Ambruknya Ritel di Masa Pandemi, Bukti Kerapuhan Kapitalisme

Untuk mengakhiri semua kesulitan ini perlu adanya perombakan total dalam kebijakan dan tata kelola sistem ekonomi di negeri ini. Masyarakat harus memiliki agenda tersendiri yang sejalan dengan visi ini


Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I

NarasiPost.Com-Ekonomi di awal 2021 masih berat. Pandemi Covid-19 belum berkesudahan, bahkan dari waktu ke waktu semakin parah kondisinya. Tak ayal hal ini memberikan dampak berkepanjangan pada berbagai lini kehidupan. Terkhusus bidang ekonomi, saat ini bisnis ritel semakin lesu. Menurunnya daya beli masyarakat digadang-gadang menjadi penyebab tutupnya berbagai gerai atau toko ritel di negeri ini. Bukan tanpa sebab, kondisi ekonomi negeri yang tidak stabil menjadi akar masalahnya. Bukan hanya di masa pandemi, ketidakstabilan ekonomi memang sudah dirasakan jauh sebelum pandemi ini menyapa.

Dilansir dari www.cnbcindonesia.com (16/04/2021) bahwa dari hari ke hari sektor ritel banyak yang tumbang, semisal Ramayana, Giant, dan lainnya. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Nicholas Mandey mengatakan sejak awal tahun 2021 sudah ada 90 gerai ritel yang tutup. Hal ini disebabkan menurunnya permintaan masyarakat di sektor konsumsi.

Emiten ritel PT.Hero Supermarket Tbk melakukan langkah efisiensi pada lini bisnis ritel makanan akibat pandemi Covid-19. Langkah itu ditandai dengan penutupan beberapa toko Giant di beberapa tempat. Direktur Hero Supermarket, Hadrianus Wahyu Trikusumo, menyatakan beragam pembatasan semasa pandemi telah memengaruhi operasional toko dan pelanggan telah mengubah perilaku belanja dan pola permintaan produk mereka. Akhirnya langkah penutupan toko harus ditempuh demi efisiensi. (www.sindonews.com, 09/02/2021)

Tutupnya toko-toko ritel ini semakin menambah panjang deret pengangguran di Indonesia. Akankah Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan ini?

Bukan Semata Pandemi, Kapitalismelah Biang Ambruknya Ekonomi

Penutupan sejumlah toko ritel di Indonesia disebabkan daya beli masyarakat yang menurun. Sebenarnya ini terjadi bukan hanya di masa pandemi Covid-19, tetapi jauh sebelumnya memang sudah mulai tumbang. Hal tersebut bermuara pada tata kelola ekonomi negeri yang salah kaprah. Kapitalisme dengan asas sekulernya telah memperdaya negeri ini. Sekularisme telah menafikan agama dari kehidupan, membuat penguasa bernyali menggubah aturan sendiri. Semua kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah tak lagi memprioritaskan rakyat. Karpet merah digelar untuk pengusaha kapitalis untuk semakin menancapkan dominasinya di negeri ini.
Negeri ini tak lagi piawai dalam mengelola aset dan kekayaan SDA yang berlimpah secara mandiri. Malah mengandalkan negara kapitalis asing dalam tata kelolanya, otomatis akan mengurangi pendapatan negara secara signifikan. Sehingga untuk membiayai pembangunan dan pelayanan di dalam negeri mesti menempuh jalur utang dan investasi.

Sim salabim disulaplah infrastruktur dan pelayanan publik menjadi komoditas yang dikomersialkan. Sehingga kebutuhan primer kolektif seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh wong cilik. Akibatnya masyarakat harus menahan kocek untuk berbelanja demi memenuhi kebutuhan jasa yang nilainya semakin fantastis. Tak ketinggalan, biaya transportasi yang ikutan naik menyebabkan harga barang semakin melambung tinggi. Sementara pendapatan masyarakat terbatas, bahkan terancam hilang. Hal itu disebabkan gelombang PHK besar-besaran yang terjadi di masa pandemi ini. Daya beli masyarakat pun makin ambyar. Lengkap sudah penderitaan rakyat, bagai peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga.

Tak hanya itu, kebijakan impor tak surut walau pandemi makin akut. Impor sejatinya menghantam produksi, pertanian, industri, dan manufaktur dalam negeri. Harga produk dari berbagai sektor tadi terjun bebas, bahkan cenderung tidak laku, kalah bersaing dengan produk impor.

