“Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab, Betul”. Beliau bersabda, “Demikianlah bentuk kekurangan agama mereka.” (HR. Bukhari)
Oleh: Novriyani, M.Pd.
(Praktisi Pendidikan)
NarasiPost.Com-“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta” (TQS. Al-Baqarah: 9-10)
Viralnya unggahan di media sosial mengenai bolehnya seorang perempuan berpuasa dalam keadaan haid. Unggahan ini menjadi perbincangan hangat di tengah-tengah masyarakat karena pernyataan tersebut tidak sesuai ketentuan dalam syariat. Bahkan lembaga-lembaga Islam menolak dan mengecam alasan tersebut yang telah menyimpang dari Ijma Ulama.
Unggahan pernyataan tersebut ditayangkan di akun Instagram @mubadall.id. Akun tersebut mengunggah pernyataan seorang wanita boleh berpuasa itu dengan sumber tulisan Kiai im di situs mubadalah.id dan tulisan di situs tersebut sudah dilihat 11,6 ribu kali.
Setelah dikonfirmasi bahawasanya pihak tersebut telah menghapus unggahannya dari akun FB pribadinya. Meskipun unggahan tersebut telah dihapus namun tulisan tersebut sudah terlanjur menyebar dan viral. Unggahan mengenai pernyataan perempuan boleh berpuasa saat haid itu masih ada di akun Instagram dan situs mubadalah.id (detikNews.com, 3/5/2021)
Munculnya pandangan nyeleneh di sistem negara yang menganut liberalisme bukan pertama kali terjadi. Bahkan sebelumnya pernah menjadi viral seorang mahasiswa program Doktor salah satu perguruan tinggi Islam di Yogyakarta yang membahas disertasinya tentang halalnya melakukan hubungan zina dan dinyatakan lulus dalam ujian terbuka. Masih banyak pandangan nyeleneh yang terjadi di negeri ini, dengan dalih liberalisme dan kebebasan berpendapat dengan semaunya mereka mengungkan pandangan yang jelas salah dan merusak justru dianggap benar dan dihalalkan.
Sistem sekuler yang berlandaskan pada pemisahan agama dari kehidupan. Negara yang berlandaskan sistem sekulerisme akan selalu memberikan peluang untuk masyarakatnya bertindak sesuai keinginannya. Sekularisme adalah paham pemisahan agama dari kehidupan, sehingga melahirkan kebebasan berekspresi (bertingkah laku).
Konsekuensi dari negara yang berlandaskan kebebasan adalah yaitu siapa pun bebas berkata semaunya, walaupun menyinggung atau mengolok-olok bahkan memiliki pandangan yang nyeleneh sekalipun. Sah-sah saja bagi mereka melakukan tanpa takut ditindak aparat. Selain itu, tidak adanya peran negara dalam mengawasi paham-paham yang menyimpang terhadap ajaran Islam dan merusak akidahnya.
Seperti halnya pandangan mengenai dibolehkannya seorang perempuan berpuasa saat haid. Berbagai argumen dan alasan disampaikan untuk memperkuat pendapat mereka mengenai halalnya hal tersebut. Mereka menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang melarang perempuan haid untuk puasa. Kemudian, mereka menganggap bahwa perempuan yang haid lebih mirip dengan orang sakit yang mendapat keringanan (rukhshah) sehingga seorang perempuan yang haid juga seharusnya mendapat rukhshah antara melakukan puasa atau tidak.
Alasan lain mereka mengatakan bahwa Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra yang menyatakan bahwa Rasulullah hanya melarang shalat bagi perempuan haid dan tidak melarang puasa. Sebab, makna qadha yang dimaksud hadis adalah mengganti di luar waktunya. Namun, sesungguhnya sangat mungkin bermakna melaksanakan di dalam waktunya (Mubadalah [dot]id, 26/4/2021)
Alasan inilah yang memperkuat argumen mereka untuk membolehkan seorang berpuasa dalam keadaan haid. Hal ini juga yang akan membuat masyarakat terkecoh jika masyarakat hanya menerima (taqlid buta) tanpa memerikasa kembali dalil-dalil dan menelaah dalil yang mereka lontarkan.
Dalam memahami suatu dalil hukum syara’ yang dapat dijadikan dalil atau rujukan hukum syara’ bukan hanya Al-Qur’an, tetapi ada Hadis, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Jika anggapan berpuasanya perempuan haid tidak ada dalam Al-Qur'an, lantas mereka dapat menyimpulkan bahwa Islam tidak mengaturnya dan mengatakan bahwa ini boleh dilakukan (berpuasa saat haid). Ini adalah pemahaman yang salah karena meskipun hal ini tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an secara terinci, namun hal ini dijelaskan dalam hadis dan ijma sahabat.
Hadis digunakan sebagai penjelas apa yang ada dalam Al-Qur’an. Hal ini sama halnya dengan shalat dan puasa. Kewajiban shalat dan puasa tercantum dalam Al-Qur’an, namun penjelasan tentang jumlah rakaat dan hal-hal yang berkaitan dengan puasa dijelaskan dalam hadis dan ijma sahabat.
Hadis adalah wahyu dari Allah dan memiliki fungsi terhadap Al-Qur’an yaitu menjelaskan dan merinci apa yang ada dalam Al-Qur’an. Jika perincian terhadap perempuan haid tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an maka dijelaskan dalam hadis yang itu semua sama-sama wahyu dari Allah yang harus diikuti dan taati.
Hadis-hadis yang menjelaskan haramnya seorang perempuan berpuasa di antaranya dalam sebuah hadis dari Aisyah Ra, diceritakan bahwa Aisyah isteri Nabi Saw berkata “Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan mengqada puasa dan tidak diperintahkan mengqada shalat.” (HR. Muslim)
Hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Nabi Muhammad Saw dalam bentuk dialoq, beliau bersabda “Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab, Betul”. Beliau bersabda, “Demikianlah bentuk kekurangan agama mereka.” (HR. Bukhari)
Selain itu, ulama sepakat bahwa perempuan haid diharamkan untuk berpuasa. Bila tetap berpuasa, maka puasanya tidak sah. Dengan demikian, Islam telah menjelaskan secara terperinci bahwa haram seorang perempuan berpuasa dalam keadaan sedang haid. Maka jelas tidak benar jika ada yang berpendapat bahwa perempuan haid boleh berpuasa. Sebagai seorang muslim kita wajib meyakini dan mengikuti apa yang telah diperintah Allah Swt dan terus berupaya untuk mempelajari dan memahami Islam agar memiliki Tsaqofah Islam yang benar.
Wallahua'lam []
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]