Ikan Lele dan Demokrasi

Demokrasi itu bagaikan peternakan ikan lele. Tidak ada teman abadi, bahkan sewaktu-waktu sahabat bisa jadi musuh. Dimana ada makanan empuk itulah yang menjadi sejawat karena persaudaraannya hanya sebatas isi perut.


Oleh. Hasna Huseini, S.Kom

NarasiPost.Com-Ikan air tawar yang tubuhnya licin agak pipih memanjang, berwarna hitam, dan dilengkapi dengan dua kumis panjang yang mencuat di sekitar mulutnya dikenal oleh masyarakat dengan sebutan ikan lele atau bahasa kerennya Clarias batracus. Lele menjadi makanan yang digemari bagi banyak orang lantaran ikan ini mengandung banyak nutirisi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, ditambah rasanya yang enak, murah, dan mudah diolah, serta mudah didapatkan.

Ada hal yang menarik perhatian saya ketika beternak lele. Bagi saya orang awam yang memang bukan asli peternak, itu hal yang sangat mengejutkan. Diawal lele yang saya ternak berjumlah 150 ekor, kemudian beberapa pekan kemudian ikan lele tumbuh kembang dengan baik dan saat itu perasaan menggebu pun menyertainya. Awalnya memberi makan hanya 2 kali sehari bahkan lebih. Seiring bertumbuhya ikan lele ini, maka harus semakin banyak pula makanan yang harus dikonsumsinya. Memang kodratnya begitu, semakin besar pasti kebutuhan makan pun semakin banyak.

Ternyata jenis ikan tawar ini adalah hewan kanibal. Ia tidak akan peduli mana teman dan mana saudara. Ketika ia lapar siapapun bisa disantapnya, tetapi biasanya ia mencari ikan yang badannya lebih kecil dan pastinya lebih lemah yang tidak punya kekuatan.

Terbukti jika di awal bulan ada 150 ekor lele, pada bulan kedua hanya tersisa 130 ekor dan kerap menemukan kepala dan tulang ikan lele saat membersihkan tempat salurannya. Jika sudah seperti ini sudah pasti disantap secara bersama-sama dan tidak menutup kemungkinan lele yang berhasil melalap temannya tadi dan berbagi makan bersama suatu ketika bisa saja akan menjadi santapan berikutnya. Padahal jika kita telusuri, mereka sudah satu tempat tinggal, bermain bergandengan, dan berbagi makanan bersama. Tapi itulah ikan lele, bagi mereka tidak ada teman abadi, bahkan sewaktu-waktu sahabat bisa jadi musuh. Dimana ada makanan empuk itulah yang menjadi sejawat karena persaudaraannya hanya sebatas isi perut.

Bercerita tentang demokrasi tentu sudah tidak asing lagi karena negara Indonesia menganut paham demokrasi, manusia berhak membuat peraturan atau undang-undang dan rakyat adalah sumber kedaulatan, terbukti dari semboyannya “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam sistem demokrasi rakyatlah yang membuat undang-undang dan rakyat pula yang menggaji kepala negara untuk menjalankan undang-undang tersebut. Karena kepala negara dan rakyat adalah kontrak kerja. Konon rakyat juga berhak mengubah atau mengganti peraturan itu sesuai dengan kehendaknya.

Sekilas paham ini terlihat sangat bagus karena rakyatlah sebagai penguasa, keputusan ada di tangan rakyat, dan semua demi dan untuk rakyat begitu katanya, walaupun pada kenyataannya itu hanya teori semata. Jika kita lihat fakta di lapangan, rakyat hanya diperlakukan dengan baik saat suaranya dibutuhkan, yakni menjelang pemilu tiba, Pilpres, Pileg ataupun Pilkada. Fenomena pemilu ini sudah menjadi rahasia umum dalam mengampanyekan dirinya. Dan akan banyak para calon yang teriak bahwa rakyat itu segalanya, semuanya diperjuangkan demi kesejahteraan rakyat, dan demi bangsa maupun negara.

Namun, pada faktanya praktik demokrasi Indonesia sangat mahal, sehingga sosok yang maju dipilih dalam kancah demokrasi Indonesia adalah sosok-sosok yang memiliki akses finansial berlebih atau memiliki donatur pengusaha kaya. Sehingga tidak asing jika mereka terpilih, maka apa yang dijanjikan untuk rakyat hanya tinggal janji karena setelah mereka terpilih mereka hanya berpikir bagaimana caranya mengembalikan uang yang dihamburkan saat berkampanye.

Sistem demokrasi ini memang mahal, tapi bukan untuk nyawa rakyat. Masih segar di ingatan bagaimana Pilpres tahun 2019 berlangsung dan menelan banyak korban jiwa. Sebutan cebong dan kampret sangat familiar saat itu dan keduanya saling membela paslon masing-masing. Apapun dilakukan demi calon yang diidamkan ini terpilih. Perang dingin pun terjadi di berbagai media sosial. Pendukung dengan sukarela mempromosikan calonnya, bahkan tidak merasa bersalah menjatuhkan dan menceritakan kebusukkan lawan. Sehingga Pemilu seperti hanya diartikan sebagai cara merebut kekuasaan, karena segala cara dihalalkan.

