"Salah satu naskah Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam rubrik True Story"
Oleh: Reni Anggraini
NarasiPost.Com-Malam ini aku termangu di pojok kamar. Suasana hujan seakan mengerti dan turut membersamai derai airmata yang mengalir di wajahku. Gelap malam mencerminkan pekatnya pandangku menatap masa depan.
“Putra Ibu mengalami kelainan yang disebut autis.”
Ucapan sang pakar terus-menerus terngiang, lagi dan lagi di dalam kepalaku. Sebuah kata asing, tetapi mengubah hidupku selamanya.
Kutatap Keefa, putra autisku. Berbagai perasaan berkecamuk. Ingin kubenci dirinya. Namun, aku tak sanggup.
Lebih dari lima purnama aku menangis, mengutuki keadaan yang bagiku merupakan sebuah kesialan. Bagaimana tidak? Aku memiliki anak yang kupandang “cacat”, sementara aku melihat kerabat dan sahabat seolah memiliki kehidupan yang sempurna.
Mereka dengan putra-putri terhebat, pintar dan membanggakan. Belum lagi kekayaan mereka, kulihat terus bertambah. Sungguh, dunia ini tidak adil! Aku memaki dalam hati, memukul setir mobil sampai tanganku sakit sendiri.
Berkali-kali aku mengemudi tanpa arah, bila sesak di dada semakin membuncah. Mengapa Allah membenciku? Banyak orang yang hidupnya jelas lebih berdosa dariku. Akan tetapi, mengapa mereka tidak sesial aku? Beratus kali pertanyaan ini mengais rasa pilu dalam batin. Mengapa hanya aku yang menderita?
Unik memang anak autis. Mereka secara fisik sama seperti anak lainnya. Akan tetapi perilaku mereka sangat berbeda. Mereka menolak untuk berkomunikasi dan melakukan interaksi sosial dengan sekitarnya.
Keefa kini semakin sering membuatku malu di tempat umum. Suara pengelola kolam renang memarahi kami terdengar sangat emosi. Namun, siapa yang tidak emosi bila seisi kolam harus tercemar dengan air seni Keefa yang ia buang begitu saja di atas kolam.
Kuakui, aku abai kala itu, membiarkannya bermain di kolam anak-anak tanpa kuawasi dengan seksama.
Suatu hari, Keefa jatuh sakit, bahkan cukup parah. Seisi rongga mulutnya harus dioperasi. Kesulitan maksimal kujalani pada saat itu. Keefa sedang berada di UGD dan dia meronta-ronta, menolak dipasangi infus.
Dibantu oleh tiga perawat wanita, seorang perawat pria, aku dan suamiku, kami berusaha memasang infus. Pemasangan ke lima barulah berhasil. Saat kulihat darah Keefa tercecer banyak di lantai, aku terduduk lemas dan mulai menangis panjang.
Selama berada di rumah sakit, entah berapa selang infus yang dia cabut dan harus dipasang ulang. Ketika operasi selesai, bibirnya bengkak. Darah menetes keluar dari bibir mungilnya. Ia tak mampu berkata sakit. Ia tak mampu mengaduh. Hanya wajah pucatnya menatapku nanar, mengharap peluk erat dariku. Hati ini semakin hancur. Air mata tak mampu lagi menggambarkan kesedihanku.
Apabila kuceritakan semua, maka sebuah novel berisi ribuan halaman pun tak akan cukup untuk menuliskan ragam kehancuran perasaan yang pernah kualami. Sungguh, itu adalah masa-masa terberat dalam hidupku.
Hari berganti hari, aku masih duduk terdiam di ruang tunggu, menanti anakku menjalani rangkaian proses terapi yang tiada akhir dan melelahkan. Mataku tetiba tertuju pada sebuah buletin bertuliskan “Apa Makna Dari Hidup?”
Entah mengapa, seolah ada yang mengarahkan tanganku untuk meraih, kemudian membacanya. Sebuah bacaan yang tembus masuk ke dalam ceruk hatiku yang paling tersembunyi. Sebuah detik, saat aku disapa oleh Allah.
Air mata kembali meleleh, membasahi wajahku untuk yang kesekian kalinya. Ah, tetapi ada yang berbeda dalam tangisku kali ini. Bukan kesedihan yang aku rasakan, melainkan sebuah pengertian, mengapa ini terjadi padaku.
Beragam pertanyaan tentang mengapa hidupku sesial dan semenderita ini, seakan telah terjawab dalam sekejap. Mereka bukanlah kesialan, bukan pula penderitaan tanpa akhir. Mereka adalah hadiah yang khusus diberikan padaku, manusia yang mendambakan surga.
Masih teringat dengan jelas kalimat yang menjadi pegangan hidupku sampai detik ini.
“Manusia memang diciptakan untuk hidup di dunia ini dalam keadaan bersusah payah.”
Begitulah yang tertulis, merujuk pada Al-Quran Surat Al-Balad (4) yang berbunyi:
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”
Aku kerap menggaris bawahi kata bersusah payah karena memang hidupku banyak berpayah-payah, hanya sekadar untuk mempertahankan kewarasan.
Kuisi hari dengan terus menggali apa arti menjadi manusia di dunia ini. Semakin banyak kugali, semakin hati ini paham bahwa dunia sejatinya hanyalah pergantian antara siang dan malam, pergantian antara kesenangan dengan kesedihan, sampai waktunya nanti menutup mata untuk selamanya.
Kini, bulan telah berganti tahun, dan tahun telah berganti dua windu. Aku masih berdiri di sini. Aku masih bertahan, dengan kewarasan yang jauh lebih jernih dari sebelumnya, dengan kekuatan yang lebih kokoh dari sebelumnya.
Kutatap wajah anakku. Ia telah menginjak usia remaja. Betapa Allah telah memberikan sebuah keistimewaan padaku, dengan menghadirkan seorang penghuni surga dalam bentuk sosok seorang Keefa, seorang anak yang hatinya suci, bersih, tanpa ada dosa sedikit pun.
“Keefa sayang Mama,” ucapnya tersenyum memelukku.
Itu adalah kalimat terbaru yang berhasil ia hafal. Statusku telah berubah dari hanya seorang ibu, menjadi seorang guru untuk Keefa. Ya, aku telah mampu untuk memberikan pelajaran dan terapi sendiri untuknya.
“Nanti, di akhirat, mintakan sama Allah supaya mengangkat Papa, Mama, Kakak dan Adik ke dalam Surga, ya, Nak,” jawabku mencium keningnya dengan bahagia.
Tak ada lagi pandangan bahwa aku memiliki anak “cacat” pada Keefa. Aku sadar, ialah yang dihadirkan untuk mengajakku kembali kepada Sang Pencipta, untuk kembali memohon kasih sayang dan kekuatan yang selalu Ia hadirkan pada saat-saat diri ini paling membutuhkan.
Tanpa Keefa, apalah bentuk batinku saat ini? Aku akan menjadi manusia pendek akal, dan juga keras hati, manusia sombong yang merasa mampu berdiri sendiri selamanya.
Terima kasih Allah, Tuhan semesta alam. Engkau telah mengajakku berkenalan kembali dengan cara yang sangat indah.[]
photo : pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]