tersebut kepada Rasulullah Saw. Abu Bakar pun menceritakan kronologi peristiwanya, akan tetapi Finhash menyangkal bahwa ia telah melakukan penghinaan. Lalu turunlah surat Ali-Imron ayat 181 yang membuka kebohongan Finhash.
“Sungguh, Allah telah mendengar perkataan orang-orang (Yahudi) yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah itu miskin dan kami kaya.” Kami akan mencatat perkataan mereka dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar), dan Kami akan mengatakan (kepada mereka), “Rasakanlah olehmu azab yang membakar!”
Selanjutnya ada pula penghinaan terhadap Rasulullah Saw yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam yang munafik. Saat Rasulullah Saw pergi ke Tabuk, beliau melewati sekelompok orang munafik yang berkata “Inilah lelaki yang ingin menaklukkan Syam dan bentengnya, Mustahil!”
Sejurus kemudian Allah membongkar percakapan mereka. Mereka lalu menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main” Lalu turunlah surat At-Taubah ayat 65-66 yang memperjelas status kekafiran mereka.
Para ulama sepakat bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang hukuman mati bagi para penghina Islam. Jika pelaku bertobat maka hukuman mati tidak akan berlaku atasnya. Akan tetapi, meskipun tidak di hukum mati negara wajib memberikan ‘pelajaran’ sesuai tingkat penghinaannya terhadap Islam agar pelaku merasa jera. Seorang ulama dari kalangan Salafiyah, Ash-Shaidalani memberikan rincian bahwa jika ada pelaku yang mencaci Allah dan Rasul-Nya lalu ia bertobat, maka tobatnya diterima, tidak dihukum mati. Tapi, ia tetap diberikan ‘pelajaran’ berupa cambukan sebanyak 80 kali.
Islam Kafah Solusi Menjegal Penodaan Terhadap Agama
Tentu ketegasan sanksi sebagaimana yang dijelaskan di atas tak akan bisa diterapkan dalam sekularisme. Jika pun hal tersebut dijalankan justru akan menambah kerunyaman masalah dan akan semakin memojokkan Islam yang berlindung di balik isu HAM. Terlebih penerapan hukum Islam secara parsial tak sesuai dengan tuntunan syariat.
Untuk itulah, umat membutuhkan sebuah sistem kehidupan yang sempurna dan paripurna dalam mengentaskan masalah penghinaan, yaitu sebuah sistem yang berasal dari akidah Islam dan mampu menegakkan hukum Allah dengan segala kekuatannya. Sistem ini telah lama ada dan pernah dijalankan oleh Rasulullah Saw. dan para khalifah sesudahnya, mulai ditegakkan di Madinah al-Munawwarah hingga runtuh di tahun 1924 pada masa kekhilafahan Turki Utsmaniy. Sistem tersebut bernama sistem khilafah Islamiyah.
Dalam praktiknya, khilafah akan melakukan langkah-langkah preventif dan langkah kuratif untuk menghilangkan kasus-kasus penghinaan terhadap Islam. Pada langkah preventif negara wajib memberikan pendidikan terhadap umat dengan pendidikan yang berbasis akidah Islam.
Dengan model pendidikan ini, maka negara akan membentuk kepribadian (syakhsiyyah) masyarakat yang berpedoman kepada Islam. Sehingga pola pikir dan pola sikap masyarakat tidak akan merendahkan, menghina, melecehkan bahkan menodai Islam. Justru dengan sistem pendidikan yang demikian, akan terwujud masyarakat Islam yang akan secara sadar menjaga kemuliaan Islam bahkan akan semakin meninggikan kalimat Islam.
Negara pun wajib menutup celah bagi masuknya pemikiran-pemikian asing yang mampu mengoyak-ngoyak ajaran Islam, misalnya lewat media, baik media cetak, digital, ataupun media sosial. Jika masih ditemukan adanya pelanggaran, maka negara wajib mengambil langkah dengan memberikan sanksi yang tegas.
Terhadap individu pun juga berlaku hal yang sama. Jika ada individu yang terbukti melakukan penistaan atau penodaan, maka negara harus memberikan sanksi yang sudah ditetapkan. Tak boleh memilah apakah pelaku tersebut berasal dari keluarga pejabat negara, orang kaya, atau rakyat jelata. Semuanya berkedudukan sama di mata hukum.
Inilah yang akan dilakukan oleh khalifah sebagai pemimpin tertinggi umat Islam. Dengan ketegasan dan kesungguhannya dalam menerapkan hukum Allah, khalifah akan semakin meniscayakan tertutupnya pintu penghinaan terhadap Islam. Semuanya dilatari oleh satu hal, yaitu ketundukan dan keimanan terhadap Allah Swt. Walhasil, sudah seharusnya umat menyadari bahwa problem ini tak akan pernah berhenti sampai terealisasi solusi hakiki, yakni tegaknya Islam kafah dalam bingkai daulah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Tak akan mampu terwujud sistem demikian dalam sekularisme. Maka, tidakkah umat merindukannya dan berkehendak memperjuangkannya?
Wallahua’lam bish-showwab[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]