Salah satu naskah Challenge ke-3 NarasiPost.Com dalam rubrik True Story yang mendapatkan nilai cukup tinggi dan hampir menjadi pemenang kedua sebelum di seleksi ulang lagi oleh para juri rubrik Story.
Oleh: Ikhty Inqilaby
NarasiPost.Com-Awal tahun 2004, aku memutuskan merantau bersama sepupu. Bisa dibilang nekat, mengingat aku termasuk anak rumahan. Setelah sekian kali memasukan lamaran pekerjaan di kota kelahiran, Purbalingga, Jawa Tengah, kabar baik tak kunjung datang hingga jiwa raga ini menyerah dan pasrah. Sementara, teman-teman sekelas hampir semua sudah mendapatkan pekerjaan.
Sampailah kabar lowongan pekerjaan di sebuah rumah makan di Pulau Tidore, Maluku Utara, sebuah pulau yang cukup jauh dari kota kelahiran. Dengan cepat, aku mengambil keputusan.
Hanya berawal dari sebuah asa “melanjutkan kuliah”, kulakoni juga. Aku pikir, tak mungkin asa kurajut dengan membebani mama yang hanya penjahit kecil-kecilan. Aku cukup bersyukur, beliau sebagai single parent bersabar merawatku sejak lahir hingga lulus SMK.
Bismillah. Kuniatkan diri mengambil kontrak kerja selama dua tahun.
Kupikir, gaji selama bekerja bisa untuk mendaftarkan diri kuliah. Setelah itu, akan kuupayakan lagi kerja paruh waktu di kota kelahiran.
Tak disangka, jalan yang berliku dalam mencari pekerjaan, mempertemukanku dengan jodoh yang Allah siapkan. Beliau orang Ternate. Sebelumnya, tak terbersit, bahkan tak ada keinginan menikah dengan orang berbeda suku. Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk hambanya. Jodoh datang di waktu yang tepat, saat aku menderita sakit dan membutuhkan wali.
Sepupu bertemu jodohnya lebih dulu hingga aku pun tinggal sendiri di kosan. Sementara, SK PNS sudah kukantongi dengan perjanjian sepuluh tahun tidak boleh mutasi.
Yaaah … belum setahun bekerja, pemilik rumah makan yang masih kerabat, meminta kami mencoba ikut seleksi tes CPNS, meski aku dan sepupu sebenarnya keberatan. Kami ingin pulang. Akan tetapi, kami pun tak ingin mengecewakan beliau. Akhirnya kami ikuti saja prosedur tes CPNS sampai selesai.
Saat itu, Kota Tidore Kepulauan merupakan daerah pemekaran hingga membutuhkan pegawai baru. Tak disangka, kami berdua lolos. Setelah itu, air mata kami mengalir setiap malam. Jika orang lain mengeluarkan air mata bahagia saat lolos tes CPNS, sebaliknya kami sungguh berduka, tak lain karena kami ingin pulang.
Betapa rindu diri ini akan mama dan keluarga. Kupikir, setiap perantau akan merasakan getirnya hidup jauh dari orang tua dan keluarga. Sulit diluapkan dengan untaian kata. Antara asa, rindu, perih bercampur dan tertahan dalam dada. Terkadang terasa dada ini ingin meledak menahan rindu.
Astaghfirullahal’adzim … Kala ada kabar bahagia, hanya bisa menyumbang doa. Pun kala ada kabar duka, hanya bisa melelehkan air mata. Aku menikah dalam kondisi sakit. Alhamdulillah … Allah memberiku suami yang begitu sabar dan perhatian.
Di saat masih proses terapi, ternyata Allah memberiku amanah. Tiga bulan setelah menikah, aku hamil dan harus bed rest. Sampai usia kehamilan lima bulan, hanya bisa tergeletak di tempat tidur. Setiap makan maupun minum selalu muntah. Allah Maha Tahu bagaimana suami merawat dan memenuhi segala kebutuhanku saat itu.
Mama menelpon, bersemangat ingin datang ke Tidore menemaniku saat melahirkan. Sebaliknya, aku justru galau. Akankah mama kerasan di Tidore dengan lingkungan, adat dan kondisi masyarakat yang berbeda dengan kondisi di kampung? Selama ini, aku tak pernah menceritakan kondisi yang sebenarnya. Pun mama tetap ngotot mau datang.