Belum lagi nilai mata uang rupiah yang semakin anjlok. Membuat masyarakat sulit berbelanja demi memenuhi kebutuhan, karena nilai uang mereka begitu rendah. Rupiah makin kehilangan taringnya di mata dolar.
Bukan hanya itu, bisnis non-riil masih jadi idaman para pelaku ekonomi menengah ke atas. Minimnya risiko dan keuntungan berlipat tanpa harus berpeluh, menjadi daya tarik tersendiri bagi sektor ini. Padahal dengan bisnis riil, adanya produksi, jual beli dan konsumsi barang kebutuhan dan ritel, roda ekonomi terus berputar di masyarakat. Uang beredar dengan adanya jual beli kebutuhan di sektor riil. Skema inilah yang memberikan peluang bagi diperolehnya harta dan kesejahteraan bagi rakyat.
Macetnya aliran uang yang mengalir pada sektor riil disebabkan dominasi sektor non-riil dan faktor lain membuat bisnis ritel tumbang. Akibatnya angka pengangguran meningkat dan kemiskinan semakin pekat.

Adapun bantuan-bantuan sosial yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dan pelaku ekonomi menengah ke bawah ternyata tidak berjalan efektif. Sedianya berbagai bantuan itu disalurkan demi merangsang pertumbuhan ekonomi dengan membangkitkan lagi daya beli masyarakat. Faktanya, solusi parsial ini tidak mampu menyolusikan permasalahan ekonomi yang dihadapi masyarakat.
Sistem ekonomi kapitalisme rontok dihadapkan pada pandemi berkepanjangan.

Oleh karena itu, untuk mengakhiri semua kesulitan ini perlu adanya perombakan total dalam kebijakan dan tata kelola sistem ekonomi di negeri ini. Masyarakat harus memiliki agenda tersendiri yang sejalan dengan visi ini.

Sistem Ekonomi Islam Mampu Bertahan dalam Kondisi Sulit

Islam bukan sekadar agama, tapi juga aturan komprehensif yang mengatur tata kelola kehidupan manusia, termasuk sektor ekonomi. Aturan Islam berasal dari wahyu Ilahi, Al-Khalik yang paling mengetahui kekurangan dan kelemahan manusia. Tentu saja seperangkat aturan paripurna telah disiapkan-Nya untuk menjawab ketidakberdayaan manusia. Tak ada permasalahan yang tidak bisa disolusikan. Termasuk bagaimana strategi bertahan di masa sulit seperti pandemi ini.

Tumbangnya sejumlah toko ritel di negeri ini khususnya di masa pandemi, disebabkan daya beli masyarakat yang menurun. Lebih dari itu hal ini membuktikan betapa rapuhnya sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi negeri ini.

Lantas bagaimana Islam mengatasi pandemi, meningkatkan daya beli masyarakat, sekaligus menstabilkan kondisi ekonomi di dalam negeri?

Pertama, fokus tangani pandemi dengan cara optimalkan 3T (testing, tracing, dan treatment) dengan biaya sepenuhnya dari negara. Pisahkan antara orang yang sehat dan sakit. Agar penanganan yang berbeda bisa tepat sasaran. Wilayah yang terkena wabah di-lockdown dengan ketentuan: orang-orang yang terinfeksi dirawat di RS hingga sembuh, masyarakat yang sehat berdiam di rumah dan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Semua aktivitas dilakukan secara daring. Pemerintah menjamin kebutuhan dan penyembuhan setiap anggota masyarakat di dalam wilayah wabah itu. Orang di luar wilayah itu tidak boleh masuk. Selanjutnya wilayah yang tidak terkena wabah dibiarkan hidup normal dengan aktivitas keseharian, sehingga aktivitas ekonomi, pendidikan dan lainnya tetap berjalan. Tak lupa menggencarkan program vaksinasi yang halal dan tingkat efikasinya tinggi.

Kedua, melejitkan sektor riil dan menutup rapat sektor non-riil dan akses ribawi. Meningkatkan daya produksi barang dan jasa dalam sektor riil dengan memberikan bantuan modal dan pinjaman tanpa bunga kepada masyarakat.

Ketiga, tata kelola niaga yang adil. Sehingga semua lapisan masyarakat dapat terjun ke dunia bisnis tanpa monopoli/kartel, pajak, dan intervensi asing. Bukankah dengan begitu bisa mengatasi pengangguran? Sehingga daya beli masyarakat bangkit.

Dengan demikian kesejahteraan bisa diraih. Daya beli masyarakat tinggi. Sehingga roda ekonomi akan terus berputar. Sungguh semua itu akan bisa terealisasi jika sistem ekonomi Islam diberlakukan. Akan tetapi bukan secara parsial, tapi harus totalitas dalam naungan sebuah institusi, yaitu Khilafah.

Hanya Khilafah yang mampu mengeluarkan negeri ini bahkan dunia dari pandemi berkepanjangan. Khilafah mampu bertahan walau dalam situasi sulit tersebab ketangguhan dan kesempurnaan aturannya. Daya beli masyarakat akan meningkat dan stabilitas ekonomi akan terjaga. Sehingga kesejahteraan bukanlah sekadar mimpi belaka. Wallahu a’lam bi ash-showwab[]


Photo : Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Ramadan Pilu, Ramadannya Muslim Palestina
Next
Megaproyek Silicon Valley, Mimpi Rakyat atau Mimpi Konglomerat?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram