“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Al Qur'an : An Nissa 34)
Oleh. Banisa Erma Oktavia
NarasiPost.Com-Dunia saat ini tentu tidak asing dengan paham feminisme. Sebuah paham yang lahir dari ideologi sekuler yang memperjuangkan hak-hak perempuan agar setara dengan kaum laki-laki. Paham feminisme menganggap bahwa memiliki anak bukanlah sebuah kewajiban, melainkan pilihan. Tidak melawan kodrat, tetapi melawan "kebodohan", menggaungkan bahwa perempuan juga bisa memimpin, serta perkara lainnya yang “katanya” menjadi hak perempuan.
Paham ini tentu sudah banyak kita temui, baik secara individu, maupun kelompok. Sekilas, merupakan hal yang positif apabila perempuan memiliki semangat berkarya dan maju. Namun, jika yang dimaksud dengan berkarya dan maju adalah meninggalkan fitrah sebagai perempuan, seperti melahirkan, tentu hal ini bukan perkara yang positif.
Paham yang muncul dengan tujuan tertentu, pasti didasari dengan alasan tertentu juga. Paham feminisme memiliki tujuan menyetarakan hak-hak perempuan karena di masa lampau perempuan selalu mendapat perlakuan diskriminatif. Nah, perempuan yang manakah yang mendapat perlakuan diskriminatif? Dan Siapakah yang mendiskriminasi kaum perempuan?
Pada peradaban Yunani Kuno, perempuan dianggap sebagai objek yang dapat diperjualbelikan, tidak memiliki hak sipil dan hak waris, tidak jauh berbeda dengan peradaban Romawi dimana kisah perselingkuhan menghiasi mitologi Romawi, antara Venus (Aphrodite) dan Mars (Ares). Bagi Yahudi Konservatif, perempuan tidak lebih dari pembantu, tidak mendapat hak waris, serta dapat diperjualbelikan. Dalam Talmud, Menahoth 43b-44a tertulis bahwa :
“Seorang lelaki Yahudi diwajibkan membaca doa berikut setiap hari : “Terimakasih Tuhan! Karena tidak menjadikanku seorang kafir, seorang wanita, atau budak belian.”
Sedangkan menurut teologi Nasrani, perempuan bertanggungjawab atas diusirnya Adam dari surga.
“Lagi pula bukan Adam yang tertipu, melainkan perempuan itulah yang tertipu dan jatuh ke dalam dosa.” (1 Timotius 2:214)
Dari gambaran diatas, bukankah kita temukan bahwa diskriminasi terhadap kaum perempuan telah berlangsung sejak dulu, yang dilakukan oleh bangsa Barat itu sendiri. Tidak adanya aturan yang mengikat dan mengarahkan fitrah perempuan membuat mereka bebas memperlakukan perempuan, menjadikannya objek jual beli, dan budak seks, misalnya. Dari kekacauan inilah lahir paham feminisme yang menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Feminisme, lahir dari pemikiran Barat, yang kini menjangkiti perempuan di negeri ini, termasuk muslimah.
Padahal, di sinilah letak diskriminasi selanjutnya bagi perempuan. Betapa tidak? Menganggap memiliki anak merupakan sebuah pilihan adalah bentuk dari kesombongan manusia kepada Sang Pencipta. Kalau memiliki anak merupakan pilihan manusia, bagaimana mungkin setiap perempuan yang lahir ke dunia memiliki rahim? Artinya, perempuan melahirkan anak merupakan fitrah, dan anak adalah pemberian mutlak dari Sang Pencipta, bukan pilihan perempuan. Kalau yang dimaksud "pilihan" adalah bagaimana perempuan "mengatur" hubungan seksualnya sendiri, tetap tidak menjadi alasan bahwa memiliki anak adalah pilihan. Karena perempuan memiliki rahim dan lahirnya anak adalah buah dari fitrah manusia.
Paham ini juga mengajarkan bahwa kesetaraan gender yang digaungkan bukan hanya terletak pada perempuan saja. Melainkan mengubah paradigma masyarakat mengenai laki-laki. Seperti laki-laki ke salon, ber-make up, atau perilaku lain yang biasa dilakukan perempuan. Astagfirullah! Kalau keadaannya seperti di atas, dimana peran laki-laki sebagai pemimpin?
