"Salah satu naskah Challenge ke-3 dari rubrik True Story yang mendapatkan nilai tinggi juga dan hampir menjadi pemenang ketiga."
Oleh : Bunda FaHsan
NarasiPost.Com-Banyak yang sependapat bahwa orang tua adalah guru yang kerap dicontoh oleh anak-anaknya. Pernyataan itu benar. Namun, ternyata banyak juga yang tidak menyadari bahwa anak-anak adalah guru kecil mereka.
Bulan Mei, hari ke 22, tahun 2013, bayi kecilku lahir, menambah ukiran nama di pohon keluarga. Dia adalah anak pertama kami yang kehadirannya amat sangat dinanti. Bayi laki-laki itu lahir seperti bayi-bayi lainnya, sehat dan menggemaskan.
Bulan demi bulan berlalu. Dia tumbuh seperti anak-anak lainnya tumbuh. Banyak hal yang kami pelajari dalam mengurusnya. Itu adalah salah satu bukti bahwa anak merupakan guru bagi orang tua.
Anak mengajarkan pada orang tua untuk lebih bersabar, menggendongnya saat menangis, begadang saat dia sakit, belajar memasak makanan sehat, belajar untuk senantiasa memenuhi setiap kebutuhannya. Dan satu hal terpenting adalah anak selalu mengajarkan kepada orang tua tentang memaafkan dan ikhlas menerima.
Anak kami sedikit berbeda dengan anak-anak lain. Dimasa tumbuh kembangnya, dia mengalami sedikit keterlambatan dalam berbicara. Pertumbuhan fisiknya sama seperti anak lain. Hanya saja, di usianya yang sudah menginjak dua tahun, belum ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir mungilnya saat itu.
Awalnya, kami sebagai orang tua menganggap itu adalah hal yang lumrah karena di keluarga besar kami, ada juga saudara yang mengalami keterlambatan bicara yang sering disebut speech delay.
Namun, pemikiran kami berubah saat dia beranjak usia tiga tahun. Saat itu, belum ada kemajuan berarti dalam kemampuan berbicaranya. Kami mulai was-was. Banyak yang menasihati agar anak kami didaftarkan ke sekolah PAUD. Kami pun sependapat dan akhirnya mendaftarkan dia ke salah satu sekolah anak usia dini.
Mendampinginya bersekolah merupakan pengalaman yang luar biasa. Dia sangat aktif dan tidak mau diam. Ini cukup membuat kewalahan para guru di sekolahnya saat itu. Tentu saja kami sebagai orang tua juga mengalami hal yang sama.
Ternyata tidak ada perkembangan yang signifikan. Anak kami masih tetap asyik dengan dunianya sendiri. Saat itulah, ada salah satu wali murid yang menyarankan agar kami memeriksakannya ke dokter tumbuh kembang. Dan hasilnya, sebenarnya tidak cukup mengejutkan. Dia didiagnosa PDD-NOS. Setidaknya, masih ada harapan baginya untuk bisa mengejar ketertinggalan. Sejak saat itu, hari-hari terapi untuk anak kami pun dimulai.
Terapi dilakukan seminggu tiga kali dengan biaya yang tidak ringan. Namun, kami tetap berikhtiar demi anak yang kami sayangi. Tahun demi tahun berlalu. Perjalanan terapi dilalui dengan banyak suka dan duka. Hasilnya memang tidak banyak yang dicapai, tetapi dia mulai bisa berbicara sedikit demi sedikit walaupun kosakatanya belum jelas dan belum nampak komunikasi dua arah. Bukannya tidak bersyukur, faktanya memang kemampuan berbicara anak kami saat itu masih sangat jauh dibandingkan dengan anak seusianya.
Sampai ketika anak kami akan masuk TK B, kepala sekolah di PAUD menyarankan untuk test IQ dan melakukan pemeriksaan tumbuh kembang lagi. Kami pun berinisiatif untuk membawa dia ke klinik tumbuh kembang swasta. Hasil yang didapatkan lumayan membuat kami merasa terpukul. Diagnosanya berubah ke arah ASD (Autism Spectrum Disorder). Artinya, perilaku anak kami ini akan terus dibawanya sampai dia dewasa.
Saat itu, dokter bilang bahwa ASD tidak dapat disembuhkan, hanya dapat diterapi agar "gangguan" perilakunya bisa berkurang dan mendekati normal. Ini merupakan pukulan berat bagi kami sebagai orang tua. Namun, insyaallah kami tetap ikhlas dalam menerima ketetapan-Nya. Kami percaya, Qadha Allah pasti baik.
Dari hal tersebut, terbukti betapa banyak sekali pembelajaran yang dia (anak kami) berikan kepada kami selaku orang tua. Dengan kondisi yang Allah berikan kepadanya, kami diajarkan untuk bisa menerima segala apa yang ada di dirinya. Allah tidak pernah salah akan ketetapan-Nya. Kami yakin bahwa Allah memberikan ujian ini kepada kami, semata-mata karena kami dianggap mampu menjalaninya.
Betapa banyak pembelajaran berharga yang sudah diberikan oleh anak spesial kami. Sebagai orang tua, kami masih harus banyak belajar dalam segala hal, terutama dalam hal keikhlasan dan keyakinan.
Dia masih menjalani terapi sampai sebelum pandemi. Qadarullah, pandemi memaksa kami untuk menghentikan proses terapi. Akan tetapi, alhamdulillah, Allah Maha Baik. Setelah kami pasrahkan anak kami untuk tidak terapi lagi, perkembangan bahasanya lumayan meningkat. Pelan tapi pasti, kini dia sudah memiliki banyak kosakata. Kata-katanya pun mulai jelas, walaupun untuk komunikasi dua arah dan fokus masih kurang.
Sekarang dia sudah menjadi siswa kelas satu di sekolah inklusi. Masa pendemi ini menjadi ujian baginya dan juga kami sebagai orang tua. Mendampingi anak spesial kami belajar sebenarnya susah-susah gampang. Kami hanya berharap, pandemi segera usai, sehingga dia bisa kembali bersosialisasi bersama teman-temannya. Semoga Allah senantiasa memudahkan kami sebagai orang tua dalam membimbing dan mengarahkan anak kami agar menjadi anak saleh. Aamiin.
Bogor, 25 Maret 2021[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]