Benar saja, baru sehari sampai di Tidore, mama menggerutu, katanya panas dan meminta pindah kos-kosan. Padahal, saat mama mau datang, kami sudah berupaya mencari kosan yang paling layak, sebuah rumah kosong dengan tiga kamar, berharap tidak terganggu dengan penghuni kos lain. Tapi kami harus memaklumi, selama ini mama tak pernah keluar kampung. Proses adaptasi orang tua tentu tidak secepat kami yang masih muda.
Alhamdulillah, mama bisa bertahan selama kurang lebih tujuh bulan di Tidore. Saat putriku berusia enam bulan, kami mengantar mama ke Jawa. Beberapa bulan kemudian, mama mengeluh muncul benjolan yang aneh. Akhirnya, aku meminta tolong sepupu menemani mama ke dokter.
Betapa terkejut aku, kala mendengar kabar benjolan tersebut merupakan kanker. Benjolan yang ternyata sudah ada sejak di Tidore. Akan tetapi mama enggan menyampaikan karena mengira itu cuma gatal biasa.
Rasanya perkembangan kanker begitu cepat. Hanya dalam waktu kurang lebih setahun, kanker sudah masuk stadium empat. Sebelumnya, kami berupaya memberikan bermacam obat herbal. Mama tak mau mengambil jalan medis.
Namun, akhirnya jalan tersebut kami ambil. Upaya medis kami lakukan mulai dari biopsi, kemoterapi, operasi besar, kembali lagi kemoterapi sampai akhirnya rencana melakukan radiasi. Akupun tak bisa maksimal menemani mama di RS. Hanya sekali menemani beliau saat biopsi lanjut kemoterapi.
Alhamulillah, ada Paklik, tiga orang adik kandung lelaki mama yang bergantian mendampingi saat perawatan di RS, hingga sampai jadwal radiasi yang katanya membutuhkan waktu selama sebulan.
Aku pun mengatur jadwal dengan suami. Rencananya, selama sepuluh hari aku menemani mama di RS, kemudian disusul suami menemani mama selama sepuluh hari juga. Ini dengan mempertimbangkan putri kami yang masih kecil dan izin dinas kami berdua. Tiket pesawat pulang-pergi pun sudah kami beli, menyesuaikan jadwal dari RS.
Namun, Allah berkehendak lain. Mama meninggal dunia sekitar seminggu sebelum jadwal radiasi. Padahal, hari sebelumnya, saat menelpon, mama dalam kondisi lebih baik. Mama mengaku merasa sehat hingga jalan-jalan di sekitaran rumah. Sebelumnya, lebih sering berbaring menahan sakit.
Kabar duka dari Jawa datang ba’da Isya’ waktu Ternate, bertepatan ba’da Maghrib waktu Jawa. Jadwal penerbangan malam pun belum ada saat itu.
Semalaman, aku sulit tidur, menanti pagi. Setelah salat Subuh, aku langsung berkemas menuju bandara, mencari tiket paling tempo. Pun mendapat tiket pagi, menghitung lama perjalanan ke kampung, tetaplah sampai malam.
Akhirnya, keluarga meminta aku mengikhlaskan mereka untuk segera memakamkan jenazah mama. Antara rela dan tak rela, aku hanya mampu berpesan, meminta foto mama dalam kondisi terakhir.
Akan tetapi, ternyata permintaanku tidak dikabulkan.
Yah, andai saja foto itu ada, mungkin aku akan terus terngiang menyalahkan diri sendiri. Rasa sesal, bersalah, luka, kecewa dan entah rasa apa lagi yang bercampur, akan terus menghantui. Apalagi memang ada pihak yang menyalahkanku, kenapa harus merantau. Sementara, aku sendiri pun bingung, salahkah jika aku ingin keluar dari kondisi hidup yang begitu rumit?
Beruntung sudah mengaji qodho dan qodar. Paling tidak, bisa membantu mengurangi luka. Aku sadar, bahwasanya ada wilayah-wilayah yang tak mampu kita kendalikan, yang berada di luar kuasa kita. Pada wilayah itu, kita hanya bisa bersyukur jika mendapat kebaikan dan bersabar jika mendapat keburukan.
Kisahku ini hanya secuil dari luasnya kisah manusia. Di luar sana masih banyak kisah pilu. Tetaplah mensyukuri nikmat yang Allah berikan hingga hati mendapat ketenangan. Semoga bisa diambil hikmahnya. Amiiin.[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]