“Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya…..” (H.R Muslim)"
Oleh. Miliani Ahmad
NarasiPost.Com-Pemerintah mewacanakan akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di tahun depan di kisaran 15%. Melalui kebijakan ini diharapkan mampu mendongkrak penerimaan keuangan negara yang terpuruk akibat hantaman wabah. Terdapat dua skema yang sedang dikaji pemerintah. Pertama, single tarif PPN. Pada opsi ini semua barang akan dikenakan PPN yang sama. Tidak ada pemilahan apakah barang tersebut termasuk barang mewah atau bukan. Berdasarkan UU tarifnya berkisar di rentang 5% - 15 %. Opsi kedua, yaitu mulitiple tarif PPN. Pada opsi ini akan terjadi pemilahan tarif terhadap barang atau jasa berdasarkan golongannya.
Kontan saja, rencana pemerintah ini menuai pro dan kontra. Kamrussamad, Anggota Komisi IX DPR mengatakan bahwa rencana tersebut menunjukkan adanya kegagalan Kemenkeu dalam mengelola APBN. Menurutnya, di tengah kelesuan ekonomi masyarakat, Kemenkeu gagal menjadikan APBN sebagai instrumen dalam melahirkan sumber ekonomi baru. Lebih lanjut, dirinya menilai bahwa kebijakan APBN yang digelontorkan pemerintah lebih didominasi dengan tujuan penyelamatan ekonomi yang tidak sejalan dengan prioritas penanganan di tengah pandemi. (liputan6.com, 12/05/2021)
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Tauhid, pun angkat suara. Menurutnya, menaikkan tarif PPN di tengah kondisi pandemi akan semakin menambah beban berat perkonomian. Apalagi dengan kondisi ekonomi yang belum pulih 100 persen dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di angka 4,8 persen. Baginya kebijakan menaikkan tarif PPN sangat bertentangan dengan teori ekspansi fiskal (suara.com, 11/05/2021)
Ekonomi Masyarakat Makin Terkontraksi
Tentu saja pihak yang paling terdampak jika tarif PPN ini benar-benar dinaikkan adalah masyarakat kecil. Sebab, tarif PPN tersebut harus ditanggung masyarakat yang notabenenya adalah konsumen. Hal ini akan semakin menekan daya beli masyarakat yang sudah lesu dan tertekan akibat kondisi pandemi.
Diprediksi pula bahwa kondisi perekonomian masyarakat akan semakin terpuruk. Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata menilai kenaikan tarif PPN ini akan memberikan konsekuensi adanya kenaikan inflasi ke kisaran angka 3% - 4% akibat cost-push-inflation. Efeknya, daya beli masyarakat akan melambat dan berpeluang menghambat laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2022.(nasional.kontan.co.id, 07/05/2021)
Jika terjadi inflasi lagi tentu nasib masyarakat akan kembali terpuruk. Di tengah upaya kebijakan Percepatan Ekonomi Nasional (PEN) yang terus digenjot, kebijakan menaikkan tarif PPN seakan menjadi boomerang bagi negeri ini.
Belum lagi, Kamar Dagang dan Indusrti (Kadin) Indonesia mewanti-wanti bahwa kenaikan tarif PPN ini akan berkorelasi dengan meningkatnya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Menurut Benny Soetrisno, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, kebijakan ini akan menekan angka penjualan. Imbasnya volume produksi barang akan menurun yang mengakibatkan adanya pengurangan jumlah tenaga kerja oleh perusahaan. (liputan6.com, 18/05/2021)
Kebijakan Berat Sebelah
Dalam sistem kapitalisme, amat wajar jika pajak merupakan sumber pemasukan penting bagi APBN selain utang negara. Pada periode lalu PPN memiliki kontribusi besar pada realisasi penerimaan pajak lebih dari 36 persen. Itu artinya, menggenjot penerimaan PPN bisa jadi merupakan langkah yang paling singkat dan cepat yang bisa digunakan untuk memaksimalkan penerimaan pendapatan.
Namun sayang, kebijakan menaikkan tarif PPN ini nyatanya akan melibas semua lapisan masyarakat. Mulai dari lapisan atas, menengah dan lapisan bawah. Yang paling tercekik tentunya lapisan masyarakat menengah dan bawah. Kelompok-kelompok ini dipastikan akan semakin menderita dan tidak memeroleh rasa keadilan.
Sementara itu, di tengah ramainya polemik naiknya tarif PPN, pemerintah justru berencana akan menurunkan tarif Pajak Korporasi atau Pajak Penghasilan (PPh) badan. Pada tahun 2022 mendatang pajak korporasi akan turun menjadi 20% yang sebelumnya berada di angka 22%. Istimewanya lagi pemerintah akan memberikan tambahan diskon menarik sebesar 3% bagi perusahaan yang memperdagangkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Amat miris, serangkaian kebijakan ini tentu semakin melukai perasaan masyarakat. Sebab sebelumnya pemerintah pun telah memberlakukan diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk pembelian mobil bagi masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas.