Bicara pemimpin, feminisme juga tak ingin kalah dalam hal kepemimpinan. "Lawan patriarki" yang digaungkan kaum feminis, menolak bahwa perempuan selalu menjadi yang dipimpin. Padahal, perempuan dan laki-laki sejak lahir memiliki kondisi emosional yang berbeda. Sebagai contoh, saat sedang menstruasi, perempuan cenderung lebih emosional. Sedangkan laki-laki tidak mengalami menstruasi. Menstruasi juga merupakan fitrah bagi perempuan yang tidak akan bisa dihindari. Perempuan dengan segala fitrah yang melekat pada dirinya, diimingi kekuasaan dan materi, hanya untuk membuktikan eksistensi diri. Na'udzubillah!
Fenomena di atas tentu membawa dampak yang buruk apabila terus-menerus terjadi. Mulai dari timbulnya konflik rumah tangga hingga perceraian, serta lunturnya izzah dan iffah perempuan. Bayangkan, jika perempuan memilih tidak menikah dan tidak memiliki anak, bukankah nantinya manusia akan punah? Jika perempuan bertekad untuk bekerja dan mengejar kekuasaan padahal nafkahnya sudah tercukupi, tidak beratkah bebannya sebagai perempuan yang harus mendidik anak?
Banyak lagi problem yang akan ditimbulkan dari paham feminis ini.
Jika feminis diusung oleh manusia dimana akal manusia itu terbatas, maka Islam telah jauh mengaturnya dalam Al-Qur'an yang turun langsung dari Sang Pencipta, Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Dalam surah An-Nisa Ayat 34 Allah berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Ayat di atas menunjukkan bahwa adanya kaum yang memimpin dan ada kaum yang dipimpin. Namun, bukan menunjukkan bahwa laki-laki lebih superior dibanding perempuan.
Kata qawwam, menurut penafsir kontemporer Asad, berarti seseorang yang bertanggungjawab untuk memelihara barang maupun orang. Jadi ayat di atas menjelaskan bahwa laki-laki bertanggungjawab mengayomi perempuan, bukan menunjukkan superioritas.
Islam juga mengatur bagaimana muslimah berperilaku, seperti pada ayat berikut :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33)
Tidak seperti pemahaman kaum feminis bahwa perempuan harus menunjukkan eksistensi diri di atas panggung, Islam justru mengatur bahwa sebaik-baiknya tempat bagi perempuan ialah di rumahnya. Hal tersebut bukan untuk membatasi, melainkan agar kehormatan sebagai muslimah tetap terjaga. Jika kita lihat, banyak sekali ajang kompetisi yang menjadikan keindahan tubuh perempuan sebagai objek, banyak mata lelaki yang tertuju kepadanya, apakah hal ini disebut sebagai sebuah kehormatan bagi perempuan?
Pandangan bahwa Islam membatasi hak-hak perempuan adalah sebuah kekeliruan. Islam justru memberikan kesempatan yang luar biasa dalam memperoleh pahala dan surga-Nya, yaitu:
Pertama, menjadi penghalang api neraka bagi kedua orangtuanya.
Dari Aisyah r.a. Rasulullah bersabda,
“ Barangsiapa yang diuji dengan (kehadiran) anak perempuan maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Bukhari & Muslim)
Kedua, masuk surga lewat pintu mana saja.
Dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Jika seorang wanita menunaikan salat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: ‘Masuklah ke dalam surga dari pintu mana pun yang kau mau.” (HR. Ahmad)
Ketiga, ibu lebih tinggi derajatnya dibanding ayah.
“Seorang Sahabat bertanya kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah seharusnya aku harus berbakti pertama kali?’. Rasulullah memberikan jawaban dengan ucapan ‘Ibumu’ sampai diulangi tiga kali, baru kemudian yang keempat Nabi mengatakan ‘Ayahmu’.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Selain 3 perkara di atas, banyak lagi keistimewaan perempuan dalam Islam. Tentu saja, selain mengatur, Islam juga memberikan ganjaran yang tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Ibarat dunia ini adalah lautan untuk diarungi, maka Islam seperti arah mata angin, yang mengarahkan awak sampai ke tujuan.
Pada akhirnya kita mengetahui bahwa sebagai muslimah, kita wajib menaati syariat sesuai dengan akidah yang kita yakini. Bukan ikut mendukung, menyuarakan, bahkan menjadi tokoh dalam memperluas feminisme, karena sudah jelas bahwa feminisme bertentangan dengan akidah kita sebagai muslim. Jadi, sudah sepantasnya kita memahami syariat Islam terlebih dahulu, agar kita mampu memfilter, mana yang baik untuk diikuti, mana yang “terlihat baik” tetapi sebenarnya menyesatkan.[]
Photo : Pinterest
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]