Akan tetapi, apa yang didapatkan rakyat dari pengorbanannya sampai berdarah-darah memperjuangkan paslonnya agar bisa duduk dikursi kekuasaan? Rakyat hanya bisa gigit jari, rakyat patah hati, "sudah jatuh ditimpa tangga pula", begitulah pepatah yang tepat menggambarkan kondisi saat itu. Kenapa tidak, ternyata paslon yang didukung kalah dan perjuangan tidak berhenti sampai di situ, kubu paslon pun tidak menerima hasil rekapitulasi suara yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sehingga kubu Paslon memilih bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) yang pada akhirnya MK menolak permohonan yang diajukan.

Pendukung seolah tidak menerima kekalahan, aksi demonstrasi pun berlangsung riuh dan ricuh. Saling serang antara massa aksi dengan aparat keamanan pun terjadi, massa menyerang dengan lemparan batu, sementara aparat keamanan membalasnya dengan tembakan gas air mata, sehingga banyak korban berjatuhan.(Kumparan.com, 18 Juni 2019)

Namun luka itu pun semakin mengganga ketika paslon yang didukung hingga darah penghabisan ternyata berkoalisi dengan lawan. Itulah fakta demokrasi, suara rakyat hanya digunakan untuk mencari semangkuk kekuasaan. Ternyata demokrasi ini tidak ada bedanya dengan ikan lele. Yang mana hewan kanibal ini tidak akan peduli mana teman dan mana lawan. Begitupun demokrasi, baginya tidak ada lawan abadi dan tidak ada pula teman abadi. Semua dibangun atas dasar manfaat, jika ada manfaat musuh bisa saja bergandengan tangan, begitu pula sebaliknya jika tidak ada lagi kepentingan, teman bisa jadi lawan. Itulah politik dalam demokrasi, semua hanya sandiwara belaka karena dibangun berdasarkan asas manfaat belaka.

Berbeda dengan Islam, manusia tidak berhak membuat aturan kehidupan karena kedaulatan adalah milik syara’, bukan milik negara atau rakyat. Adapun kekuasaan berada di tangan umat/rakyat l, sehingga khalifah adalah pelayan umat. Akidah Islam adalah esensi bernegara dan yang berhak membuat hukum hanyalah Allah Swt. bukan manusia atau sekelompok orang yang mengatasnamakan rakyat.

" Keputusan membuat hukum itu hanyalah milik Allah. ” (TQS. Yusuf : 14)

Metode untuk mengangkat seorang pemimpin atau khalifah adalah baiat. Umat berhak mengangkat khalifah, tapi tidak berhak dalam memberhentikannya. Khalifah dan rakyat bukan kontrak kerja yang digaji oleh rakyat, tetapi khalifah diberikan tunjangan oleh negara untuk sekadar memenuhi kebutuhan pokoknya karena tidak sempat bekerja dalam mengurusi umat. Khalifah adalah wakil rakyat dalam kekuasaan dan pelaksanaan hukum syara’. Khalifah wajib menjaga persatuan umat. Nyawa rakyat sangatlah mahal dalam sistem Islam “Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).

Nah, inilah sistem Islam yang dibangun bukan atas dasar manfaat tapi dibangun atas dasar akidah Islam, karena Islam sesuai dengan fitrah manusia dari berbagai sistem peraturan yang terpancar darinya. Sudah saatnya kita kembali kepada aturan Ilahi Rabbi. Aturan yang menentramkan hati dan sistem yang menurunkan berkah bagi penduduk bumi karena tidak ada aturan yang lebih baik daripada aturan buatan Sang Pencipta.

Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah 50).

Wallahu’alam bishshawab.[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Jalan Sunyi
Next
Dampak Pengingkaran Kerasulan Nabi Muhammad Saw Oleh Ahli Kitab Kepada Umat Islam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
ikan cupang besar
1 year ago

Hai penulis blog! Saya sangat terpesona dengan tulisan Anda tentang ikan kelatau dan keindahan air tawar. Ikan kelatau adalah salah satu spesies yang menjadi perhatian saya belakangan ini. Saya senang informasi yang lengkap yang saya temukan di sini.Memelihara dan melindungi lingkungan adalah hal yang krusial dalam menjaga keberlanjutan ekosistem air tawar. Spesies ini memiliki peran yang kritikal dalam menjaga ekosistem agar seimbang. Keindahan ikan kelatau tidak hanya berdampak pada kelestarian lingkungan, tetapi juga memberikan pemandangan yang menakjubkan. Saya berharap semakin banyak orang dapat menikmati langsung keindahan ini dan lebih peduli terhadap perlindungan sumber air tawar. Terima kasih atas artikel yang informatif dan menginspirasi ini.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram