Salah satu naskah Challenge ke-3 NarasiPost.com dalam rubrik True Story.
Oleh: Ainiyatul Hasanah
NarasiPost.Com-“Hasil tidak akan mengkhianati proses. Teruslah berjuang sampai tidak ada kata jenuh.”
Kira-kira, begitulah kalimat yang menjadi energi bagi Leja setiap harinya dalam belajar.
Aleja al-Wafirah adalah siswa kelas VIII di Sekolah Menengah Pertama di desanya. Desa yang tidak terlalu tersentuh peradaban, tetapi cukup beradab. Kepribadiannya yang cukup tertutup menjadikan anak itu sulit mendapatkan teman dekat atau hanya sekadar teman sapa di sekolah. Namun, kecerdasan di atas rata-rata membuatnya tidak tertelan di antara banyaknya siswa.
Leja selalu juara pertama sejak mengenal taman bermain sampai Sekolah Menengah Pertama. Tanpa kata jenuh, ia selalu membuat orang tuanya bangga dan tersenyum.
Waktu terus bergulir. Tanpa terasa, sudah satu setengah tahun Leja menjalani pendidikan di SMP. Banyak perubahan yang ia alami. Ia mulai memiliki teman akrab layaknya saudara sendiri, seperti Linda, Chandra, dan Habibah. Mereka adalah temannya di sekolah dasar dulu. Hari-hari mereka habiskan bersama. Hingga suatu hari, mereka berempat terlambat mengikuti upacara.
“Yang merasa terlambat dan tidak mengikuti upacara, silakan berkumpul di halaman sekolah,” ucap kepala sekolah dengan pengeras suara.
Serentak, siswa yang terlambat langsung berkumpul di halaman dengan perasaan campur aduk. Namun, tidak bagi mereka yang sudah menjadi langganan terlambat. Rupanya mereka diminta untuk berbaris dan menghadap ke timur selama lima belas menit, ke arah matahari. Dengan serentak, mereka protes tetapi tetap menjalani hukumannya. Ada sekitar lima belas siswa, termasuk Leja dan teman-temannya.
Keberadaan Leja di barisan itu rupanya sangat mengganggu kepala sekolah.
“Aleja al-Wafirah, segera menghadap kepala sekolah.”
Suara mikrofon menginterupsi mereka yang mulai riuh saat Leja menjalani hukuman. Anak itu segera mengarahkan langkahnya menuju kantor tanpa menghiraukan ledekan teman-temannya. Ternyata, siswa sejuta prestasi juga tahu caranya melanggar tata tertib sekolah.
“Assalamualaikum, permisi Pak, saya dipanggil untuk segera menghadap kepala sekolah,” ujar Leja saat tiba di pintu ruang guru.
Staf tata usaha pun mempersilakan Leja untuk duduk di ruang tunggu. Selang beberapa menit, akhirnya Leja ditemui Bapak Rasyid selaku kepala sekolah. Tentu Leja merasa was-was.
“Saudara Aleja al-Wafirah, ayahmu dulu teman sekelas saya, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, ia begitu cerdas sehingga membuat teman-teman yang lain iri. Perilakunya juga senada dengan kecerdasannya,” ujar Pak Rasyid mengawali perbincangannya. Leja yang mengerti arah pembicaraan kepala sekolah masih terdiam.
“Maaf, Pak, tetapi Leja ingin tahu rasanya, bagaimana menjadi bagian dari mereka.”
Jawaban itu sama sekali tidak diharapkan kepala sekolah. Suasana cukup tegang setelah Leja menyampaikan uneg-uneg. Hening, hingga anak itu meminta maaf atas perilakunya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Pak Rasyid tidak banyak merespon pernyataan Leja dengan nasihat-nasihat, tetapi beliau minta bukti. Sebelum Leja meninggalkan kantor, Pak Rasyid memberitahukan bahwa dua bulan lagi, Leja akan mewakili sekolahnya untuk olimpiade Matematika tingkat kabupaten.
“Maaf, Pak, kenapa baru diberitahukan? Persiapan olimpiade membutuhkan waktu yang cukup lama, Pak. Menurut saya, dua bulan itu terlalu singkat,” ujar Leja, seakan frustasi. Ia menyampaikan kegundahan itu ke kepala sekolah. Namun, detik berikutnya, Leja kembali berbinar dan semangat.
"Bapak yakin, kamu dan temanmu yang lain pasti bisa,” ujar Pak Rasyid memberikan support.
Mengingat kegagalan yang pernah ia alami beberapa bulan lalu, Leja menjadi resah jika harus berperang dengan waktu. Dulu, waktu yang singkat untuk persiapan olimpiade bukanlah menjadi masalah.
Namun, sekarang Leja percaya diri. Ia tidak yakin bisa menang jika harus menaklukkan waktu. Sebab, waktu bukan hal yang bisa ia genggam. Sejak itu, Leja menjadikan nasihat sang Ibu jika berada dalam keadaan terdesak.
“Disiplin dan bersikaplah dengan tenang,” ujar Bu Ningsih suatu hari saat Leja menyampaikan kegundahan hatinya beberapa bulan lalu. Ia merasa gagal.
Sejak mendapat informasi dari kepala sekolah kemarin, Leja mengisi waktunya dengan persiapan olimpiade. Leja melakukan latihan mandiri setiap hari. Ia juga belajar di sekolah, didampingi guru pengampu Matematika. Leja kadang kesulitan jika latihan pada bagian yang belum ia pelajari sama sekali, seperti bagian kelas akhir SMP. Seperti biasa, jika menghadapi kesulitan, Leja akan mengerahkan seluruh kemampuan untuk menaklukkannya hingga bisa.
Waktu olimpiade pun tiba. Rombongan peserta olimpiade berangkat menuju arena perjuangan. Ada sekitar delapan belas orang dan lima puluh persen harapan ada pada Aleja al-Wafirah.
Detik-detik pun berlangsung. Leja dan teman-temannya berpencar sesuai bidang olimpiade yang diikuti. Ada olimpiade Komputer, IPA, PAI, dan Matematika. Rupanya olimpiade kali ini dilaksankan tiga sesi untuk menuju juara. Leja dan kelima temannya berhasil di sesi pertama.
“Masih ada waktu tiga puluh menit, ayo kita istirahat dulu,” ujar Pak Rasyid.
“Kring … kring …” Waktu istirahat habis.
Bismillah, mereka melangkah menuju ruangan. Di sesi kedua, rupanya waktu dibatasi hanya empat puluh lima menit untuk menyelesaikan soal-soal. Lagi-lagi, mereka harus berperang dengan waktu. Begitupun di sesi ketiga, mereka hanya diberi waktu tiga puluh menit.
Detik-detik pengumuman pemenang berlangsung. Semua peserta berkumpul di satu ruangan yang disebut aula. Tampaknya, Leja berbeda dengan ketiga temannya. Ia murung karena di sesi kedua, ia berada di urutan terakhir. Itu sebabnya, Leja hanya menunduk, tanpa berminat menyaksikan acara yang sedang berlangsung.
Samar-samar Leja mendengar nama ketiga temannya dipanggil sebagai juara. Pupus harapan Leja karena namanya belum juga dipanggil. Hingga Pak Rasyid menepuk pundaknya dan berujar, “Ayo, naik ke panggung.”
Dengan bingung, Leja menanyakan untuk apa.
“Juara satu olimpiade Matematika adalah Saudara Aleja al-Wafirah, diharap untuk segera menaiki panggung.”
Suara dari mikrofon menginterupsi kebingungan Leja.
“Terimakasih, Tuhan, akhirnya aku bisa. Aku bisa menghilangkan kekecewaan beberapa bulan lalu. Aku bisa membuat teman-teman berhenti mengolok-olok karena kegagalanku. Aku bisa membuat Bapak dan Ibu bangga. Aku bisa membuat pihak sekolah bangga. Aku bisa meredakan kegundahan hati dan pikiran. Aku bisa menaklukkan waktu dan proses diri,” ujar Leja pada diri sendiri.
Namun, Leja mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini bukan akhir, tetapi awal dari segala perjuangannya kelak.
Keesokan harinya mereka berempat menerima pigura yang berisi foto mereka saat memegang tropy. Aleja al-Wafirah sebagai juara 1 olimpiade Matematika, Kansi Ainur Ridho sebagai juara 3 olimpiade Komputer, Ayu Rahma sebagai juara 2 olimpiade IPA, Robert sebagai juara 3 olimpiade PAI, dan Pak Rasyid serta Pak Halim sebagai pendamping mereka. []
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]