Kapitalisme Biang Masalah
Selamanya kapitalisme akan selalu menjadi biang masalah. Dalam skema penerimaan pendapatan anggaran negara, kapitalisme telah menetapkan bahwa pajak merupakan sumber pemasukan andalan. Hal ini merupakan dampak dari minimalnya peran negara dalam menata sistem perekonomian. Negara lebih memercayakan pengelolaan ekonomi kepada swasta dan mekanisme pasar. Efeknya negara tak memiliki pemasukan andalan yang bisa diperoleh, salah satunya dari jalur pengelolaan sumber daya alam. Jika sudah demikian, pada akhirnya rakyatlah yang harus diperas demi menambal setiap kekurangan dari APBN melalui pungutan pajak.
Padahal, negeri ini merupakan negeri yang kaya. Limpahan kekayaan alamnya sesungguhnya mampu untuk meningkatkan sumber pendapatan negara tanpa perlu membebankan kewajiban pajak kepada masyarakat. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bisa didapatkan dengan mudah dan dengan angka yang fantastis jika negara betul-betul mau serius mengelola aset sumber daya alamnya. Namun sayang, semua itu belum mampu terealisasi akibat cacat pengelolaan kapitalisme.
Bentangan 70 persen wilayah lautan yang menyimpan potensi keanekaragaman spesies laut belum bisa memberikan sumbangsih untuk menopang APBN. Apalagi jika ditambah dengan jutaan hektar lahan perkebunan dan hutan yang saat ini banyak dikuasai korporasi. Kondisi ini makin diperparah dengan semakin maraknya illegal logging dan illegal manning yang dilakukan oleh para mafia SDA. Semua ini seakan mengonfirmasi betapa buruknya tata kelola SDA yang berkiblat pada kapitalisme.
Pajak dalam Pandangan Islam
Sejatinya, pengelolaan negara akan berjalan dengan benar jika negara tersebut memiliki landasan sistem yang sahih dalam sistem pengaturannya. Islam sebagai sebuah ideologi telah memberikan petunjuk terbaik bagaimana semestinya mengelola negara, khususnya yang berkaitan dengan penanganan masalah keuangan negara.
Dalam Islam, sumber pemasukan APBN atau yang lebih dikenal baitul maal sudah ditetapkan oleh syara’. Posturnya terdiri dari penerimaan yang bersumber dari pengelolaan kepemilikan umum, fa’i dan kharaj serta harta shadaqoh.
Sementara itu, pajak tidak akan dijadikan andalan dalam memaksimalkan sumber pendapatan negara. Sebab pajak bukanlah sumber yang bisa dipungut secara terus-menerus dan konsisten dalam postur baitul maal.
Pajak hanya boleh dipungut atas kaum muslim jika kas keuangan negara dalam keadaan bermasalah. Kondisi demikian jika tak segera ditangani bisa mengakibatkan munculnya ketidakmampuan negara untuk melakukan langkah peri’ayahan terhadap kebutuhan-kebutuhan rakyatnya. Maka pemberlakuan kewajiban pungutan pajak pun bisa dilakukan untuk menghilangkan dhoror (bahaya). Sebagaimana Allah telah mewajibkan untuk menghilangkan dhoror kepada negara maupun kaum muslim.
Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak boleh mencelakakan orang lain dan tidak boleh mencelakakan diri sendiri.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad)
Selain itu, kewajiban pemungutan pajak hanya diperuntukkan atas pembiayaan yang bersifat wajib, seperti pembiayaan baitul maal untuk kondisi darurat, semisal musim paceklik, bencana alam, atau kondisi darurat apa pun yang menimpa kaum muslim. Lebih lanjut, jumlah pungutan pajak tidak boleh melebihi dari kadar yang dibutuhkan negara. Jika sudah tercukupi maka pungutan pajak bisa dihentikan.
Agar tidak memberatkan masyarakat ekonomi bawah, kewajiban pajak ini hanya diberikan kepada mereka yang berstatus aghniyaa (orang kaya). Itupun jika mereka telah mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna, sesuai dengan kelayakan standar tempat mereka tinggal. Jika tidak, maka tidak akan dibebankan kewajiban pajak atas mereka.
Dengan kata lain, pajak dalam kacamata Islam merupakan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah-masalah darurat akibat minimnya anggaran dan dipungut secara insidental. Sebab, secara khusus Islam telah menggariskan ketentuan atas negara agar tidak melakukan penarikan pajak secara permanen sebagaimana yang lazim ditemui dalam alam kapitalisme. Dalam sistem Islam, pajak hanya diizinkan jika keuangan negara dalam keadaan terdesak. Jika negara masih mengingkarinya maka negara tersebut telah bertindak zalim terhadap rakyatnya dan melakukan kemaksiatan terhadap Allah Swt.
Dari Ibnu Umar ra, bahwa nabi Saw bersabda,
“Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya…..” (H.R Muslim)
Dengan demikian, pajak dalam Islam tidak akan mencekik leher rakyat. Akan tetapi justru kebijakan pungutan pajak ini akan menjadi salah satu mekanisme solusi agar pengurusan negara terhadap rakyatnya bisa berjalan maksimal. Begitu sempurnanya aturan Islam, tidakkah kita tergerak untuk memperjuangkan penegakannya?
Wallahua’lam bish-showwab[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]
[…] https://narasipost.com/opini/05/2021/ppn-direncanakan-bakal-naik-ekonomi-masyarakat-makin-tercekik/ […]