"Sungguh kesejahteraan dan mentalitas sebuah bangsa terutama generasinya akan hancur dan terkikis tersebab praktik korupsi ini. Sudah sewajarnya hukuman mati diterapkan bagi para koruptor."
Oleh : Dewi Fitratul Hasanah
(Pemerhati Publik dan Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-"Kenapa orang Indonesia selalu mempromosikan batik, reog?
Kok korupsi nggak?
Padahal korupsilah budaya kita yang paling mahal."(Sujiwo Tedjo)
Statement lawas dari seniman senior Sujiwo Tedjo tersebut, seakan tak pernah kadaluarsa melukiskkan wajah bopeng negeri ini, sebab begitulah adanya. Korupsi bukan lagi sebuah aib, tapi melonjak ke level budaya.
Jamak diketahui, dari waktu ke waktu korupsi terus terjadi tanpa henti. Aktornya bisa siapa saja. Tak pandang status. Sejuta cara dan berbagai modus nyaris tak pernah habis. Selalu ada celah yang mendorong seseorang/beberapa orang yang bersekongkol untuk melakukanya.
Korupsi adalah masalah besar karena ia merupakan sebuah kejahatan yang luar biasa. Sebab ada hak-hak dan kesejahteraan rakyat yang terampas akibatnya. Korupsi merupakan penghalang pembangunan ekonomi, sosial politik, dan hak-hak ekonomi rakyat.
Namun sayangnya ada saja pihak yang menanggap bahwa korupsi merupakan sebuah kewajaran yang eksistensinya tidak perlu disikapi dengan rasa kecewa.
Dikutip dari Tempo.co,( 01/05/2021), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md meminta agar masyarakat tak sepenuhnya kecewa kepada pemerintahan yang dinilai koruptif dan oligarki. Sebab, kata dia, ada kemajuan dari waktu ke waktu yang terus dilakukan pemerintah.
Sungguh merupakan kerangka berpikir yang nyeleneh, jika kita mengamini statement tersebut. Bagaimana bisa sebuah pemerintahan dikatakan sukses dan maju manakala menumpas praktik korupsi saja belum mampu?
Lebih-lebih jika indeks korupsi pemerintahannya tinggi, tentu semakin tinggi pula penderitaan yang dirasakan rakyat jelata, karena hak-haknya sebagai warga negara dimakan oleh kerakusan para pejabatnya.
Bagaimana jembatan tidak ambruk karena ternyata anggarannya disunat?Bagaimana sekolah tidak terurus karena biaya perawatannya ternyata digelapkan? Bagaimana tak banyak memakan korban jiwa, jika jalan rusak penuh lubang dengan aspal bergelobang dibiarkan?
Bahkan, yang lebih parah lagi korupsi sudah merambat ke dana milik umat.
Sungguh kesejahteraan dan mentalitas sebuah bangsa terutama generasinya akan hancur dan terkikis tersebab praktik korupsi ini.
Mendapati kondisi yang demikian, pantaskah jika kita bangga dan tak merasa kecewa? Tentu saja tidak. Justru rakyat tak boleh hanya sekadar kecewa, melainkan harus sadar bahwasannya korupsi terus terjadi akibat kesalahan sebuah sistem sekuler yang tengah diterapkan, bukan semata lahir dari ketamakan yang di emban perseorangan.
Korupsi bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara yang menjalankan sistem pemerintahan demokrasi kapitalisme. Terdapat empat kebebasan yang sangat destruktif dalam demokrasi kapitalisme, yaitu kebebasan beragama (hurriyah al aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al ra’yi), dan kebebasan berperilaku (al hurriyah al syakhshiyyah).
Empat macam kebebasan inilah yang tumbuh subur melahirkan berbagai kerusakan. Korupsi merupakan salah satu kerusakan akibat paham kebebasan kepemilikan (hurriyah al tamalluk) tersebut”. (Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufr).
Dalam demokrasi kapitalisme, pengusaha dan petinggi negeri acapkali bekerjasama. Pengusaha membutuhkan keleluasaan untuk kepentingan bisnis, sementara penguasa membutuhkan dana untuk menduduki tampuk kekuasaannya.
Tak heran, jika pada akhirnya aktivitas memperkaya diri dan mengembalikan modal atas mahar politik menjadi fokus penguasa, sedangkan amanah mengurusi urusan rakyat hanyalah sebatas lisan.
Berbeda dengan sistem Islam yang berdiri di atas landasan keimanan kepada Allah Swt sebagai satu satunya pengatur kehidupan seluruh manusia dan alam semesta. Selama 13 abad lebih sejarah mencatat bahwa penerapannya yang termanifestasi oleh negara/penguasa terbukti ditaati oleh rakyatnya dan berlangsung secara kafah dengan pengaturan bersih dan bebas dari kepentingan apa pun. Dalam sistem ini terdapat jaminan kesejahteraan, keadilan dan keamanan yang sebenar-benarnya. Sehingga, tak terbesit keinginan bagi seseorang/kelompok untuk melakukan korupsi.
Lebih dari itu, masyarakat dalam sistem Islam ini tergiring oleh budaya amar makruf nahi munkar yang otomatis menciptakan suasana keimanan. Secuil potensi korupsi dan kecurangan akan tercegah. Jikapun ada satu dua kasus terjadi, maka negara bersistem Islam ini pastinya menerapkan sanksi sesuai syariat Islam yang dijamin dapat memberi efek jera bagi pelaku sekaligus memberi efek takut bagi mereka yang hendak coba-coba.
Sebagaimana Allah Swt dalam fiman-Nya:
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (TQS. Al-Maidah: 50)
Sungguh, hanya dengan kembali menerapkan sistem Islam lah korupsi bisa enyah. Kesejahteraan dan kemajuan bangsa pun tercipta. Dengannya rakyat baru bisa merasa bahagia, bersyukur dan bangga serta bebas dari rasa kecewa. Wallhu'alam bishawaab.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]